Rabu, 10 Mei 2017

Enam Nama Kiai Dahlan dan Pentingnya Thabaqah Ulama Nusantara



Enam Nama Kiai Dahlan dan Pentingnya Thabaqah Ulama Nusantara

Kita beruntung hidup di masa sekarang, setelah ulama di masa lalu menulis thabaqah berdasarkan corak madzhab maupun bidang keilmuan para ulama salaf. Untuk melihat klasifikasi ulama madzhab Hanabilah, sudah disediakan Thabaqah Hanabilah karya Imam Ibnu Abi Ya’la al-Farra’ al-Hanbali. Untuk Syafiiyah telah tersedia Thabaqah Syafiiyah (Shughra) karya Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Asnawi (w. 772 H), dan Thabaqah Syafiiyah Kubra karya Imam Tajuddin As-Subki.

Sedangkan di bidang tafsir, Imam As-Suyuthi sudah menulis Thabaqah al-Mufassirin. Selain itu, masih banyak kitab thabaqat berdasarkan klasifikasi bidang keilmuan maupun berdasarkan madzhab. Melalui thabaqah ini kita bisa melacak nama-nama ulama berdasarkan biografi, karakteristik, dan karya masing-masing ulama.

Dengan adanya semacam indeks nama disertai riwayat hidup sekilas ini, kita bisa dengan cermat meneliti nama-nama ulama dan menghindari kesalahpahaman terhadap nama ulama yang mirip maupun hampir mirip. Misalnya banyak ulama yang menisbatkan nama dengan daerah kelahirannya, Ray, Persia, yang kemudian disebut Ar-Razi. Ada banyak Ar-Razi dalam sejarah keilmuan Islam. Ada juga beberapa Isfirayini dan Al-Isfihani. Selain itu ada juga penisbatan asal daerah yang mirip, seperti mufassir Imam At-Thabari (w. 310 H) yang berasal dari Thabaristan, di sekitar Laut Kaspia, dengan muhaddits Imam Al-Thabrani (w. 360 H.) yang lahir di Thabriyah, Palestina. 

Pertama Thabaristan, yang kedua Thabriyah. Nyaris identik. Ini belum mengulas antara Ibnu Arabi dan Ibnu al-Arabi, antara Ibul Qayyim al-Jauzi dengan Ibnul Jauzi, serta duet mantap duo ayah anak: Taqiyyuddin dan Tajuddin As-Subki. Juga antara Ibnu Rusyd al-Jadd (qadli), Ibnu Rusyd al-Ab (qadli) dengan Ibnu Rusyd al-Ashghar sang filosof, dokter, sekaligus faqih jempolan. Ibnu Rusyd: satu nama yang dipakai bapak, anak, dan cucu. Nama sama, tapi dengan kiprah yang berbeda. Yang paling masyhur adalah yang Ibnu Rusyd al-Asghar yang menulis Bidayat al-Mujtahid.

Ada juga trio al-Bulqini. Ini tiga ulama jempolan asal Mesir di mana matarantai intelektual, khususnya fiqh, mayoritas ulama Nusantara menyambung melalui jalur ini. Sirajuddin al-Bulqini (724-805 H./ 1324-1403 M), yang juga disebut sebagai mujaddid, adalah ayah dari dua al-Bulqini lainnya: Jalaluddin al-Bulqini (763-824 H./1362-1421 M) dan adiknya, ‘Alamuddin al-Bulqini (791-868 H./1388-1464 M.)

Selain itu, ada juga dua Abu Bakar al-Qaffal (berdasarkan namanya, beliau di masa muda adalah perajin gembok): Imam Abu Bakar Abdullah bin Ahmad bin Abdullah al-Qaffal As-Shaghir (417 H.) dan Imam Abu Bakar Muhammad bin Ali Asy-Syasi al-Qaffal al-Kabir (w. 365 H). Nama pertama berasal dari Khurasan, yang kedua lebih senior berasal dari Syasyi (Tashkent, Ibukota Uzbekistan). As-Shaghir kondang dengan keilmuan fiqh, sedangkan al-Kabir masyhur dengan penguasaanya di bidang ushul fiqh. Makam Imam Syasyi al-Kabir berada di samping makam Imam Bukhari di Tashkent. 

Dalam wujud perdebatan, antara kelompok Aswaja dengan Wahhabi mengenai penisbatan nama “Wahhabi” juga memantik perdebatan. Kubu Aswaja menisbatkan nama madzhab ini dengan Muhammad bin Abdul Wahab, ideolog Wahhabi modern, sebagaimana identifikasi ini dilakukan oleh ulama Syafiiyah yang hidup pada saat kelompok Wahhabi mulai mendominasi aliran keagamaan di Haramain. Misalnya, Mufti Syafiiyah, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dengan tulisannya yang bagus, al-Fitnah al-Wahhabiyah. 

Sampai sekarang, sebutan Wahhabiyah ini masih dipakai oleh kalangan ahlussunnah wal jamaah untuk mengidentifikasi sebuah aliran keagamaan. Sebaliknya kubu Wahhabi tidak terima. Mereka beranggapan apabila sebutan sinis “Wahhabiyah” adalah propaganda murahan di mana sebelumnya sebutan ini dinisbatkan kepada aliran sempalan bercorak Khawarij yang dipimpin oleh Abdul Wahab Rustum (w. 211 H.), yang hidup beberapa abad sebelum Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1206 H.).

Di Indonesia, bagaimana? 

Di Indonesia, dalam contoh paling sederhana saja, masih ada beberapa orang yang salah mengutip nama ulama. Misalnya (Abu Zakariya) Imam an-Nawawi (631-676 H/1233-1277 M), fuqaha sekaligus ahli hadis kenamaan kelahiran Damaskus, yang namanya sama dengan Syaikh Nawawi (al-Bantani), mahaguru ulama Nusantara (1230-1314 H/ 1813-1897 M). Bahkan, seorang cendekiawan terkemuka di Indonesia sempat keliru menyebut “Arbain An-Nawawiyyah” sebagai karya Syaikh Nawawi, padahal karya di bidang hadis ini adalah buah pikiran Imam An-Nawawi. Perbedaannya hanyalah sebutan “Imam” dan “Syekh”, tapi butuh kejelian untuk mengenalinya. Demikian pula tampaknya ada kekeliruan mengenai karamah Imam Nawawi Ad-Dimasyqi yang dinisbatkan kepada Syaikh Nawawi al-Bantani.

Di lain pihak, dalam tradisi kitab kuning yang kuat mengakar dalam tradisi Islam Nusantara, ada nama yang cukup melegenda: Syaikh Zainuddin al-Malibari (w. 987 H./1579 M). Beliau adalah ulama fiqh madzhab Syafii kelahiran Malabar, India yang juga disebut sebagai Zainuddin Ats-Tsani, karena kakeknya juga bernama Zainuddin. Zainuddin Ats-Tsani ini adalah penulis Fathul Mu’in yang merupakan syarah atas karyanya sendiri, Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din. Isryadul Ibad ila Sabil Ar-Rasyad adalah karya lainnya.

Sedangkan kakeknya, Zainuddin bin Ali bin Ahmad al-Malibari juga merupakan pakar fiqh Syafiiyah yang lahir di Malibar/Malabar pada tahun 872 H/1467 M dan wafat di Ponani (Fanan) pada 928 H./ 1521 M. Karya sang kakek yang cukup populer di Indonesia adalah kitab tasawuf Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya’.

Zainuddin al-Malibari pertama ini juga dikenal dengan nama Zainuddin al-Fanani, dinisbatkan pada nama tempat wafatnya. Kitab Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya’ ini adalah salah satu kitab tasawuf yang paling populer di awal abad ke XX, dimana ulama sekaliber KH. Sholeh Darat memberi syarah kitab ini dengan judul Minhaj al-Atqiya fi Syarh Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya’. 

Bahkan, saya menduga, KH. Santoso Anom Besari, keturunan Kiai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo, adalah pengagum kitab Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya’ sehingga menamakan putranya dengan tabarrukan dengan nama Zainuddin al-Malibari al-Fanani ini, hingga kelak putranya, KH> Zainuddin Fanani, menjadi salah satu pendiri Pesantren Darussalam Gontor bersama saudara-saudaranya. 

Kembali ke bahasan awal. Selain salah sangka di atas, ada banyak nama ulama Indonesia yang mirip. Di kurun awal, ada Syaikh Khatib As-Sambasi (1217 H./ 1803 M-1875 M) ) dan Syaikh Khatib al-Minangkabawi. Syaikh Khatib Sambas adalah ulama tarekat yang menggabungkan dua aliran besar: Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, di mana melalui ijtihad ruhaniahnya beliau menggabungkannya menjadi Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang memiliki jutaan pengamal di kawasan Asia Tenggara.

Sama dengan Syaikh Khatib Sambas yang juga banyak menghabiskan waktu mengajar di Makkah hingga wafat di kota suci ini, Syaikh Khatib yang kedua, al-Minangkabawi (1860-1916), adalah ulama fiqh dan menjadi guru bagi para ulama Nusantara di awal abad ke-20. Dua muridnya, KH. Ahmad Dahlan, KH M. Hasyim Asyari, dan KH Abdul Halim Majalengka kelak menjadi penggerak kemajuan pendidikan dan berorganisasi di tanah air melalui masing-masing organisasi yang mereka dirikan (Muhammadiyah, NU, dan PUI).

Selepas era ini ada juga beberapa nama yang, mirip, misalnya antara Buya Hamka dan ayahnya. Haji Karim Amrullah (1879-1945), adalah penggerak pendidikan Islam di Sumatera Barat melalui Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di zaman pergerakan. Sedangkan anaknya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka (1908-1981), adalah sastrawan, mufassir, ahli fiqh, dan ulama Muhammadiyah yang berpengaruh.

Selain itu, di kalangan kaum muslim tradisionalis, ada dua nama KH. Abdul Halim yang sama-sama berasal dari Majalengka. Nama pertama, KH. Abdul Halim alias KH Muhammad Syathori (Otong Satori) yang lahir pada 26 Juni 1887. Beliau diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun 2008. Ajengan Halim adalah pendiri Perserikatan Ulama Indonesia (PUI) maupun Persatuan Umat Islam. Di dalam konteks kenegaraan, beliau aktif sebagai anggota di BPUPKI, bahkan setelah kemerdekaan sempat menjadi Bupati Majalengka, dan aktif menentang DI/TII sampai akhir hayatnya di tahun 1962.

Sedangkan KH Abdul Halim berikutnya adalah KH. Abdul Halim dari Nahdlatul Ulama. Beberapa blog dan website saya cek banyak yang tertukar menempatkan fotonya. Foto Ajengan Halim PUI disebut sebagai foto Kiai Halim NU, demikian pula sebaliknya. KH. Abdul Halim yang kedua ini juga terkenal dengan sebutan Kiai Halim Leuwimunding (salah satu daerah Majalengka). Pria kelahiran 1898 ini adalah salah satu kader KH Abdul Wahab Chasbullah saat belajar di Makkah, yang kemudian rela berjalan kaki dari Majalengka ke Surabaya untuk bergabung dengan Nahdlatul Ulama yang baru berdiri. 

Santri Tebuireng angkatan pertama ini juga terlibat dalam kepengurusan NU generasi awal. Putranya, KH Asep Saifuddin Halim, yang pernah menjabat sebagai Ketua PCNU Kota Surabaya, saat ini mengasuh Ponpes Amanatul Ummah di Surabaya dan di Pacet Mojokerto dan sekaligus mengabadikan nama KH. Abdul Halim yang wafat pada 1972 ini sebagai nama sekolah tinggi di Mojokerto.

Di antara kebingungan lain yang dialami oleh beberapa penelusur sejarah adalah nama “Kiai Dahlan”. Dalam penelusuran penulis, ada beberapa nama Kiai Dahlan yang populer dan sempat terjadi kerancuan. Nama pertama tentu saja KH Ahmad Dahlan alias Muhammad Darwis, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Cendekiawan Deliar Noer, dalam salah satu karyanya, menyebut apabila Kiai Ahmad Dahlan ini juga ikut memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia alias MIAI, pada tahun 1937. Padahal apabila ditelisik, Kiai Dahlan Muhammadiyah wafat pada tahun 1923, jauh sebelum berdirinya MIAI. Lantas siapa sebenarnya Kiai Dahlan pendiri MIAI ini?

Nama lengkapnya KH Ahmad Dahlan bin KH Muhammad Achyad, dari Kebondalem Surabaya. Beliau adalah aktivis pergerakan yang membidani beberapa embiro NU, seperti Tashwirul Afkar, dan kemudian terlibat penuh dalam pendirian organisasi NU, 1926, sebagai Wakil Rais Akbar. Ulama kelahiran 30 Oktober 1885 ini juga menulis beberapa risalah yang mengkonter perdebatan furuiyah antara kaum pembaru dan kaum tradisionalis yang meruncing di era 1920-an tersebut. Sahabat penulis, Dr Wasid Mansyur menuliskan biografi Kiai Dahlan Kebondalem ini dengan judul “Kiai Ahmad Dahlan: Aktivis  Pergerakan dan Pembela Ajaran Aswaja” (Surabaya: Pustaka Idea, 2015).

Sebelum era Kiai Dahlan Muhammadiyah dan Kiai Dahlan MIAI, ada juga era keemasan Kiai Dahlan Falak. Siapa beliau ini? Nama lengkapnya KH Dahlan bin Abdullah Attarmasi Assamarani. Beliau pakar falak yang kemudian diambil menantu oleh KH. Saleh Darat. Penulis Natijatul Miqat yang juga adik kandung Syaikh Mahfudz Attarmasi ini adalah salah seorang ulama Nusantara yang diakui kepakarannya di bidang falak. 

Dalam buku Materpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945 karya Zainul Milal Bizawie disebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan dan sahabatnya, Syaikh Muhammad Hasan Asy’ari al-Baweyani, berangkat menuju beberapa wilayah Arab dan menuju ke Al Azhar Kairo. Di Kairo keduanya berjumpa dengan dua ulama Nusantara: Syaikh Jamil Djambek dan Syaikh Ahmad Thahir Jalaludin. Selama di Kairo keduanya mengkhatamkan kitab induk ilmu falak karya Syaikh Husain Zaid Al Mishri, Al Mathla’ fi Al Sa’id fi Hisabi al Kawakib ‘ala Rashdi al Jadid yang ditulis awal abad 19. Sepulang dari rihlah ilmiah ini, beliau mengembangkan kajian keilmuannya di Semarang. Kiai Dahlan Falak ini lahir di Pacitan, 1862, dan wafat di Semarang, 1911. Makamnya bersebelahan dengan mertuanya, KH Sholeh Darat.

Sedangkan Kiai Dahlan selanjutnya adalah KH Dahlan Abdul Qahar, salah seorang ulama asal Kertosono Nganjuk yang ikut membidani kelahiran NU. Karib KH Abdul Wahab Chasbullah ini bersama Syaikh Ghanaim al-Mishri ikut melakukan negosiasi ke Raja Arab Saudi, Ibnu Suud, mengenai kebebasan menjalankan madzhab dan beberapa tuntutan lain melalui wadah Komite Hijaz, beberapa saat sebelum NU berdiri.

Adapun Kiai Dahlan berikutnya juga berasal dari NU. Lahir di Pasuruan, 1909, dengan nama Muhamamd Dahlan, beliau tercatat sebagai penggerak (muharrik) Ansor NU di awal berdirinya bersama KH. Abdullah Ubaid. Di kemudian hari, aktivis yang dianugerahi suara merdu ini juga menjabat sebagai Ketua PBNU, lalu menjadi Menteri Agama (menggantikan KH. Saifuddin Zuhri) di awal Orde Baru. Kiprah yang paling menonjol adalah merintis Musaqabah Tilawatil Qur’an (MTQ), dan bersama KH Ibrahim Hosen, Prof Mukti Ali, KH Zaini Miftah, dan KH Ali Masyhar  merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an. Pengamal Dalail Khairat hingga akhir hayatnya ini dimakamkan di TMP Kalibata, pada 1 Februari 1977.

Kiai Dahlan yang paling terakhir adalah KH Dahlan Salim Zarkasyi atau yang masyhur dengan sebutan Kiai Dahlan Qiraati. Beliau turut andil dalam pengembangan ilmu al-Qur'an di Indonesia dengan metodenya, Qiraati. Hamilul Qur'an yang lahir pada 1928 ini dikenal sebagai sosok yang mencintai anak-anak dan di sisi lain berusaha menanamkan kecintaan al-Qur'an kepada mereka. Hingga akhirnya dengan metode Qiraati, beliau ikut turut serta mengembangkan kajian keilmuan al-Qur'an dan membantu masyarakat awam dalam belajar membaca al-Qur'an.

Kiai Dahlan mungkin tidak pernah menyangka metode hasil karyanya akan bisa sepopuler seperti sekarang ini. Bermula dari pengajian di sebuah teras rumah di Jalan MT. Haryono, Kampung Kebonarum, Semarang, kini Qiraati telah dimanfaatkan dan dipelajari oleh puluhan ribu masyarakat di berbagai pelosok nusantara. Bahkan, saat ini Qiraati juga telah merambah hingga ke beberapa negeri jiran. Namun sayang, beliau tidak sempat ikut menyaksikan kemanfaatan Qiraati yang dulu beliau rintis, sebab KH. Dahlan Salim Zarkasyi telah wafat pada tanggal 20 Januari 2001 yang lalu.

***
Berdasarkan pemaparan di atas, dan mengingat pentingnya penelusuran data secara komprehensif agar tidak terjadi silangsengkarut sejarah ulama kita,  maka penyusunan Thabaqat Ulama Nusantara penulis kira menjadi langkah paling tepat. KH Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus) pernah menyatakan apabila Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani, salah seorang muhaddits keturunan Indonesia yang bermukim di Makkah, pernah menyatakan cita-citanya menulis Thabaqat Ulama Indonesia. Tujuannya, kata Gus Mus mengutip pendapat Syaikh Yasin, agar kiprah ulama Indonesia bisa mendunia. Namun sayangnya, hingga kini cita-cita Syaikh Yasin belum ada yang melanjutkan. Wallahu A’lam Bisshawab. []

Rijal Mumazziq Z, Ketua Lembaga Ta'lif wa Nasyr (LTN) PCNU Kota Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar