Bagaimana Menjaring Orang Mampu
Oleh: Dahlan Iskan
MESKI di belakang hari banyak yang kecewa, saya akui
ide awal Presiden SBY ini sangat brilian. Ide inilah yang bisa menjadi
terobosan untuk menutup sisi lemah hasil proses demokrasi di negara yang demokrasinya
masih muda seperti Indonesia.
Dengan ide tersebut, kekhawatiran bahwa proses
demokrasi akan menghasilkan ’’yang terpilih belum tentu mampu, yang mampu belum
tentu terpilih’’ bisa dikurangi.
SBY tahu di negeri ini banyak orang yang mampu namun
tidak populer. Atau belum populer. Dari banyak yang mampu itu terbagi dalam
beberapa kelompok. Ada kelompok mampu yang kemampuannya diakui secara umum oleh
banyak orang. Ada juga kelompok mampu yang hanya mereka sendiri yang menilai
bahwa mereka mampu.
Karena itu, SBY memiliki ide untuk menjaring
orang-orang yang mampu kategori pertama. Bukan dengan cara membuka pendaftaran,
melainkan dengan cara melakukan penelitian. Cara pendaftaran dihindari untuk
mencegah masuknya nama-nama yang hanya dirinya sendiri yang merasa mampu.
Seingat saya, SBY waktu itu menunjuk sebuah lembaga
survei untuk melaksanakan riset tersebut: Saiful Mujani. SBY minta agar lembaga
survei tersebut mengajukan pertanyaan kepada 200 orang bergelar profesor dan
doktor dari berbagai latar belakang. Pertanyaannya, kalau tidak salah: Siapa
orang yang Anda anggap mampu memimpin Indonesia ke depan. Artinya: untuk
menggantikan SBY yang harus turun takhta dua tahun kemudian.
Yang ditanya tidak boleh menyebut atau mengajukan
dirinya sendiri. Bahwa namanya disebut oleh profesor-doktor yang lain, tidak
masalah. Saya dengar beberapa orang profesor-doktor tidak bersedia menjadi
responden. Tapi, lembaga survei Saiful Mujani dengan mudah bisa mencari
penggantinya. Yang jelas, survei itu berhasil menyusun 10 besar nama-nama yang
dianggap mampu memimpin Indonesia.
Mengapa hanya level profesor-doktor yang menjadi
responden? Dalam suatu kesempatan, SBY menjelaskan bahwa level itu tidak
diragukan lagi akan mampu menilai siapa yang layak dan tidak layak menjadi
pemimpin nasional. Terutama dilihat dari segi kemampuan atau kualitas. Bukan
dari sudut popularitas atau keterpilihan.
SBY, khusus untuk ini, menghindari pendapat umum. Kalau
masyarakat awam dilibatkan dalam survei itu, belum tentu hasilnya bisa
memuaskan. Belum tentu bisa terlihat sisi kemampuan yang lebih teknis dan
detail dari seorang tokoh. Bisa jadi tokoh yang bisa mengemas dirinya atau
terkemas oleh media yang akan terlihat. Saya dengar sekitar 10 pemimpin redaksi
media massa ikut dipilih sebagai responden. Pertimbangannya adalah untuk
melihat kemampuan seseorang dari sudut akuntabilitas.
Saya beruntung bisa mendapat bocoran siapa saja yang
masuk 10 besar hasil survei itu. Lengkap dengan nama dan nomor urutnya. Tapi,
secara resmi tidak pernah ada pengumuman untuk itu. Baik oleh lembaga surveinya
maupun oleh SBY sebagai pemilik idenya. Saya kira memang lebih baik begitu.
Mengapa respondennya hanya 200 profesor-doktor? Bukan
1.000? Pertama, itu sudah memenuhi kaidah ilmiah. Kedua, tidak perlu
menghubungi profesor-doktor dari seluruh Indonesia. Sedapat mungkin mereka
adalah profesor-doktor yang tahu kapasitas pribadi tokoh yang akan diusulkan
dari dekat. Orang jauh cenderung tahunya dari media atau kemasan.
Dari nama-nama 10 besar yang saya peroleh itu, harus
diakui, belum ada satu pun yang popularitasnya menyamai popularitas tokoh yang
waktu itu sudah beredar. Jangankan melampaui, mendekati pun belum.
Kenyataan itu di satu pihak memang menyadarkan bahwa
demokrasi memiliki misterinya sendiri. Di lain pihak, sungguh berat bagi SBY
untuk mencari pengganti yang ideal seperti yang dia inginkan.
Maka, menurut SBY, tugas pihak-pihak yang mencintai
Indonesialah yang harus meningkatkan popularitas tokoh-tokoh yang dianggap
mampu itu. Termasuk SBY sendiri. Akhirnya, kita semua tahu, SBY memiliki cara
tersendiri untuk menindaklanjuti hasil pemikirannya yang ideal tersebut.
Sayangnya, SBY menempuh jalan untuk melaksanakan idenya itu melalui partainya,
Partai Demokrat. Mulai dari tahap inilah ide brilian yang awalnya ’’sangat
Indonesia’’ itu turun menjadi ’’sangat partai’’.
Dengan segala kemudahan dan kesulitannya. (*)
JAWA POS, 06 May 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar