Ayat Suci di Balik Tongkat Mbah Cholil
Bangkalan
Di berbagai literatur yang menjelaskan
tentang sejarah pendirian Nahdlatul Ulama (NU), KH Cholil Bangkalan Madura
(1820-1923) mempunyai peran strategis. Peran tersebut terjadi ketika KH
Muhammad Hasyim Asy’ari (1875-1947) hendak meminta petunjuk kepada Mbah Cholil
terkait gagasan para kiai pesantren untuk mendirikan sebuah organisasi ulama.
Kala itu, KH Abdul Wahab Chasbullah
(1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian Jam’iyyah NU yang langsung
disampaikan kepada Mbah Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Mbah
Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat
istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.
Sikap bijaksana dan kehati-hatian Mbah Hasyim
dalam menyambut permintaan Mbah Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di
antaranya posisi Mbah Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam
Indonesia (Jawa). Mbah Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para
tokoh pergerakan nasional. Sehingga ide untuk mendirikan sebuah organisasi
harus dikaji secara mendalam.
Hasil dari istikharah Mbah Hasyim dikisahkan
oleh KH Raden As’ad Syamsul Arifin (1897-1990), Pengasuh Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Mbah As’ad mengungkapkan,
petunjuk hasil dari istikharah Mbah Hasyim justru tidak jatuh ditangannya untuk
mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga
guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.
Dari petunjuk tersebut, Mbah As’ad yang
ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah
Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Mbah
As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil
kepada Mbah Hasyim. (Choirul Anam, 2010: 72)
Hal ini merupakan bentuk komitmen dan ta’dzim
santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan
strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di
tengah situasi penjajahan saat itu.
Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924
santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke
Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an
Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa AS sebagai berikut:
وَمَا
تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (١٧) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا
وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (١٨) قَالَ
أَلْقِهَا يَا مُوسَى (١٩) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (٢٠) قَالَ
خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأولَى (٢١) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ
تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى (٢٢) لِنُرِيَكَ مِنْ وَمَا
تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (١٧) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا
وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (١٨) قَالَ
أَلْقِهَا يَا مُوسَى (١٩) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (٢٠) قَالَ
خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأولَى (٢١) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى
جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى (٢٢) لِنُرِيَكَ
مِنْ آيَاتِنَا الْكُبْرَى
Artinya:
“Apakah itu yang di tangan kananmu wahai
Musa? “Ini adalah tongkat, aku bertelekan kepadanya, dan aku pukul (daun)
dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”.
Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa! Lalu dilemparkanyalah tongkat itu,
tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman:
“Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengemabalikan pada keadaan semula.
Dan Kepitlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia akan keluar menjadi putih
cemerlang tanpa cacat – sebagai mukjizat yang lain (pula) – untuk kami
perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat
besar.”
Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925
santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih
lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama
Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama
yaitu Mbah Hasyim.
Setibanya di Tebuireng, santri As’ad
menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan Mbah Hasyim untuk
mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin
mengambilkannya untuk Mbah Hasyim, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih
sebagai amanah dari Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Sebab itu, tasbih tidak
tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke
Tebuireng.
Setelah tasbih diambil, Mbah Hasyim bertanya
kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya
menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad
hingga 3 kali sesuai pesan sang guru. Mbah Hasyim kemudian berkata, “Allah SWT
telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”.
Dari proses lahir dan batin yang cukup
panjang tersebut menggamabarkan bahwa lika-liku lahirnya NU tidak banyak
bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU
lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Terlihat di sini, fungsi ide dan gagasan
tidak terlihat mendominasi. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT
melalui ikhtiar lahir dan batin. Inilah distingsi (ciri khas) yang membedakan
NU dengan organisasi keagamaan lainnya.
Fakta sejarah di atas merupakan sebagian
proses penting lahirnya NU. Di samping itu, peran sejumlah ulama dan kiai tentu
tidak kalah strategisnya dalam proses panjang tersebut. Karena gagasan yang
dibangun oleh Mbah Wahab tidak muncul secara instan, melainkan harus melalui
dialektika panjang terkait paham keagamaan yang saat itu muncul ditambah dengan
ketidakperikemanusiaan yang terus menerus dilakukan oleh penjajah saat
itu.
Tentu tulisan singkat ini perlu dilengkapi
oleh berbagai kisah yang melingkupi proses pendirian NU sehingga lahir sebagai
organisasi sosial kegamaan (jami’yyah diniyyah ijtima’iyyah) yang mampu merawat
akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dan meneguhkan keindonesiaan yang
majemuk. Langkah komplementasi tulisan sejarah terkait hal ini sangat penting
agar peristiwa sejarah tidak dipahami secara anakronistik (sepotong-potong).
***
Tulisan di atas disarikan dari buku
"Pertumbuhan dan Perkembangan NU" karya Choirul Anam.
[]
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar