Mempromosikan Demokrasi, HAM, dan Kesetaraan Gender di Indonesia
(1)
Oleh: Musdah Mulia
TIDAK seperti wanita muslim di Timur Tengah, terutama di
negara-negara Arab, wanita muslim di Indonesia bebas melakukan aktivitas di
luar rumah. Jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, perempuan secara aktif
bekerja di sektor pertanian, terutama di sawah, berdagang di pasar, perdagangan
antarkota dan bahkan kepulauan, ada yang bekerja sebagai nelayan. Wanita
bekerja di semua sektor yang dilakukan pria. Banyak wanita bahkan mengambil
tanggung jawab keluarga mereka. Beberapa di antaranya menjadi pemberi nafkah
tunggal dalam keluarga.
Sebagian besar wanita Indonesia tidak dibatasi berada di luar
rumah dan tidak dipaksa memiliki muhrim (wali laki-laki). Wanita terbiasa
meninggalkan rumah tanpa muhrim. Banyak yang bahkan tidak mengerti apa itu
muhrim. Melihat wanita yang keluar sendiri adalah sesuatu yang sangat umum,
bahkan di malam hari.
Wanita di beberapa masyarakat Arab tidak bisa mengendarai mobil
dan terpisah secara seksual. Namun, di Indonesia, wanita bisa mengendarai
mobil, naik sepeda motor, dan bahkan menerbangkan pesawat. Mereka juga
mayoritas menempuh pendidikan hingga ke universitas. Banyak dari mereka
meyakini bahwa kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan selaras dengan
nilai-nilai Islam.
Dalam ranah agama, banyak perempuan secara aktif menjalankan
ritual keagamaan seperti ritual pernikahan, upacara kematian, perayaan maulid,
beberapa di antaranya menjadi anggota komite masjid dan banyak di antaranya
mempersiapkan rencana untuk umrah dan haji.
Dari segi busana, tidak semua wanita muslim mengenakan jilbab.
Kalaupun memakai jilbab, gaya jilbab biasanya sangat variatif dan modis.
Beberapa wanita bahkan memakai burka (jenis jilbab yang menutup seluruh tubuh
kecuali mata), tetapi gaya hidup mereka tetap aktif dan dinamis. Jilbab sama
sekali tidak membatasi aktivitas perempuan dan tidak ada pemisahan antara pria
dan wanita.
Pendapat pribadi saya tentang jilbab sangat jelas, itu bukan
kewajiban Islam, hanya sebuah tradisi. Bagi saya, mengenakan jilbab adalah
pilihan bebas. Jadi, mari kita hormati orang-orang yang memilih memakai jilbab
dalam bentuk apa pun dan pada saat yang sama kita harus menghormati mereka yang
memilih tidak memakainya.
Kesalehan seseorang tidak diukur dengan sehelai pakaian. Islam
mengajarkan kesalehan sebagai seorang muslim diukur dari kualitas ketaatan
religius mereka. Hanya Tuhan yang memiliki hak untuk menilai, bukan manusia.
Masalah utama wanita muslim Indonesia
Meskipun wanita muslim Indonesia tampak lebih bebas dan mandiri,
mereka menghadapi masalah yang lebih berat dan lebih bervariasi daripada wanita
muslim lainnya di dunia. Masalah pertama ialah kemiskinan. Indonesia baru lepas
dari rezim otoriter Orde Baru pada 1998 dan sejak itu orde reformasi berusaha
mewujudkan upaya-upaya demokratisasi.
Namun, upaya untuk menghilangkan kemiskinan tampaknya berlangsung
sangat lambat. Kemiskinan juga disebabkan pertumbuhan populasi yang begitu
cepat dan sulit bagi negara untuk mengelola populasi yang begitu besar.
Akibatnya, pelayanan publik terkait dengan air bersih, kebutuhan dasar,
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan transportasi sangat buruk.
Kemiskinan juga merupakan produk kentara dari globalisasi ekonomi
dan produk ketidakadilan yang paling umum di masyarakat. Kemiskinan ada karena
pengelolaan dana negara yang tidak transparan, korupsi yang merajalela, dan
kebijakan yang diskriminatif. Pengelolaan aset negara hanya menguntungkan
sekelompok kecil elite.
Pertanyaannya kenapa wanita? Statistik dunia menunjukkan kelompok
paling rentan terhadap penindasan, diskriminasi, dan kekerasan yang disebabkan
kemiskinan adalah perempuan. Kemiskinan menyebabkan kurangnya makanan bergizi
seimbang, pendidikan yang rendah, pengangguran, pekerja migran, perdagangan
manusia, pelacuran, pelecehan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Karena krisis ekonomi semakin memburuk, banyak wanita muslim
Indonesia bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran. Mereka dapat
diberhentikan kapan saja oleh majikan dan sering mendapat perlakuan
sewenang-wenang di tempat mereka bekerja. Kontribusi ekonomi buruh migran
terhadap devisa negara sangat signifikan. Namun, mereka tidak mendapatkan
jaminan sosial dan bantuan hukum dari negara.
Tentunya ada harapan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi
kemakmuran hanya dinikmati segelintir orang dan hanya berlaku di kota-kota
besar. Akibatnya, timbul kesenjangan sosial yang mengerikan. Dalam kondisi
seperti itu, wanita pastilah yang paling terdampak.
Kedua, masalah budaya patriarkat. Kendala utama dalam menjunjung
tinggi kesetaraan gender ialah faktor budaya. Sampai saat ini, masyarakat kita
masih memegang teguh nilai-nilai budaya patriarkat, yang tidak kondusif untuk
membangun perdamaian dan demokrasi.
Menurut pendapat saya, patriarkat bukan hanya tentang laki-laki,
ini tentang menganggap salah satu lebih unggul dan harus mendominasi. Dari
perspektif Islam, patriarkat bertumpu pada gagasan setan tentang istikbar atau
menganggap diri sendiri lebih baik daripada yang lain.
Jadi, konsep patriarkat bertentangan dengan visi Alquran tentang
hubungan dan tanggung jawab moral dan tanggung jawab perempuan serta laki-laki
sebagaimana tercantum dalam banyak ayat Alquran. Hal ini juga bertentangan
dengan visi hubungan antara suami dan istri sebagaimana tecermin dalam banyak
ajaran Islam yang tidak berbicara tentang dominasi dan persaingan, tetapi
kemitraan, kerja sama, dan kasih sayang.
Indikator-indikator budaya patriarkat, antara lain, masyarakat
kita masih menganut kepercayaan yang memberi preferensi menurut jenis kelamin.
Dalam semua hal pria memiliki keuntungan lebih dari wanita, anak laki-laki
memiliki prioritas atas anak perempuan. Budaya ini sangat terjalin dalam di
masyarakat dan diperkenalkan ke dalam semua aspek kehidupan, seperti dalam
pendidikan, ekonomi, dan politik.
Masyarakat kita masih percaya bahwa hamil dan melahirkan adalah
tanggung jawab perempuan secara alami. Oleh karena itu, rasa sakit,
penderitaan, dan bahkan kematian yang harus dihadapi wanita sebagai konsekuensi
fungsi reproduksi mereka. Masyarakat kita masih percaya bahwa tanggung jawab
menggunakan kontrasepsi ada pada wanita. Akibatnya, partisipasi laki-laki dalam
KB sangat kecil (hanya 3%).
Pengambilan keputusan dalam rumah juga menempatkan hak di tangan
laki-laki meski melibatkan keselamatan perempuan. Akibatnya, banyak wanita
tidak memiliki kebebasan membuat keputusan penting seperti: kapan harus
menikah, hamil, jumlah anak, kapan melahirkan, memilih persalinan, dan
seterusnya.
Di bidang lain, perempuan juga harus menambah penghasilan
keluarga. Perempuan harus melakukan pekerjaan rumah tangga dan pada saat
bersamaan harus bekerja untuk memperbaiki penghasilan keluarga. Laki-laki tidak
peduli dengan upaya untuk memenuhi hak anak. Pada umumnya, mereka berpandangan
bahwa tugas merawat anak semua ada pada wanita.
Ketiga, permasalahan terkait dengan kesalahan dalam
menginterpretasikan Islam. Terus terang, jenis tafsir yang diterima secara luas
dan diadopsi umat Islam adalah kesalahan menginterpretasikan patriarkat dalam
Alquran dan hadis. Sebagian besar kesalahan terkait dengan interpretasi,
terutama yang sejalan dengan posisi wanita dan hubungan gender didasarkan pada
konsep yang dikembangkan ratusan tahun lalu oleh para ahli hukum klasik.
Misalnya menurut interpretasi yang bias gender, wanita harus memiliki banyak
anak. Semakin banyak anak, semakin banyak rezeki. Sementara itu, aborsi
dilarang dengan ketat. Interpretasi yang bias gender semacam ini juga memengaruhi
keputusan perempuan untuk ikut KB.
Salah interpretasi bias gender dan tidak sesuai dengan prinsip hak
perempuan, terutama soal kesehatan dan hak reproduksi. Salah interpretasi
tentang pernikahan, misalnya, sebagian besar wanita masih menganggap pernikahan
sebagai kewajiban. Jadi, wanita yang belum menikah dianggap telah melanggar
ajaran Islam dan tidak bisa dianggap wanita yang baik. Orangtua dianggap sah
memaksa anak perempuan mereka menikah, bahkan dengan orang yang tidak mereka
sukai.
Keempat, lemahnya penegakan hukum. Meski Indonesia telah menjadi
negara merdeka sejak 1945, sistem demokrasi baru diterapkan pada 1998. Sistem
demokrasi ini dilemahkan elite politik dan negara yang belum konsisten
menerapkan nilai-nilai Pancasila dan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi
nilai-nilai etika.
Beberapa dari mereka terlibat korupsi dan tindak pidana lainnya.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika demokrasi di Indonesia masih pada
tingkat prosedural, tidak substansial. Akibatnya, penegakan hukum dan
perlindungan HAM masih sangat tidak memuaskan, terutama yang berkaitan dengan
perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas. Banyak UU dan kebijakan publik
yang tidak berpihak kepada perempuan, seperti UU Perkawinan, Ketenagakerjaan,
UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan. UU itu menempatkan perempuan sebagai objek
hukum bukan subjek, perempuan mengalami diskriminasi.
Kelima, hukum keluarga Islam yang bias gender. Hukum keluarga
Islam saat ini masih mengandung sejumlah besar ketentuan yang secara eksplisit
mendiskriminasi perempuan, seperti usia minimum menikah untuk perempuan lebih
rendah daripada laki-laki. Seorang wanita, berapa pun usianya, hanya bisa
menikah dengan persetujuan wali, sedangkan pria tidak. Pria dapat memiliki
beberapa istri (sampai empat orang), tetapi wanita hanya satu. Seorang wanita
harus patuh pada suaminya, bila tidak patuh dikatakan nusyuz (tidak taat) dan
dia bisa kehilangan hak merawat anak-anaknya. Sementara itu, tidak ada sanksi
bagi seorang ayah ketika tidak menjalankan tanggung jawabnya.
Tantangan utama untuk reformasi hukum di dalam masyarakat muslim
Indonesia ialah masih ada keyakinan bahwa hukum keluarga Islam adalah hukum
Tuhan dan karena itu tidak dapat diubah. Itulah sebabnya setiap usaha reformasi
dianggap tidak Islami. Sementara itu, masih banyak umat Islam yang percaya
bahwa pria dan wanita tidak memiliki hak yang sama sehingga tuntutan untuk usia
pernikahan yang sama dan hak yang sama untuk bercerai, perwalian, dan warisan
dianggap bertentangan dengan hukum Allah. Banyak umat Islam masih percaya bahwa
hanya ulama laki-laki atau ulama agama laki-laki yang memiliki wewenang untuk
berbicara mengenai Islam. Dengan demikian, perempuan menghadapi kesulitan
menyuarakan reformasi bila tidak mendapat dukungan dari otoritas keagamaan.
Banyak muslim pria dan wanita takut membicarakan ajaran Islam di
ranah publik, terutama jika pandangan mereka kontroversial atau bertentangan
dengan mayoritas Islam. Mereka takut dicap anti-Islam. Ketakutan ini meluas ke
pemimpin agama yang memiliki pengetahuan dan kredibilitas untuk berbicara.
Mereka memilih diam.
Yang terakhir tetapi tak kalah penting, masalah kemunculan
kelompok Islam radikal. Kejatuhan Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa
telah membangunkan kelompok radikal muslim yang selama ini tidak aktif. Euforia
demokrasi telah memberikan pijakan yang sangat bagus bagi kaum radikal untuk
mengekspresikan ekstremisme dan wacana radikal mereka. Mereka sekarang bebas
mengungkapkan dan mengartikulasikan gagasan antidemokrasi di ranah publik.
Setidaknya ada tiga implikasi penting dari jatuhnya Presiden
Soeharto dan Rezim Orba. Pertama, terbentuknya banyak parpol Islam yang
mengadopsi Islam sebagai basis dasar mereka sehingga menggantikan Pancasila.
Kedua, kemunculan kelompok radikal Islam seperti Laskar Jihad, FPI (Front
Pembela Islam), Hizbut Tahrir, dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia).
Kelompok-kelompok itu sebenarnya telah membebankan banyak masalah
pada perempuan, seperti munculnya UU Syariah yang mendiskriminasi perempuan,
pemaksaan berjilbab, poligami, larangan aborsi dan KB, serta keterlibatan
perempuan dalam serangan teroris.
Ketiga, meningkatnya tuntutan penerapan syariah secara formal di
beberapa wilayah di RI. Aceh adalah provinsi pertama yang menuntut penerapan
hukum syariah. Melihat keseluruhan sejarah radikalisme di kalangan muslim, saya
berpendapat bahwa radikalisme di kalangan muslim lebih bersifat politis
daripada keagamaan. []
MEDIA INDONESIA, 19 Mei 2017
Musdah Mulia ; Presiden Indonesian Conference on
Religion for Peace (ICRP); Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar