Selasa, 02 Mei 2017

Azyumardi: Ultra-Kanan, Laicite, Islam Prancis



Ultra-Kanan, Laicite, Islam Prancis
Oleh: Azyumardi Azra

Kelompok ultra-right atau sering juga disebut far right yang anti-Muslim, anti-migrasi dan anti-Uni Eropa (European Union/UE) di bawah pimpinan Marine Le Pen tampak menemukan momentum. Mereka secara mengejutkan berhasil mendapatkan 21,4 persen suara dalam Pemilu Presiden Prancis pekan lalu (Ahad 23/4/17).

Para pendukung partai konservatif dan sosialis yang sempat nervous menjelang pemilu kini boleh bernapas sedikit lega karena Le Pen berhasil dikalahkan politisi sentris Emmanuel Macron yang memperoleh 23,9 persen suara. Le Pen dan Macron bakal bertarung kembali dalam Pemilu ronde kedua pada 7 Mei. Banyak kalangan memprediksi Macron mampu mengalahkan Le Pen nanti.

Le Pen boleh saja bernasib sama dengan politisi ultra-right Belanda Geert Wilders yang juga kalah dalam Pemilu Belanda akhir Maret lalu. Tetapi, seperti Wilders, Le Pen memperlihatkan peningkatan politik ultra-kanan di Prancis, yang membuat kian sulit kehidupan para migran, khususnya kaum Muslim.

Oleh karena itu, meski pemerintah konservatif dan sosialis yang bergantian menguasai panggung politik Prancis menerapkan paradigma dan sistem politik laicite, jelas mereka lebih baik dalam menangani kaum migran dan Muslim dibanding jika berada di bawah kekuasaan ultra-right. Pemerintah konservatif dan sosialis menerapkan politik lebih bersahabat terhadap kaum migran dan Muslim dengan memanfaatkan “celah-celah” yang mungkin dalam sistem laicite.

Sistem politik laicite dalam banyak hal sama dengan “sekularisme”-pemisahan antara politik atau negara/pemerintahan dengan agama. Awalnya, laicite yang diterapkan ketat dapat dikatakan menjadi unfriendly secularism-sekularisme yang tidak bersahabat dengan agama; menolak penampilan simbol-simbol agama di ranah publik, khususnya di institusi milik negara.

Namun, keadaan sudah mulai berubah. Laicite ketat tidak lagi bisa diterapkan. Untuk mengambil satu contoh, pemakaian simbol agama, seperti jilbab, memang belum diizinkan di sekolah negeri tingkat dasar dan menengah. Namun, untuk tingkat pendidikan tinggi negeri, mahasiswi Muslim bebas mengenakan jilbab.

Dalam percakapan penulis “Resonansi” ini dengan pejabat tinggi yang bertugas menangani urusan agama (Paris 13-14/4/2017), terungkap adanya aspirasi melakukan modifikasi konsep dan praktek laicite. Bersama tokoh dan pimpinan Muslim, pemerintah kini bertujuan menjadikan laicite mendatangkan kebajikan bersama (common good) berdasarkan penguatan kebebasan beragama.

Pemerintah Prancis sejak tiga tahun lalu mendirikan Foundation de l'Islam de France yang bertujuan mempercepat integrasi kaum migran dan Muslim ke dalam masyarakat Prancis. Pemerintah Prancis tidak memberlakukan konsep minoritas meski kaum Muslim “hanya” sekitar 5-6 juta atau sekitar 10 persen dari keseluruhan penduduk negara ini.

Kaum Muslim banyak terkonsentrasi di wilayah miskin. Sebagian mereka menganut radikalisme tanpa harus lebih dahulu menjadi Muslim taat. Faktor penyebab radikalisme di antara mereka banyak; ekonomi, sosial, psikologis, dan pendidikan. Pejabat Foundation de l'Islam de France mengingatkan untuk tidak mencampuradukkan Islam dan terorisme. “Tetapi jika ada teroris yang beraksi sambil meneriakkan Allahuakbar, perlu diteliti kaitannya dengan Islam.”

Untuk menciptakan dinamika Islam yang sehat dan kondusif, Foundation de l'Islam de France ingin mengembangkan Islam de France-Islam Prancis. Hal ini dilakukan antara lain dengan pengarusutamaan kaum Muslim melalui organisasi dan institusinya.

Pengarusutamaan ini didukung sepenuhnya oleh Imam/Rektor Lyon Grand Mosque, Kamil Kabtane (10-12/17). Dia menjelaskan, melalui pengarusutamaan dapat dilakukan upaya lebih sistemik memerangi radikalisme yang berkecambah di kalangan anak muda. “Banyak di antara anak muda tersebut kehilangan harapan untuk kehidupan lebih baik sehingga mudah tergelincir ke dalam radikalisme dan terorisme.”
Imam Kabtane sangat beruntung karena memimpin Grand Mosque Lyon yang sudah berdiri sejak 1994. Masjid yang indah ini dapat menampung sekitar 4.000 jamaah Jumatan dan sekitar 12 ribu orang pada shalat Id. Ribuan pengunjung dari berbagai kalangan lokal, nasional, dan internasional mendatangi masjid raya ini untuk mengetahui lebih banyak dan lebih akurat tentang Islam.

Tak kurang pentingnya, di lingkungan Masjid Raya Lyon ini juga telah berdiri Institut Francais de Civilisation Musulmane (IFCM, 2012). Pembangunan gedungnya yang sepenuhnya dibiayai Pemerintah Prancis segera selesai. Inilah satu contoh lagi “modifikasi” kebijakan laicite sehingga dapat memberikan dana untuk insititut peradaban Muslim-bukan institut agama Islam.

Grand Mosque Lyon dan IFCM aktif melakukan pelatihan imam dan kalangan muda Muslim dengan substansi mencakup tidak hanya tentang ilmu dan keterampilan keislaman, tetapi juga tentang laicite. Dengan begitu, diharapkan para imam dan generasi muda Muslim Prancis lebih berorientasi ke bumi Prancis dengan kehidupan politik, sosial-budaya, dan agama yang juga khas-bukan ke negara Muslim tertentu di Timur Tengah atau Asia Selatan. []

REPUBLIKA, 27 April 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar