Memproteksi
NKRI
Oleh:
Nadirsyah Hosen
PEMBUBARAN
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang diumumkan Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto pada 8 Mei lalu menuai
polemik di masyarakat yang semula dianggap merupakan sikap tegas pemerintah
Joko Widodo malah direspons sebagai sikap kegamangan pemerintah dalam
memproteksi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Problem
utama ialah pada posisi pemerintah yang cenderung bersikap kompromi dalam ranah
politik-hukum. Pada satu sisi, pemerintah tidak ingin terlihat bersikap
otoriter dengan melanggar nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan negara
hukum. Pada sisi lain, pemerintah kesulitan mengontrol pergerakan aktivitas HTI
yang semakin menggeliat. Sudah sejak lama banyak kalangan memperingatkan
pemerintah akan bahaya HTI vis-a-vis NKRI. Sekarang HTI sudah merasuk ke
kalangan aktivitas kampus, halakah, pejabat, bahkan purnawirawan militer.
Kegamangan
itu semakin terlihat ketika pemerintah khawatir dianggap melukai hati para
tokoh Islam sehingga bisa memicu aksi massa Islam jilid berikutnya. Pengumuman
Menko Polhukam Wiranto sehari sebelum vonis kasus penodaan agama Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) dibaca khalayak sebagai langkah kompromi: pembubaran HTI seolah
ditukar dengan vonis 2 tahun penjara untuk Ahok. Pemerintah tentu saja
membantah kesan di atas.
Namun,
mengapa pengumuman Menko Polhukam dilakukan sehari sebelum vonis Ahok?
Kalkulasi politik apa yang tengah dihitung pemerintahan Jokowi? Kita tahu
selama ini gerakan Islam di belakang tuntutan kasus Ahok berhadapan dengan
mereka yang mengangkat isu kebinekaan dan menjaga NKRI. Suara dukungan dari MUI
menjadi penting bagi langkah pemerintah membubarkan HTI. Kesan pemerintah
meninggalkan umat Islam menjadi terhapus oleh dukungan itu.
Apalagi
keesokan harinya vonis Ahok disambut dengan pekik takbir sebagai tanda sukacita
GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI). Pada saat yang sama, pembubaran
HTI membawa pesan bahwa pemerintah tetap komitmen menjaga NKRI. Dua hari itu (8
dan 9 Mei) pemerintah Jokowi memainkan kartunya untuk mendulang simpati aksi
umat Islam sekaligus mereka yang hendak memproteksi NKRI. Pemerintah cukup
cerdik hanya membubarkan HTI dan tidak menyasar pada pembubaran FPI (Front
Pembela Islam), yang bisa memancing reaksi luas. GP Ansor yang selama ini
berhadapan langsung dengan massa HTI merasa pengumuman yang dilakukan Wiranto
itu telah menegaskan kehadiran negara.
Sebelumnya
banyak kiai yang menganggap pemerintah dan TNI/Polri membiarkan Banser (Barisan
Ansor Serbaguna) berhadap-hadapan dengan HTI. Pembiaran itu membuat eskalasi
konflik meningkat di tengah masyarakat. Belum lagi banyak pejabat daerah
ataupun petinggi militer yang bukan saja menerima resmi kunjungan HTI,
melainkan juga malah terlibat menghadiri acara HTI. Stasiun televisi resmi
milik pemerintah juga pernah menyiarkan langsung kegiatan HTI.
Bayangkan,
gerakan yang hendak mengganti NKRI dengan ideologi dan sistem khilafah malah
dirawat aparat pemerintah dan oknum satuan militer/kepolisian, dan Banser
seolah dibiarkan bergerak sendirian menjaga NKRI berhadapan dengan HTI. Sekali
lagi, pengumuman Wiranto dianggap sebagai jawaban dari keluhan ini dan pemerintah
terlihat tengah menarik garis tegas dengan HTI. Akan tetapi, pengumuman Wiranto
tidak serta-merta membubarkan HTI secara resmi.
Berbeda
dengan pemerintahan Orde Baru, pemerintah di era reformasi 'terjebak' dalam
semangat kebebasan ekspresi, berkumpul, berpendapat, dan berserikat. Bandul
kebebasan bergerak dari satu titik ekstrem pengekangan di masa Orde Baru menuju
ke titik ekstrem lainnya yaitu kebebasan, yang dianggap sementara kalangan
telah kebablasan.
Kesalahan
terbesar pemerintah sebelumnya yang telah melegalisasi keberadaan HTI sebagai
ormas, tanpa menyimak dengan teliti platform dan ideologi HTI, kini harus
dibayar dengan mahal. Mencabut keputusan itu ternyata tidak semudah memencet
tombol delete di smartphone.
Prosedur
berliku
Sedari awal
seharusnya HTI tidak dapat disahkan sebagai ormas karena tidak memenuhi
ketentuan Pasal 2 UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas), yang berbunyi, 'Asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945'. Karena mereka sudah telanjur disahkan
sebagai ormas, pemerintah harus menempuh prosedur berliku. Dalam Pasal 59 UU
Nomor 17 Tahun 2013 dijelaskan tentang larangan bagi sebuah ormas, yakni
melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan.
Dalam Pasal 60 disebutkan, pemerintah bisa membubarkan suatu ormas berbadan
hukum melalui beberapa tahapan, yakni pemberian sanksi administratif berupa
tiga kali peringatan tertulis. Secara berjenjang peringatan itu bisa memakan
waktu tiga bulan.
Sementara
itu, dalam Pasal 64 UU Nomor 17 Tahun 2013 diterangkan, apabila surat
peringatan ketiga tidak dihiraukan, pemerintah bisa menghentikan bantuan dana
dan melarang ormas tersebut melakukan kegiatan selama enam bulan. Jika ormas
tersebut berskala nasional, perlu mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Selanjutnya, apabila dalam waktu 14 hari tidak ada pertimbangan dari Mahkamah
Agung, pemerintah berhak menghentikan sementara kegiatan ormas tersebut. Pasal
68 menerangkan, apabila ormas tetap melakukan kegiatan setelah diberhentikan
sementara, pemerintah dapat mencabut status badan hukum setelah adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Proses di pengadilan
negeri memakan waktu paling lama dua bulan. Keputusan pengadilan negeri hanya
bisa dimintakan kasasi, tidak melalui banding. Proses kasasi dalam UU Ormas
memakan waktu 40 hari dan keputusan kasasi harus ditetapkan Mahkamah Agung
dalam jangka waktu 60 hari. Semua proses berliku ini memakan waktu tidak kurang
dari 15 bulan.
Pernyataan
Menko Polhukam pada 8 Mei belum dihitung karena proses 15 bulan ini baru
dihitung sejak dilayangkannya peringatan pertama, yang entah kapan akan
dikirimkan ke HTI. Pembubaran resmi HTI tersandera oleh prosedur hukum yang
berliku.
Penyelundup
demokrasi
Pada
titik itu, HTI muncul sebagai 'penyelundup' demokrasi. HTI yang sejatinya
menolak demokrasi, karena dianggap sebagai sistem kufur, justru bergantungan
untuk hidup pada tali kebebasan yang disediakan demokrasi. HTI lupa bahwa pada
masa khilafah dulu, yang namanya pelarangan, pembubaran, dan penangkapan itu
hal biasa yang dilakukan para khalifah.
Misalnya
peristiwa mihnah yang melibatkan Imam Ahmad bin Hambal terjadi pada saat
pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah
al-Ma'mun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq. Ini artinya HTI bisa dengan mudah
dilarang khalifah seandainya kita saat ini berada pada masa khilafah.
Jaminan
konstitusi akan kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berserikat itu hanya
untuk mereka yang memang menerima Pancasila dan UUD 1945. Kalau HTI menolak
keduanya, mengapa masih berharap mendapat jaminan hidup dan kebebasan dari
sistem yang mereka kafir-kafirkan? Menjadi ironis HTI tumbuh berkembang dalam
era demokrasi untuk perlahan kelak membunuh demokrasi Pancasila. Tidak bisa
polos dan naif menghadapi kelompok 'penyelundup' demokrasi. Pertanyaannya,
sejauh mana demokrasi bisa menoleransi gerakan yang hendak menghabisinya?
Pemerintah terlihat gamang menjawab pertanyaan itu.
Regulasi
yang ada dianggap menjerat satu kaki pemerintah dan pemerintah menyerahkan kaki
satunya lagi kepada badan peradilan. Alih-alih bersama parlemen merevisi
peraturan perundang-undangan untuk menarik bandul kebebasan ke tengah,
pemerintah malah melempar bola panas ke pengadilan untuk memproteksi NKRI.
Pengadilan juga memiliki problemnya sendiri. Pada satu sisi peradilan memiliki
kewenangan independen, tapi pada sisi lain akuntabilitas peradilan tidak
berjalan beriringan.
Sama
dengan bandul kebebasan di atas, palu peradilan berayun dari satu titik ekstrem
intervensi dan pengekangan di masa Orde Baru menuju titik ekstrem lainnya di
masa reformasi, yaitu kebebasan mutlak minus akuntabilitas. Dengan kata lain,
ada kemungkinan upaya pemerintah membubarkan HTI kandas di tangan palu hakim.
Pemerintah tidak bisa sepenuhnya menggantungkan nasib NKRI pada palu hakim.
Bahkan ketika pemerintah mengikuti semua langkah prosedural pun, keputusan
pengadilan bisa saja mengejutkan dan pemerintah harus menerima apa pun
keputusan itu.
Strategi
pemerintah untuk melakukan kompromi politik-hukum, pembiaran eskalasi konflik
di masyarakat, dan lalu melempar bola panas ke lembaga lain untuk memberi
keputusan akan dibaca sebagai langkah gamang pemerintah. Pemerintah seharusnya
melakukan langkah proteksi-strategis pada level kebijakan dan intervensi
sosial-budaya pada tataran masyarakat. Berhentilah memandang persoalan HTI ini
semata dari sudut kalkulasi politik. Melawan ideologi yang hendak mengganti
Pancasila tidak bisa dilakukan dengan sikap gamang. Taruhannya terlalu berat
untuk anak-bangsa!
MEDIA
INDONESIA, 15 May 2017
Nadirsyah
Hosen | Dosen Senior Fakultas Hukum, Monash University, Australia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar