Shaleh Ritual dan
Sosial Menurut Gus Mus
Judul buku
: Saleh Ritual Saleh Sosial
Penulis
: KH A.
Mustofa Bisri (Gus Mus)
Penerbit
: DIVA Press
Cetakan
: 2016
Tebal
: 204 halaman
Peresensi
: Syamsul Badri Islamy, Ketua LTN NU Kota Bekasi.
Membaca kata-kata Gus
Mus, dalam Saleh Ritual dan Saleh Sosial, seperti menari; ada keluwesan dan
kebernasan kalimat yang tak kita dapati dalam pada aspek “di luar kata-kata
tulis Gus Mus”. Kebijaksanaan kiai sepuh dan ritmisitas kepenyairannya melebur
menjadi satu dan membuat kita lena, bahkan sejak awal pengantar, bagaimana
kesederhanaan, dengan anehnya, dapat berpadu dengan “kemewahan” sebuah nasehat.
Gus Mus, dalam
pengantarnya berjudul Takdim, mengesankan beliau telah melampaui yangfana;
tentang bagaimana beliau menegaskan bukan sekadar tidak sempat, tetapi tidak
bisa membikin artikel yang panjang dan “serius”; maka kebanyakan tulisan di
Saleh Ritual dan Saleh Sosial pun hanya berupa catatan-catatan pendek tentang
perjalanan hidup. Beliau lebih berharap buku tersebut bisa menjadi amal ibadah.
Sebuah espektasi yang tidak neko-neko.
Tetapi, yang
pendek-pendek itu tidak selalu pas diasosiasikan dengan tidak dalam, jelentreh,
rigid. Justru, oleh Gus Mus, sesuatu yang pendek itu pas dan akan malah berasa
berlebihan bila dipanjang-panjangkan. Seolah tak ada pretensi menasehati,
menulis artikel untuk “mengejar sesuatu”—semisal pengakuan, honor, atau
popularitas. Beliau menulis sekadar berbagi, laiknya nuturicucunya, tetapi
semua seakan bermula dari keresahan yang dalam.
Kesederhanaan itulah
yang kemudian rasanya akan lebih mudah diterima pembaca.Tidak ada berondongan
dalil, yang kadang-kadang membuat pembaca-sambil-lalu jengah seakan “digurui”.
Gus Mus bercerita, dengan kepiawaian seorang cerpenis, ihwal perumpamaan
Al-Ghazali tentang posisi hati nurani, akal, anggota tubuh manusia, serta aturan
agama dalam menjalankan fungsi hidup. Apakah kita sudah benar memposisikan
semuanya.
Gus Mus juga lebih
menggunakan tamsil-tamsil sederhana yang dilandasi atau dipungkasi satu-dua
dalil, sehingga kita merasa ringan dan teredukasi (baca: terhibur) ketika
membacanya. Seperti perumpamaan olahan tanah liat—dan keliatannya—sebagai
representasi manusia dan api sebagai analogi setan. Juga, pada tulisan berjudul
Pakaian, Gus Mus menunjukkan pengetahuannya tentang dunia mode, selaras dengan
pakaian Gus Mus yang nyaris selalu modis.
Saleh Ritual dan
Saleh Sosial,rasa-rasanya, pada beberapa tulisan juga begitu ensiklopedis.
Contohnya tulisan berjudul Nabi yang Manusia. Gus Mus mampu menjelaskan
sisi-kemanusiaan-nabi (humornya, jengkelnya, moderasinya) dengan begitu lancar,
sebab boleh jadi pengetahuan yang kemudian diungkapkannya itu merupakan
kristalisasi khazanah yang sudah mengendap lama di dalam pikir, sehingga
sajiannya pun ringkas tetapi mantab.
Metode kritiknya pun
menunjukkan kesepuhan dan barangkali sulit ditiru. Seperti dalam tulisan Kurban
dan Korban. Ada kritik terselubung, yang membuat pembaca tidak berasa ditunjuk,
tetapi kesadaran bahwa kita dikritik, uniknya, justru datang dari diri kita
sendiri. Gus Mus menulis, Nabi Ibrahim rela mengorbankan apa yang menurut semua
manusia bakal sulit dikorbankan: nyawa putranya. Berbeda dengan kita yang meski
cuma mengurbankan kambing saja masih sering menyisakan pamrih.
Banguna kritik yang
bertebaran di buku ini, seperti ketika Gus Mus membandingkan Rab’iah al-Adawiyah
yang tidak takut neraka tetapi begitu takut bila tidak dicintai Allah dengan
betapa kita takut pada kematian dalam tulisan berjudul Apabila Allah Mencintai
Hambanya, membuat kita berpikir—alih-alih menentang;“itu-kan-nabi”,
“itu-kan-sufi”—betapa kita, sebab kadar keimanan dan ketakwaan yang hari ini
masih begini-begini saja, harus bisa mencontoh beliau-beliau itu.
Dalam kadar tertentu,
beberapa tulisan bahkan terasa sangat instropektif, membuat kita merenung lama,
bepikir, dan boleh jadi sampai menitikkan air mata. Seperti ketika membaca Dosa
Besar, kita berpikir apakah selama ini kita adalah orang yang takabur—dengan
keluasan makna sebagaimana disampaikan Gus Mus. “Orang yang berbuat dosa karena
meremehkan dosa adalah orang yang takabur,” tulisnya di halaman 66. Sedang
takabur adalah “dosa pertama” yang tak termaafkan.
Beberapa tulisan
dalam buku ini juga menunjukkan semacam pemberontakan terhadap kemapanan,
kritis konstruktif yang, “khas anak muda”. Paradigmanya masih sama:
kemanusiaan. Atau, betapa Islam adalah agama yang mudah dan sangat manusiawi.
Selain memotret sisi kemanusiaan Nabi Muhammad SAW dalam Nabi yang Manusia, Gus
Mus juga membongkar anggapan puasa-lebih-utama dengan tanpa mengurangi
pengakuan akan keagungan ibadah tersebut.
Dalam tulisan Selamat
Makan, Gus Mus mengatakan, “…di Al-Qur’an sendiri, ‘perintah’ makan lebih dari
tiga puluh kali difirmankan Allah. Bandingkan dengan ‘perintah’ puasa yang
tidak sampai lima kali (bahkan yang menggunakan bentuk amar cuma dua kali),”
tulisnya di halaman 86.Paradoks. Pasalnya, di awal tulisan, Gus Mus membeberkan
stigma yang terbangun yang terangkum dalam ujaran: kau ini, makan saja yang kau
pikirkan—seolah makan identik dengan aib.
Pula di dua
tulisanDalih dan Dalil dan Ghairah yang relevan dengan kondisi kekinian, di
mana banyak orang yang melegitimasi (mendalihkan) perspektifnya atau lebih
mencenderungi dalil yang “menguntungkan” diri dan “merugikan” liyan. Meski,
kita tahu, tentu saja tidak ada yang salah dari sebuah dalil. Kemudian Gus Mus
mengusulkan jalan tengah; bagaimana kalau dalil yang biasanya dijadikan
legitimasi tersebut dibalik.
“Misalnya, dalil
tentang keharusan taat kepada pimpinan, biar rakyat saja yang
me-‘wirid’-kannya, para pemimpin dan penguasa biar me-‘wirid’-kan dalil tentang
kewajiban pemimpin dan penguasa untuk jujur dan adil. Dalil kehebatan lelaki
biar dipegangi kaum wanita saja; dalil keagungan wanita biar dipegang kaum
lelaki,” tulis Gus Mus di halaman 103. Dengan begitu maka akan terwujud suasana
saling memperbaiki diri, guyub, dan bukannya saling menuntut.
Dalam Ghairah, Gus
Mus mengumpamakan agama adalah istri. Kepada agama, sebagaimana kepada istri,
kita mempunyai ghairah yang kuat, sebab adanya cinta yang begitu dalam. Tetapi,
ghairah tersebut bisa juga lebih dekat kepada nafsu dan menegasikan akal sehat
manakala kita tidak bisa menguasainya. Fanatisme yang tidak dilandasi dengan
logika-aqli, objektivitas, dan cenderung fobia terhadap “mereka” yang tidak
sama dengan “kita” adalah biangnya.
Maka Gus Mus menutup tulisan
tersebut dengan firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian
penegak-penegak kebenaran karena Allah, saksi-saksi yang adil, dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum (menurut kebanyakan mufasir, “kaum”
di sini artinya malah orang-orang kafir) mendorong kalian untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah. Adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS 5:8). []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar