Poros Al-Azhar-Vatikan
Oleh: Zuhairi Misrawi
Kunjungan Paus Fransiskus ke Imam Besar Masjid
Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb di Mesir, 28-29 April 2017, mendapat perhatian
luas. Di tengah ancaman terorisme yang menggurita, kedua sosok penting Islam
dan Katolik itu menyerukan persaudaraan dan perdamaian.
Mesir sendiri menghadapi ancaman terorisme dan
radikalisme amat akut. Pasca badai Musim Semi Arab, yang menjatuhkan rezim
Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi, stabilitas politik dan keamanan di sana tak
kunjung membaik. Aksi terorisme mengoyak kedamaian yang subur di negeri Kinanah
itu.
Berabad-abad Muslim dan Kristen di Mesir hidup
berdampingan dengan damai. Banyak gereja megah dibangun bersebelahan dengan
masjid. Setelah dinasti Islam menguasai Mesir, gereja tetap berdiri tegak.
Bahkan, Mesir menjadi pusat Kristen Arab tertua dunia, dikenal dengan Kristen
Koptik. Mereka menggunakan Alkitab berbahasa Arab dan layaknya orang Arab,
bercakap dalam bahasa Arab.
Fakta itu kian membenarkan tesis bahwa Arab tak
hanya identik dengan Islam, melainkan juga agama samawi lain, khususnya Yahudi
dan Kristen. Sebelum Islam datang ke Tanah Arab, Yahudi dan Kristen lama eksis
dan jadi bagian kebudayaan dan peradaban Arab. Begitu pun setelah Islam, agama
mayoritas orang Arab, kedua agama samawi tersebut masih eksis.
Akan tetapi, Musim Semi Arab menjadi mimpi
buruk bagi umat Kristen dan Yahudi di seantero Arab. Menurut Sheikh Ahmed
al-Tayeb perdamaian dunia telah menjadi surga yang hilang (al-firdaws
al-mafqud) karena kebencian dan kekerasan menjadi realitas mengkhawatirkan.
Mereka mengaku paling teguh memegang prinsip agama, tetapi justru melecehkan
nilainilai luhur agama, seperti perdamaian, persaudaraan, dan keadilan.
Dalam beberapa tahun terakhir, warga Kristen di
Mesir menghadapi ancaman terorisme sangat serius. Mereka tak lagi warga yang
setara karena kerap dapat perlakuan diskriminatif. Beberapa waktu lalu
gereja di Tanta dan Alexandria menjadi sasaran kelompok teroris di saat umat
Kristen beribadah.
Mesir beruntung punya Al-Azhar sebagai benteng
moderasi Islam. Imam Besar Ahmed al-Tayeb selalu ambil langkah cepat untuk
menormalkan hubungan antaragama di Mesir dan menyerukan pentingnya toleransi
dan perdamaian. Dalam konteks Mesir, Imam Besar Al-Azhar membentuk forum
bersama agama-agama yang dikenal dengan Rumah Keluarga (bayt al-'ailah). Forum
ini hendak menegaskan bahwa agama-agama ibarat keluarga yang sejatinya dapat
membangun harmoni, cinta kasih, dan kehangatan bersama. Nabi Muhammad SAW dalam
sebuah hadis menyebutkan ia dan agama samawi lain ibarat sebuah bangunan yang
kukuh. Islam hanya hadir untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Atas dasar itu, Imam Besar Al-Azhar
memerintahkan umat Islam di Mesir agar menjaga gereja dan sinagoga dari ancaman
kaum radikal. Menurut Ahmed Al-Tayeb, umat Islam tak hanya cukup menjaga
masjid, tetapi juga mesti menjaga tempat ibadah agama lain sebagai bentuk
perlindungan dan komitmen menjaga toleransi dan perdamaian.
Poros toleransi
Membangun toleransi tidak hanya cukup dalam konteks
Mesir, melainkan perlu gerakan mondial yang mampu membangkitkan spirit untuk
menjaga perdamaian dalam skala lebih luas. Problem intoleransi dan diskriminasi
bukan hanya di Mesir, melainkan di belahan dunia lain.
Problem intoleransi, diskriminasi, dan
terorisme menjadi keprihatinan bersama. Oleh karena itu, Imam Besar Al-Azhar
Sheikh Ahmed al-Tayeb, menempuh jalan memperkuat poros Al-Azhar dan Vatikan. Ia
khusus mengundang Paus Fransiskus ke Al-Azhar, Mesir. Al-Azhar memandang Paus
Fransiskus sebagai sosok amat penting dalam menggelorakan perdamaian.
Harapannya, poros toleransi AlAzhar dan Vatikan ini dapat mengetuk hati umat di
segala penjuru dunia mengedepankan visi agama yang dapat membangun harmoni dan
persaudaraan.
Beberapa pesan penting disampaikan poros
Al-Azhar dan Vatikan. Pertama, agama sebagai sumber cinta dan kasih. Pesan ini
diangkat karena dalam realitasnya ada pihak-pihak yang hendak menjadikan agama
sebagai justifikasi intoleransi, diskriminasi, dan terorisme. Para pemuka agama
dan umatnya harus waspada tinggi karena anasir kekerasan yang kerap
mengatasnamakan agama, bahkan mengatasnamakan Tuhan. Padahal, negara dan
peradaban tak akan bisa dibangun di atas puing-puing ideologi yang
menjustifikasi kekerasan.
Saat ini kita melihat begitu mudah agama
digunakan sebagai justifikasi kekerasan. Karena itu, Al-Azhar dan Vatikan sadar
penuh menyerukan kepada dunia bahwa kekerasan tak punya pijakan dalam agama.
Mereka yang melakukan kekerasan atas nama agama sama sekali tak bisa dibe-
narkan. Tak ada agama dan peradaban mana pun membenarkan kekerasan dan
intoleransi.
Kedua, pesan kepada para pemimpin dunia agar
mengeluarkan kebijakan yang mendorong keadilan dan perdamaian. Kebijakan yang
tidak tepat dan cenderung menindas akan melahirkan respons yang sangat besar.
Faktanya, kelompok ekstremis dan teroris di berbagai belahan dunia kerap kali
menggunakan kebijakan menindas dari negara-negara adidaya sebagai justifikasi
untuk melakukan aksi kekerasan atas nama agama.
Maka, para pemimpin dunia harus menciptakan
iklim kondusif demi perdamaian dunia. Pa- ra pemimpin dunia harus
mempertimbangkan kembali perdagangan senjata, termasuk senjata pemusnah
massal. Dampak perdagangan senjata dan senjata pemusnah massal ini sangat
buruk bagi perdamaian dunia.
Ketiga, pesan agar agama-agama melahirkan sosok
yang bisa menjadi juru bicara toleransi dan perdamaian. Pada tataran empiris,
khususnya dalam realitas sosial-politik, dibutuhkan agamawan yang mampu
menyuarakan toleransi dan perdamaian. Al-Azhar dalam beberapa tahun
terakhir bekerja keras melatih khatib masjid agar berwawasan komprehensif
perihal keislaman, kebangsaan, dan globalisasi.
Mesir pernah punya pengalaman buruk soal khatib
yang kerap mendakwahkan kebencian dan kekerasan. Sejak itu pula, Al-Azhar
mengeluarkan kebijakan sertifikasi khatib. AlAzhar mengajak seluruh umat
agama-agama agar melahirkan sosok agamawan dan menjadi juru bicara toleransi
dan perdamaian.
Al-Azhar dan Vatikan berkomitmen bersama: para
agamawan bekerja lebih serius lagi me- ngampanyekan perdamaian. Para agamawan
harus punya pandang- an utuh tentang pentingnya menjaga kebinekaan dan
persaudaraan. Langkah yang diambil Al-Azhar dan Vatikan perlu respons positif
semua pihak.
Saat ini kita sangat butuh wajah agama dengan
pesan toleransi dan perdamaian. Kita sedang menghadapi tantangan serius karena
ada pihak yang ingin menjadikan agama jalan intoleransi dan kekerasan. Karena
itu, pesan poros Al-Azhar dan Vatikan mesti digaungkan dan jadi pelajaran
berharga di negeri tercinta ini. []
KOMPAS, 4 Mei 2017
Zuhairi Misrawi | Alumnus Universitas Al-Azhar,
Kairo, Mesir; Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah, The Middle East
Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar