Enam Nama Kiai Dahlan
dan Pentingnya Thabaqah Ulama Nusantara
Kita beruntung hidup
di masa sekarang, setelah ulama di masa lalu menulis thabaqah berdasarkan corak
madzhab maupun bidang keilmuan para ulama salaf. Untuk melihat klasifikasi
ulama madzhab Hanabilah, sudah disediakan Thabaqah Hanabilah karya Imam Ibnu
Abi Ya’la al-Farra’ al-Hanbali. Untuk Syafiiyah telah tersedia Thabaqah
Syafiiyah (Shughra) karya Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Asnawi (w. 772 H), dan
Thabaqah Syafiiyah Kubra karya Imam Tajuddin As-Subki.
Sedangkan di bidang
tafsir, Imam As-Suyuthi sudah menulis Thabaqah al-Mufassirin. Selain itu, masih
banyak kitab thabaqat berdasarkan klasifikasi bidang keilmuan maupun
berdasarkan madzhab. Melalui thabaqah ini kita bisa melacak nama-nama ulama
berdasarkan biografi, karakteristik, dan karya masing-masing ulama.
Dengan adanya semacam
indeks nama disertai riwayat hidup sekilas ini, kita bisa dengan cermat
meneliti nama-nama ulama dan menghindari kesalahpahaman terhadap nama ulama
yang mirip maupun hampir mirip. Misalnya banyak ulama yang menisbatkan nama
dengan daerah kelahirannya, Ray, Persia, yang kemudian disebut Ar-Razi. Ada
banyak Ar-Razi dalam sejarah keilmuan Islam. Ada juga beberapa Isfirayini dan Al-Isfihani.
Selain itu ada juga penisbatan asal daerah yang mirip, seperti mufassir Imam
At-Thabari (w. 310 H) yang berasal dari Thabaristan, di sekitar Laut Kaspia,
dengan muhaddits Imam Al-Thabrani (w. 360 H.) yang lahir di Thabriyah,
Palestina.
Pertama Thabaristan,
yang kedua Thabriyah. Nyaris identik. Ini belum mengulas antara Ibnu Arabi dan
Ibnu al-Arabi, antara Ibul Qayyim al-Jauzi dengan Ibnul Jauzi, serta duet
mantap duo ayah anak: Taqiyyuddin dan Tajuddin As-Subki. Juga antara Ibnu Rusyd
al-Jadd (qadli), Ibnu Rusyd al-Ab (qadli) dengan Ibnu Rusyd al-Ashghar sang
filosof, dokter, sekaligus faqih jempolan. Ibnu Rusyd: satu nama yang dipakai
bapak, anak, dan cucu. Nama sama, tapi dengan kiprah yang berbeda. Yang paling
masyhur adalah yang Ibnu Rusyd al-Asghar yang menulis Bidayat al-Mujtahid.
Ada juga trio
al-Bulqini. Ini tiga ulama jempolan asal Mesir di mana matarantai intelektual,
khususnya fiqh, mayoritas ulama Nusantara menyambung melalui jalur ini.
Sirajuddin al-Bulqini (724-805 H./ 1324-1403 M), yang juga disebut sebagai
mujaddid, adalah ayah dari dua al-Bulqini lainnya: Jalaluddin al-Bulqini
(763-824 H./1362-1421 M) dan adiknya, ‘Alamuddin al-Bulqini (791-868
H./1388-1464 M.)
Selain itu, ada juga
dua Abu Bakar al-Qaffal (berdasarkan namanya, beliau di masa muda adalah
perajin gembok): Imam Abu Bakar Abdullah bin Ahmad bin Abdullah al-Qaffal
As-Shaghir (417 H.) dan Imam Abu Bakar Muhammad bin Ali Asy-Syasi al-Qaffal
al-Kabir (w. 365 H). Nama pertama berasal dari Khurasan, yang kedua lebih senior
berasal dari Syasyi (Tashkent, Ibukota Uzbekistan). As-Shaghir kondang dengan
keilmuan fiqh, sedangkan al-Kabir masyhur dengan penguasaanya di bidang ushul
fiqh. Makam Imam Syasyi al-Kabir berada di samping makam Imam Bukhari di
Tashkent.
Dalam wujud
perdebatan, antara kelompok Aswaja dengan Wahhabi mengenai penisbatan nama
“Wahhabi” juga memantik perdebatan. Kubu Aswaja menisbatkan nama madzhab ini
dengan Muhammad bin Abdul Wahab, ideolog Wahhabi modern, sebagaimana
identifikasi ini dilakukan oleh ulama Syafiiyah yang hidup pada saat kelompok
Wahhabi mulai mendominasi aliran keagamaan di Haramain. Misalnya, Mufti
Syafiiyah, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dengan tulisannya yang bagus, al-Fitnah
al-Wahhabiyah.
Sampai sekarang,
sebutan Wahhabiyah ini masih dipakai oleh kalangan ahlussunnah wal jamaah untuk
mengidentifikasi sebuah aliran keagamaan. Sebaliknya kubu Wahhabi tidak terima.
Mereka beranggapan apabila sebutan sinis “Wahhabiyah” adalah propaganda murahan
di mana sebelumnya sebutan ini dinisbatkan kepada aliran sempalan bercorak
Khawarij yang dipimpin oleh Abdul Wahab Rustum (w. 211 H.), yang hidup beberapa
abad sebelum Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1206 H.).
Di Indonesia,
bagaimana?
Di Indonesia, dalam
contoh paling sederhana saja, masih ada beberapa orang yang salah mengutip nama
ulama. Misalnya (Abu Zakariya) Imam an-Nawawi (631-676 H/1233-1277 M), fuqaha
sekaligus ahli hadis kenamaan kelahiran Damaskus, yang namanya sama dengan
Syaikh Nawawi (al-Bantani), mahaguru ulama Nusantara (1230-1314 H/ 1813-1897
M). Bahkan, seorang cendekiawan terkemuka di Indonesia sempat keliru menyebut
“Arbain An-Nawawiyyah” sebagai karya Syaikh Nawawi, padahal karya di bidang
hadis ini adalah buah pikiran Imam An-Nawawi. Perbedaannya hanyalah sebutan
“Imam” dan “Syekh”, tapi butuh kejelian untuk mengenalinya. Demikian pula
tampaknya ada kekeliruan mengenai karamah Imam Nawawi Ad-Dimasyqi yang
dinisbatkan kepada Syaikh Nawawi al-Bantani.
Di lain pihak, dalam
tradisi kitab kuning yang kuat mengakar dalam tradisi Islam Nusantara, ada nama
yang cukup melegenda: Syaikh Zainuddin al-Malibari (w. 987 H./1579 M). Beliau
adalah ulama fiqh madzhab Syafii kelahiran Malabar, India yang juga disebut
sebagai Zainuddin Ats-Tsani, karena kakeknya juga bernama Zainuddin. Zainuddin
Ats-Tsani ini adalah penulis Fathul Mu’in yang merupakan syarah atas karyanya
sendiri, Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din. Isryadul Ibad ila Sabil
Ar-Rasyad adalah karya lainnya.
Sedangkan kakeknya,
Zainuddin bin Ali bin Ahmad al-Malibari juga merupakan pakar fiqh Syafiiyah
yang lahir di Malibar/Malabar pada tahun 872 H/1467 M dan wafat di Ponani
(Fanan) pada 928 H./ 1521 M. Karya sang kakek yang cukup populer di Indonesia
adalah kitab tasawuf Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya’.
Zainuddin al-Malibari
pertama ini juga dikenal dengan nama Zainuddin al-Fanani, dinisbatkan pada nama
tempat wafatnya. Kitab Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya’ ini adalah salah
satu kitab tasawuf yang paling populer di awal abad ke XX, dimana ulama
sekaliber KH. Sholeh Darat memberi syarah kitab ini dengan judul Minhaj
al-Atqiya fi Syarh Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya’.
Bahkan, saya menduga,
KH. Santoso Anom Besari, keturunan Kiai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo, adalah
pengagum kitab Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya’ sehingga menamakan
putranya dengan tabarrukan dengan nama Zainuddin al-Malibari al-Fanani ini,
hingga kelak putranya, KH> Zainuddin Fanani, menjadi salah satu pendiri Pesantren
Darussalam Gontor bersama saudara-saudaranya.
Kembali ke bahasan
awal. Selain salah sangka di atas, ada banyak nama ulama Indonesia yang mirip.
Di kurun awal, ada Syaikh Khatib As-Sambasi (1217 H./ 1803 M-1875 M) ) dan
Syaikh Khatib al-Minangkabawi. Syaikh Khatib Sambas adalah ulama tarekat yang
menggabungkan dua aliran besar: Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, di mana melalui
ijtihad ruhaniahnya beliau menggabungkannya menjadi Thariqah Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah yang memiliki jutaan pengamal di kawasan Asia Tenggara.
Sama dengan Syaikh
Khatib Sambas yang juga banyak menghabiskan waktu mengajar di Makkah hingga
wafat di kota suci ini, Syaikh Khatib yang kedua, al-Minangkabawi (1860-1916),
adalah ulama fiqh dan menjadi guru bagi para ulama Nusantara di awal abad
ke-20. Dua muridnya, KH. Ahmad Dahlan, KH M. Hasyim Asyari, dan KH Abdul Halim
Majalengka kelak menjadi penggerak kemajuan pendidikan dan berorganisasi di
tanah air melalui masing-masing organisasi yang mereka dirikan (Muhammadiyah,
NU, dan PUI).
Selepas era ini ada
juga beberapa nama yang, mirip, misalnya antara Buya Hamka dan ayahnya. Haji
Karim Amrullah (1879-1945), adalah penggerak pendidikan Islam di Sumatera Barat
melalui Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di zaman pergerakan. Sedangkan
anaknya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka (1908-1981), adalah
sastrawan, mufassir, ahli fiqh, dan ulama Muhammadiyah yang berpengaruh.
Selain itu, di
kalangan kaum muslim tradisionalis, ada dua nama KH. Abdul Halim yang sama-sama
berasal dari Majalengka. Nama pertama, KH. Abdul Halim alias KH Muhammad
Syathori (Otong Satori) yang lahir pada 26 Juni 1887. Beliau diangkat sebagai
pahlawan nasional pada tahun 2008. Ajengan Halim adalah pendiri Perserikatan
Ulama Indonesia (PUI) maupun Persatuan Umat Islam. Di dalam konteks kenegaraan,
beliau aktif sebagai anggota di BPUPKI, bahkan setelah kemerdekaan sempat
menjadi Bupati Majalengka, dan aktif menentang DI/TII sampai akhir hayatnya di
tahun 1962.
Sedangkan KH Abdul
Halim berikutnya adalah KH. Abdul Halim dari Nahdlatul Ulama. Beberapa blog dan
website saya cek banyak yang tertukar menempatkan fotonya. Foto Ajengan Halim
PUI disebut sebagai foto Kiai Halim NU, demikian pula sebaliknya. KH. Abdul
Halim yang kedua ini juga terkenal dengan sebutan Kiai Halim Leuwimunding
(salah satu daerah Majalengka). Pria kelahiran 1898 ini adalah salah satu kader
KH Abdul Wahab Chasbullah saat belajar di Makkah, yang kemudian rela berjalan
kaki dari Majalengka ke Surabaya untuk bergabung dengan Nahdlatul Ulama yang
baru berdiri.
Santri Tebuireng
angkatan pertama ini juga terlibat dalam kepengurusan NU generasi awal.
Putranya, KH Asep Saifuddin Halim, yang pernah menjabat sebagai Ketua PCNU Kota
Surabaya, saat ini mengasuh Ponpes Amanatul Ummah di Surabaya dan di Pacet
Mojokerto dan sekaligus mengabadikan nama KH. Abdul Halim yang wafat pada 1972
ini sebagai nama sekolah tinggi di Mojokerto.
Di antara kebingungan
lain yang dialami oleh beberapa penelusur sejarah adalah nama “Kiai Dahlan”.
Dalam penelusuran penulis, ada beberapa nama Kiai Dahlan yang populer dan
sempat terjadi kerancuan. Nama pertama tentu saja KH Ahmad Dahlan alias
Muhammad Darwis, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Cendekiawan Deliar Noer,
dalam salah satu karyanya, menyebut apabila Kiai Ahmad Dahlan ini juga ikut
memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia alias MIAI, pada tahun
1937. Padahal apabila ditelisik, Kiai Dahlan Muhammadiyah wafat pada tahun
1923, jauh sebelum berdirinya MIAI. Lantas siapa sebenarnya Kiai Dahlan pendiri
MIAI ini?
Nama lengkapnya KH
Ahmad Dahlan bin KH Muhammad Achyad, dari Kebondalem Surabaya. Beliau adalah
aktivis pergerakan yang membidani beberapa embiro NU, seperti Tashwirul Afkar,
dan kemudian terlibat penuh dalam pendirian organisasi NU, 1926, sebagai Wakil
Rais Akbar. Ulama kelahiran 30 Oktober 1885 ini juga menulis beberapa risalah
yang mengkonter perdebatan furuiyah antara kaum pembaru dan kaum tradisionalis
yang meruncing di era 1920-an tersebut. Sahabat penulis, Dr Wasid Mansyur
menuliskan biografi Kiai Dahlan Kebondalem ini dengan judul “Kiai Ahmad
Dahlan: Aktivis Pergerakan dan Pembela Ajaran Aswaja” (Surabaya:
Pustaka Idea, 2015).
Sebelum era Kiai
Dahlan Muhammadiyah dan Kiai Dahlan MIAI, ada juga era keemasan Kiai Dahlan
Falak. Siapa beliau ini? Nama lengkapnya KH Dahlan bin Abdullah Attarmasi
Assamarani. Beliau pakar falak yang kemudian diambil menantu oleh KH. Saleh
Darat. Penulis Natijatul Miqat yang juga adik kandung Syaikh Mahfudz Attarmasi
ini adalah salah seorang ulama Nusantara yang diakui kepakarannya di bidang
falak.
Dalam buku Materpiece
Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945 karya Zainul Milal
Bizawie disebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan dan sahabatnya, Syaikh Muhammad Hasan
Asy’ari al-Baweyani, berangkat menuju beberapa wilayah Arab dan menuju ke Al
Azhar Kairo. Di Kairo keduanya berjumpa dengan dua ulama Nusantara: Syaikh
Jamil Djambek dan Syaikh Ahmad Thahir Jalaludin. Selama di Kairo keduanya
mengkhatamkan kitab induk ilmu falak karya Syaikh Husain Zaid Al Mishri, Al
Mathla’ fi Al Sa’id fi Hisabi al Kawakib ‘ala Rashdi al Jadid yang ditulis
awal abad 19. Sepulang dari rihlah ilmiah ini, beliau mengembangkan kajian
keilmuannya di Semarang. Kiai Dahlan Falak ini lahir di Pacitan, 1862, dan
wafat di Semarang, 1911. Makamnya bersebelahan dengan mertuanya, KH Sholeh
Darat.
Sedangkan Kiai Dahlan
selanjutnya adalah KH Dahlan Abdul Qahar, salah seorang ulama asal Kertosono
Nganjuk yang ikut membidani kelahiran NU. Karib KH Abdul Wahab Chasbullah ini
bersama Syaikh Ghanaim al-Mishri ikut melakukan negosiasi ke Raja Arab Saudi,
Ibnu Suud, mengenai kebebasan menjalankan madzhab dan beberapa tuntutan lain melalui
wadah Komite Hijaz, beberapa saat sebelum NU berdiri.
Adapun Kiai Dahlan
berikutnya juga berasal dari NU. Lahir di Pasuruan, 1909, dengan nama Muhamamd
Dahlan, beliau tercatat sebagai penggerak (muharrik) Ansor NU di awal
berdirinya bersama KH. Abdullah Ubaid. Di kemudian hari, aktivis yang
dianugerahi suara merdu ini juga menjabat sebagai Ketua PBNU, lalu menjadi
Menteri Agama (menggantikan KH. Saifuddin Zuhri) di awal Orde Baru. Kiprah yang
paling menonjol adalah merintis Musaqabah Tilawatil Qur’an (MTQ), dan bersama
KH Ibrahim Hosen, Prof Mukti Ali, KH Zaini Miftah, dan KH Ali Masyhar
merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an. Pengamal Dalail Khairat
hingga akhir hayatnya ini dimakamkan di TMP Kalibata, pada 1 Februari 1977.
Kiai Dahlan yang
paling terakhir adalah KH Dahlan Salim Zarkasyi atau yang masyhur dengan
sebutan Kiai Dahlan Qiraati. Beliau turut andil dalam pengembangan ilmu
al-Qur'an di Indonesia dengan metodenya, Qiraati. Hamilul Qur'an yang lahir
pada 1928 ini dikenal sebagai sosok yang mencintai anak-anak dan di sisi lain
berusaha menanamkan kecintaan al-Qur'an kepada mereka. Hingga akhirnya dengan
metode Qiraati, beliau ikut turut serta mengembangkan kajian keilmuan al-Qur'an
dan membantu masyarakat awam dalam belajar membaca al-Qur'an.
Kiai Dahlan mungkin
tidak pernah menyangka metode hasil karyanya akan bisa sepopuler seperti
sekarang ini. Bermula dari pengajian di sebuah teras rumah di Jalan MT.
Haryono, Kampung Kebonarum, Semarang, kini Qiraati telah dimanfaatkan dan
dipelajari oleh puluhan ribu masyarakat di berbagai pelosok nusantara. Bahkan,
saat ini Qiraati juga telah merambah hingga ke beberapa negeri jiran. Namun
sayang, beliau tidak sempat ikut menyaksikan kemanfaatan Qiraati yang dulu
beliau rintis, sebab KH. Dahlan Salim Zarkasyi telah wafat pada tanggal 20
Januari 2001 yang lalu.
***
Berdasarkan pemaparan
di atas, dan mengingat pentingnya penelusuran data secara komprehensif agar
tidak terjadi silangsengkarut sejarah ulama kita, maka penyusunan
Thabaqat Ulama Nusantara penulis kira menjadi langkah paling tepat. KH Ahmad
Musthofa Bisri (Gus Mus) pernah menyatakan apabila Syaikh Yasin bin Isa
al-Fadani, salah seorang muhaddits keturunan Indonesia yang bermukim di Makkah,
pernah menyatakan cita-citanya menulis Thabaqat Ulama Indonesia. Tujuannya,
kata Gus Mus mengutip pendapat Syaikh Yasin, agar kiprah ulama Indonesia bisa
mendunia. Namun sayangnya, hingga kini cita-cita Syaikh Yasin belum ada yang
melanjutkan. Wallahu A’lam Bisshawab. []
Rijal Mumazziq Z, Ketua
Lembaga Ta'lif wa Nasyr (LTN) PCNU Kota Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar