Keindonesiaan
dan Keislaman
Oleh:
Salahuddin Wahid
Di dalam
BPUPKI (Mei-Juni 1945), muncullah pertentangan antara keindonesiaan dan
keislaman, yakni ketika kalangan ”nasionalis Islam” mengusulkan dasar negara
Islam dan kalangan ”nasionalis Pancasila” mengusulkan dasar negara Pancasila.
Komprominya ialah ”Piagam Jakarta”, yang di dalamnya terkandung dasar negara
Pancasila dengan sila pertama ”Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat
Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Ternyata
kompromi itu masih ditolak kalangan ”non-Islam” pada 17 Agustus 1945. Maka, para
tokoh Islam dengan lapang dada menyetujui dicoretnya anak kalimat ”dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menyetujui
rumusan: ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itulah keberhasilan awal dari upaya
memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Keberhasilan
kedua upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman ialah ketika para ulama di
bawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad (22 Oktober
1945), yang mengilhami dan mendorong para pemuda Muslim untuk bertempur melawan
tentara Sekutu pada 10 November 1945. Jihad, sebuah istilah agama, digunakan
untuk perjuangan bersifat kebangsaan.
Para
tokoh Islam berhasil dalam perjuangan mendirikan Departemen Agama pada Januari
1946. Itu adalah keberhasilan ketiga upaya memadukan keindonesiaan dan
keislaman.
Pada
1951, Menteri Agama KH A Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan Bahder Johan (keduanya dari Partai Masyumi) membuat nota kesepahaman
tentang pendirian madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah
aliyah. Ini adalah keberhasilan keempat dalam memadukan keindonesiaan dan
keislaman, yang memberi tempat bagi pendidikan Islam di dalam sistem pendidikan
nasional. Pendidikan Islam dalam bentuk pesantren sebenarnya sudah aktif 500
tahun sebelum Belanda mendirikan sekolah di Hindia Belanda pada 1840, yang
menjadi cikal bakalpendidikan nasional Indonesia.
Menerima
asas Pancasila
Pertentangan
antara keindonesiaan dan keislaman muncul kembali ketika partai-partai Islam
(Masyumi, Partai NU, PSII, Perti, AKUI) memperjuangkan dasar negara Islam dalam
Konstituante pada 1956-1959. Perjuangan itu gagal karena kalah dalam pemungutan
suara.
Pertentangan
antara keindonesiaan dan keislaman berlanjut dalam Pemilu 1971, ketika
partai-partai Islam (Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti) berkampanye untuk
memperjuangkan dasar negara Islam. ABRI dan aparat pemerintah Orde Baru
berjuang untuk mengalahkan partai-partai Islam dengan segala cara. Kursi yang
diperoleh partai-partai Islam jauh di bawah jumlah kursi pada Pemilu 1955.
Berarti kedudukan partai-partai Islam di dalam DPR amat lemah.
Pada 1973
dilakukan pembahasan terhadap RUU Perkawinan, yang beberapa pasal di dalamnya
dianggap oleh para ulama bertentangan dengan hukum Islam. Yang paling penting
ialah Pasal 2, yang rumusan awalnya ialah ”perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut UU ini”. Syuriah PBNU yang dipimpin Rais Aam KH Bisri
Syansuri (murid KH Hasyim Asy’ari) menolak rumusan tersebut dan mengusulkan
supaya diganti menjadi ”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya”. Kalangan non-Islam tentu saja menolak
usul tersebut karena hal itu berarti menerima syariat Islam yang partikular ke
dalam sistem perundang-undangan kita.Presiden Soehartomenyetujui usulan para
ulama itu. Ini adalah keberhasilan kelima dalam upaya memadukan keindonesiaan
dan keislaman.
Pemerintah
pada awal 1980-an berusaha supaya Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi
parpol dan ormas yang ada di Indonesia. Menghadapi situasi seperti di atas,
Syuriah PBNU membentuk sebuah tim untuk mengkaji ”hubungan antara Islam dan
Pancasila”. Tim terdiri atas sejumlah ulama mumpuni yang dipimpin KH Ahmad
Siddiq, alumnus Pesantren Tebuireng yang pernah mengaji langsung kepada KH
Hasyim Asy’ari.
Berdasar
dokumen ”Hubungan Islam Pancasila” yang disusun tim di atas, Muktamar NU 1984
di Situbondo memutuskan untuk menerima secara resmi Pancasila sebagai dasar
negara. Langkah itu lalu diikuti oleh PPP dan semua ormas Islam, kecuali
beberapa ormas yang jumlahnya amat sedikit. Ini adalah keberhasilan keenam dari
upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pada
1989, DPR membahas RUU Peradilan Agama sebagai lanjutan dari UU No 14/1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kembalimuncul konflik
antara keindonesiaan dan keislaman sehingga terjadi perdebatan panas antara
yang menyetujui dan menolak RUU tersebut. Pada 29 Desember 1989, RUU tersebut
disetujui menjadi UU No 7/1989. Muktamar NU 1989 di Pesantren Krapyak DI
Yogyakarta menghargai pengesahan UU tersebut. Ini adalah keberhasilan ketujuh
dari upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Setelah
itu, masih terdapat banyak lagi keberhasilan dalam memadukan keindonesiaan dan
keislaman, seperti UU Perbankan Syariah, UU Haji, dan UU Wakaf.Selain itu, UU
Sistem Pendidikan Nasional (2003) memasukkan pesantren ke dalam nomenklatur
pendidikan Indonesia sehingga memberikan peluang lebih luas bagi pesantren
untuk mengembangkan diri. Di dalam masyarakat kini tampak peningkatan minat
masyarakat untuk mengirim siswa ke pesantren dan juga minat untuk mendirikan
pesantren. Jumlah pesantren yang pada 1999 hampir 10.000 kini mendekati angka
30.000, yang keseluruhannya adalah milik swasta.
Kondisi
mutakhir
Saat ini
ada gejala munculnya kembali konflik antara keindonesiaan dan keislaman. Gejala
itu terjadi dalam kaitan pemilihan gubernur DKI Jakarta. Ada kelompok yang
menganggap bahwa merekalah yang ”paling Islam” dan sebaliknya juga ada kelompok
yang menganggap bahwa merekalah yang ”paling Indonesia”. Yang memilih
Ahok-Djarot dianggap anti-Islam dan munafik, sedangkan yang memilih Anies-Sandi
dianggap anti-Indonesia, intoleran, dan anti-kebinekaan. Kedua anggapan itu
keliru.
Kalau
kita pelajari kembali proses penyusunan UUD pada 1945, ada keinginan
tokoh-tokoh Islam supaya presiden RI adalah orang Indonesia asli dan beragama
Islam. Setelah melalui musyawarah, tokoh-tokoh Islam yang menyusun UUD
menyetujui bahwa syarat ”harus beragama Islam” itu dibatalkan. Kesediaan tokoh
dan umat Islam menghapus syarat harus beragama Islam bagi presiden sebenarnya
sudah menunjukkan toleransi mereka.
Akan
tetapi, mereka yang tidak memilih non-Muslim karena alasan keagamaan tidak bisa
dianggap sebagai orang yang tidak toleran atau melanggar UUD atau merusak
kebinekaan. Itu didasarkan pada Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945. Yang perlu dijaga
ialah cara menyampaikan pendapat itu, jangan sampai memakai bahasa yang
menyinggung atau mengandung nada kebencian. Juga perlu diperhatikan tempat dan
waktu dalam menyampaikan pendapat tersebut.
Sebenarnya
konflik dalam kaitan pemilihan gubernur DKI Jakarta bukanlah antara umat Islam
dan umat non-Islam. Akan tetapi, justru terjadi antara kelompok dalam umat
Islam: antara yang menyetujui calon non-Muslim dan yang menolak calon
non-Muslim. Perbedaan pandangan itu terjadi karena perbedaan penafsiran
terhadap Surat Al-Maidah Ayat 51 dan sejumlah surat lain.
Di dalam
kalangan Islam sejak abad pertama Hijriah sudah terdapat dua aliran besar dalam
menafsirkan ayat-ayat suci. Aliran pertama berpendapat bahwa syariat Islam
bersifat dogmatis dengan berpegang pada teks nash murni tanpa
menggunakan potensi akal. Tokoh utama aliran ini adalah Abdullah bin Umar, Ibnu
Abbas, Amr bin Ash. Aliran kedua berpendapat bahwa syariat itu bersifat
rasional, maka dalam menafsirkan teks suci, kita perlu mengoptimalkan
penggunaan potensi akal. Tokoh-tokohnya ialah Abdullah bin Mas’ud, Umar bin
Khattab, dan Ali bin Abi Thalib. Menyikapi adanya dua kelompok seperti di atas,
kedua pihak harus saling menghormati pilihan masing-masing. Tidak perlu saling
menyalahkan, saling menyerang, atau saling mengejek.
Konflik
keindonesiaan dan keislaman itu mungkin meluas pada Pilkada 2018. Kalau pada
Pilpres 2019 konflik semacam itu masih terjadi, hal itu berpotensi mengancam
persatuan Indonesia. Perlu ada upaya untuk meredamnya. Perlu dilakukan dialog
antarkelompok di dalam Islam maupun dengan kalangan agama lain untuk
meredamnya. Dalam dialog itu perlu dibahas dengan rinci apa yang dimaksud
dengan ”politisasi agama”, apa yang dimaksud dengan ”isu SARA” (suku, agama,
ras, dan antargolongan). Dialog itu harus dilakukan dengan hati dan kepala
dingin supaya dapat menghasilkan kesepakatan yang bisa diikuti dalam praksis
sehari-hari. Memang perlu waktu yang cukup untuk bisa mendinginkan suasana.
Pertanyaannya:
siapa pihak yang akan memprakarsai dialog itu dan siapa tokoh yang akan
mewakili kedua pihak? Berapa jumlahnya? Kapan saat yang tepat untuk memulai
dialog? Di mana dialog itu diadakan? Pihak yang memprakarsai dialog ialah pihak
yang dapat diterima oleh kedua kelompok. Ramadhan dan Syawal adalah saat yang
tepat untuk mengadakan dialog. Tempatnya harus mendapat persetujuan kedua
kelompok. Gedung MPR dan rumah di Jalan Imam Bonjol tempat para pendiri
merumuskan naskah proklamasi pada Agustus 1945 dapat dijadikan alternatif
tempat dialog diadakan.
Dalam
dialog itu harus disampaikan secara jelas dan terbuka apa saja keinginan kedua
kelompok dan apa saja yang tidak diinginkan oleh kedua kelompok. Sejumlah
keberhasilan memadukan keindonesiaan dan keislaman yang telah menjadi modal
berharga bangsa Indonesia harus menjadi acuan di dalam dialog tersebut.
Kelompok yang seusai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Ahok
mengeluarkan seruan untuk menjaga keindonesiaan perlu memahami bahwa yang juga
perlu dijaga adalah keterpaduan keindonesiaan dan keislaman karena itu adalah
faktor utama persatuan Indonesia. []
KOMPAS,
16 Mei 2017
Salahuddin
Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar