Kudeta
Oleh:
Budiarto Shambazy
Tujuh
tahun setelah kita merdeka, beberapa perwira TNI AD melancarkan coup de force
di depan Istana Merdeka, 17 Oktober 1952. Pagi hari itu, ribuan orang datang
dengan truk-truk militer dan memenuhi halaman depan Istana, menuntut Presiden
Soekarno membubarkan parlemen. Mereka dikawal ketat pasukan yang dengan sengaja
mengarahkan moncong-moncong meriam ke Istana. Inilah upaya pertama TNI AD
melancarkan gerakan ”mirip kudeta” yang kandas di tengah jalan.
Sebuah
delegasi masuk ke Istana diterima Presiden Soekarno. Gerakan ini akumulasi dari
kedongkolan TNI AD terhadap sipil yang dianggap tak berjuang selama perang
kemerdekaan dan menolak supremasi sipil atas militer. Namun, pidato pendek
Soekarno dengan mudah menaklukkan massa yang langsung ”balik kanan”. Esoknya,
segenap kekuatan politik mengutuk manuver atas nama TNI AD itu dan menyatakan
kesetiaan kepada Bung Karno.
Sudah
beberapa bulan KSAD Kolonel AH Nasution dan rekan-rekannya merancang gerakan 17
Oktober 1952. Secara diam-diam, ia menyiapkan pasukan dari Divisi Siliwangi
yang dipimpin Panglima Teritori III (Jawa Barat) Kolonel Alex Kawilarang. Pak
Nas juga merasa ditikam dari belakang karena the seven samurai alias tujuh
panglima teritori tidak kompak. Pejabat Panglima Teritori V (Brawijaya) Letkol
Suwondho, misalnya, pada saat-saat terakhir mencabut dukungan terhadap Pak Nas.
Setelah
itu, yang terjadi malahan ”kudeta internal” di kalangan TNI AD setelah beberapa
perancang 17 Oktober 1952 malah dikudeta bawahannya sendiri. Contohnya,
Panglima Teritori VII (Indonesia Timur) Kolonel Gatot Subroto didongkel kepala
stafnya sendiri, Letkol Jacob Warouw. Seperti kata sebuah perumpamaan, old
habits die hard, old soldiers just fade away. Setelah peristiwa 17 Oktober 1952
sampai pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta, hampir setiap tahun terdengar
rumor kencang tentang kudeta terhadap Bung Karno.
Di
rumahnya di Jakarta, sekitar Agustus 1956, Deputi KSAD Kolonel Zulkifli Lubis
menawarkan kudeta ”model Mesir” kepada para koleganya. ”Bung Karno tak perlu
dijatuhkan. Namun, kita paksa dia membubarkan parlemen sekaligus membentuk
sebuah junta militer,” ujar Lubis. Lubis tidak pernah berhenti menghimpun
kekuatan sampai akhirnya muncul spekulasi mengenai rencana kudeta persis pada
hari ulang tahun TNI, 5 Oktober 1956. Apalagi, Bung Karno sedang berkunjung ke
China.
Pak Nas,
yang oleh Bung Karno dipulihkan kembali menjadi KSAD, dengan cepat memadamkan
gerakan-gerakan pasukan pro-Lubis yang sebagian besar mencoba menguasai Jakarta
dan Jawa Barat. Dua perwira pro-Lubis yang sukar dijinakkan adalah Komandan
Resimen Ke-9 (Cirebon) Letkol Kemal Idris dan Komandan Resimen Ke-11
(Tasikmalaya) Mayor Suwarto.
Sejak
masa itu, salah satu tradisi upaya kudeta TNI AD yang tetap dilestarikan sampai
tahun 1998 adalah pemanfaatan kelompok-kelompok milisi sipil yang umumnya tidak
terlatih. Jika pada masa 1999 ada Pamswakarsa, pada 1950-an ada Front Pemuda
Sunda. Tidak mengherankan jika pemberontakan PRRI/Permesta diotaki oleh para
pelaku peristiwa 17 Oktober 1952, seperti Panglima Teritori I (Sumatera Utara)
Kolonel Mauluddin Simbolon. Lalu, di Sumatera Barat ada Kolonel Achmad Hussein
dan di Sulawesi Utara ada Kolonel Vence Sumual.
Ciri
penting lain dari fenomena upaya kudeta pada dekade 1950-an adalah
tokoh-tokohnya itu-itu juga. Jika Pak Nas bersekutu dengan Kemal Idris pada
peristiwa 17 Oktober 1952, lima tahun kemudian mereka ”pecah kongsi” sampai
pasukan pendukung masing-masing saling tembak di Jakarta dan Bandung. Apa
lacur.
Rumor
tentang kudeta juga tidak pernah padam sejak Bung Karno memaklumatkan Demokrasi
Terpimpin tahun 1959. Berdasarkan laporan tertulis Kedutaan Besar Amerika
Serikat, rumor yang terdengar paling keras adalah kudeta yang terjadi 1 Januari
1960. Bung Karno akan digantikan oleh sebuah triumvirat yang dipimpin Wakil
Perdana Menteri Adam Malik. Dan, Adam Malik pula yang ngotot agar Pak Nas
bertindak cepat mengambil alih kepemimpinan nasional dari tangan Menpangad
Letjen Soeharto pada hari-hari menjelang kejatuhan Bung Karno.
Waktu
melancarkan kudeta 30 September 1965, Letkol Untung Sjamsuri mengatasnamakan
dirinya sebagai kelompok ”progresif-revolusioner” di dalam TNI. Ada dugaan
kudeta ini konon merupakan upaya mendahului rencana kudeta Dewan Jenderal
persis pada upacara hari ulang tahun TNI, 5 Oktober 1965. Pada saat upacara
terdapat pasukan yang berdefile dengan peluru tajam untuk menembak Bung Karno
di tribune kehormatan. Modus ini dipakai di Mesir terhadap Presiden Anwar Sadat
yang tewas mengenaskan di tempat duduknya.
Surat
Perintah 11 Maret 1966 dianggap sebagai ”kudeta merangkak” terhadap Bung Karno.
Selama lebih dari 32 tahun berkuasa, Orde Baru bersih dari usaha kudeta. Namun,
pada periode kerusuhan 13-15 Mei dan tak lama setelah Pak Harto lengser
keprabon 21 Mei 1998, terdengar rumor tentang upaya kudeta yang gagal. Apa
lacur.
Kudeta
merupakan upaya mendongkel pemerintahan yang sah secara konstitusional oleh
kelompok kecil elite politik—biasanya militer—untuk menggantikannya dengan
pemerintahan baru yang dipimpin rezim sipil atau militer. Upaya kudeta
memerlukan dalih atau pemicu, misalnya dengan merekayasa kerusuhan yang diharapkan
meluas sehingga menimbulkan instabilitas yang meresahkan rakyat. Setelah itu,
baru dilakukan langkah-langkah ”konstitusional” untuk mendelegitimasi
pemerintahan yang sah.
TNI salah
satu tulang punggung nasionalisme kita yang menjadi kekuatan politik yang
senantiasa menjaga keutuhan NKRI, Pancasila, dan kebinekaan kita. Dalam konteks
dewasa ini, mustahil TNI melancarkan kudeta karena pemerintahan terpilih secara
demokratis dan telah terbukti bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Indonesia bukanlah negara gagal, tak ada dalih apa pun bagi terbentuknya junta
atau rezim militer yang utuh atau yang semu. []
KOMPAS, 6
Mei 2017
Budiarto
Shambazy | Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar