Jalan
Sunyi Pengorbanan
Oleh:
Yudi Latif
Dalam
krisis dengan kehilangan rasa saling percaya, diperlukan kejernihan mata batin
untuk melihat jalan keluar. Namun, gemerlap kehidupan pasca modern, seperti
yang memaguti Indonesia saat ini, adalah kehidupan yang disesaki kebisingan
sampah suara. Politisi, pedagang, ilmuwan, dan agamawan berlomba berebut
pengeras suara, jualan "kecap nomor satu". Nyaris tak ada yang siap
mendengar suara orang lain, bahkan suara batinnya sendiri.
Dalam
pasar perebutan suara, ketika setiap pihak datang dengan klaim kebenarannya
sendiri-sendiri, tak ada suara yang dapat dipercaya kecuali yang dikatakan
dalam bahasa diam. Hanya dalam diam, Tuhan sebagai bahasa kebenaran punya ruang
untuk hadir di relung hati, menemani kita dalam sunyi. Seperti kata Bunda
Teresa, "Tuhan adalah karib kesunyian. Pepohonan, bunga, dan rerumputan
tumbuh dalam kesunyian. Tengok juga bintang, bulan, dan matahari, semua
bergerak dalam sunyi."
Momen
kesunyian inilah yang mesti dihadirkan umat Islam ketika memasuki masjid dan
"rumah Allah" (Baitullah), serta umat Nasrani ketika memasuki gereja
dan hari Natal. Berhaji dan umrah bukanlah rekreasi dalam gerombolan peziarah.
Dan Natal bukanlah ekshibisi kerlip lampu dan pohon natal. Keduanya merupakan
ritus reflektif, untuk mengenang para panteon peradaban, yang berani keluar
dari jalan ramai, menuju jalan sunyi.
Muhammad
Asad dalam The Road to Mecca melukiskan: "Terdapat lebih banyak lanskap
yang indah di dunia, tetapi tak satu pun, aku kira, yang dapat membentuk spirit
manusia yang begitu kuat seperti jalan ke Mekkah.... Padang pasir adalah
sesuatu yang telanjang, bersih, dan tak mengenal kompromi. Ia menghapus hati
manusia dari berbagai fantasi yang menghadirkan angan-angan palsu sehingga
membuatnya bebas menyerahkan dirinya terhadap sesuatu yang absolut yang tak
bercitra: yang terjauh di antara yang jauh, tetapi yang terdekat di antara yang
dekat."
Dalam
sunyi dan ketelanjangan diri, dengan sengatan terik padang pasir, ada kekudusan
dalam kepasrahan. Dalam kekudusan dan kepasrahan, ada kekhusyukan dalam
peribadatan. Dalam kekhusyukan peribadatan, kesucian dan kebenaran Ilahi bisa
didekati. Dalam kedekatan dengan Ilahi, ada pijar pencerahan untuk mengemban
misi kekhalifahan. Dan di dalam misi kekhalifahan, ada pesan perdamaian.
Alhasil,
kesunyian menghadirkan kekayaan yang lain, yang tidak dimiliki oleh kebanyakan
manusia modern. Manusia modern boleh jadi bergelimang harta benda, tetapi acap
kali mengidap kemiskinan yang lain. Bukan hanya kemiskinan keterasingan,
melainkan juga kemiskinan spiritual, yang membuat mereka hidup dengan penuh
kecemasan dan kekerasan.
Hanya
dengan belajar menghikmati sunyi, manusia modern punya harapan untuk keluar
dari kemiskinan sejenis ini. Dalam kata-kata Bunda Teresa, "Buah dari
kesunyian adalah peribadatan; buah dari peribadatan adalah keyakinan; buah dari
keyakinan adalah kecintaan; buah dari kecintaan adalah pelayanan; buah dari
pelayanan adalah perdamaian."
Setiap
upaya pembebasan memerlukan latihan kesunyian penggembalaan. Bukankah sebagian
besar nabi pernah menjadi gembala ternak, untuk belajar mengayomi di jalan
sunyi? Lewat pelatihan olah batin sepanjang jalan sunyi pelayanan, manusia
dapat memadukan keimanan dan pengorbanan. Seperti Siti Hajar yang terlempar
dari keramaian Palestina menuju kesunyian padang pasir lembah Bakkah (Mekkah),
atau seperti Yesus dari Nazaret yang terlempar dari kemapanan menuju sunyi
penyaliban.
Al Quran
dengan jelas mengingatkan bahwa keimanan memerlukan ujian dalam bentuk
pengorbanan. "Tidaklah beriman seseorang hingga mengorbankan apa yang
dicintainya kepada orang lain." Dan justru di sinilah letak persoalan
kita.
Keimanan
kita tak menjadi sumber pembebasan dan kemajuan karena menipisnya daya-daya
kasih sayang dan semangat pengorbanan. Elite penguasa dan pengusaha tidak
terbiasa meletakkan tangannya di atas, tetapi senantiasa di bawah. Mereka
mengalami kemiskinan permanen karena tak pernah merasa cukup dengan apa yang
telah ditimbunnya dari merampas hak orang banyak.
Seseorang
datang hendak memberi uang kepada sufi Ibrahim bin Ad-ham. "Aku tak mau
terima sesuatu pun dari pengemis," ujar Ibrahim. "Tetapi aku seorang
yang kaya," ujar orang itu. "Apakah engkau masih menginginkan
kekayaan yang lebih besar dari yang telah engkau timbun sekarang?" kata
Ibrahim. "Ya," jawabnya. "Bawalah kembali uang ini! Engkau adalah
pemimpin dari para pengemis."
Ya,
betapa banyak orang menyandang predikat pemimpin dan hartawan, tetapi dengan
mentalitas pengemis. Dan dalam mentalitas pengemis, tidak akan pernah ada
kecukupan, tidak akan bersemi jiwa pengorbanan.
Gelombang
pasang gairah keagamaan hendaklah tidak berhenti di keramaian permukaan.
Semangat keagamaan harus mampu menyelam ke kesunyian kedalaman spiritualitas
untuk memulihkan sayap keimanan dan sayap pengorbanan dalam kehidupan. Bersama
tumbuhnya gairah keagamaan, tumbuh pula daya asketisme, altruisme, dan
toleransi.
Lewat
momen reflektif menjelang pergiliran tahun, semoga muncul kekuatan dan
kelahiran baru. Seperti kata Carl Gustav Jung, "Hanyalah dengan misteri
pengorbanan diri, seseorang bisa mengalami kelahiran baru." []
KOMPAS,
20 Desember 2016
Yudi
Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar