KHOTBAH JUM'AT
Menimba Pelajaran Penting dari Perjanjian
Hudaibiyah
Khutbah I
الحمد
لله الحمد لله الذي هدانا سبل السلام، وأفهمنا بشريعة النبي الكريم، أشهد ان لا
اله إلا الله وحده لا شريك له، ذو الجلال والإكرام، وأشهد أن سيدنا ونبينا محمدا
عبده و رسوله، اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى اله وأصحابه والتابعين
بإحسان إلى يوم الدين،ا اما بعد: فيايها الإخوان، أوصيكم و نفسي بتقوى الله وطاعته
لعلكم تفلحون، قال الله تعالى في القرآن الكريم: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم،
بسم الله الرحمان الرحيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله
وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صدق الله العظيم.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Pada tahun 628 M atau tahun 6 H, sekitar 1400 kaum Muslim yang dipimpin Rasulullah SAW berangkat ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Mengetahui kehadiran kaum Muslimin di Mekkah ini, orang-orang Quraisy bersiaga penuh. Melihat situasi yang tidak kondusif, Nabi Muhammad SAW mencoba menempuh jalur diplomasi dan bukan jalur militer atau perang untuk menghindari pertumpahan darah. Bagaimanapun Mekkah adalah tempat suci yang harus dijaga kesuciannya.
Jalur diplomasi tersebut adalah kesepakatan damai yang tertuang dalam Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian itu antara lain berisi bahwa kedua belah pihak sepakat untuk berdamai selama 10 tahun. Kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dan baru pada tahun berikutnya boleh kembali ke Mekah untuk berhaji.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Sebelum Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani oleh kedua belah pihak, ada peristiwa penting dan sangat menarik yang dapat kita ambil sebagai pelajaran berharga. Peristiwa itu adalah penolakan Suhail bin Amr sebagai juru bicara orang-orang Quraisy untuk menandatangani perjanjian tersebut. Hal yang dipersoalankan adalah teks perjanjian itu diawali dengan kalimat yang berbunyi: “Inilah perjanjian perdamaian yang dilaksanakan antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr”. Suhail menolak kata-kata “Muhammad Rasulullah” dalam kalimat pembuka tersebut dan menuntut agar kata-kata itu diganti dengan “Muhammad bin Abdullah” yang berarti “Muhammad anak laki-laki Abdullah”. Suhail bin Amr mengatakan:
لَوْ
كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُول اللهِ مَا صَدَدْنَاكَ عَنْ البَيْتِ و لا
قَاتَلْنَاكَ
Artinya: “Kalau kami mengetahui bahwa kamu (Muhammad) adalah Rasulullah, maka kami tidak akan menghalang-halangimu dari Baitullah dan tidak akan memerangimu.”
Pernyataan Suhail di atas merupakan alasan penolakannya atas kata-kata “Muhammad Rasulullah” dalam teks perjanjian itu karena secara teologis orang-orang Quraisy tidak percaya apalagi mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Orang-orang Quraisy hanya mengakui bahwa Muhammad tidak lebih dari anak laki-laki Abdullah. Karena itulah mereka memusuhi kaum Muslimin di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang memegang keyakinan iman tauhid, “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya”.
Bagaimanakah sikap Rasulullah SAW menanggapi tuntutan Suhail bin Amr di atas?
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Menanggapi hal itu Rasulullah SAW tidak marah dan tidak pula merasa tersinggung karena persoalan keyakinan memang tidak boleh dipaksakan sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Baqarah ayat 256:
لَا
إِكْرَاهَ فِي الدِّيْن
Artinya: “Tidak ada paksaan di dalam (memeluk) Islam.”
Rasulullah SAW kemudian segera memerintahkan Ali bin Abi Thalib selaku sekretaris yang menyiapkan draft Perjanjian Hudaibiyah untuk merevisi dengan menghapus kata-kata “Muhammad Rasulullah” dan menggantinya dengan “Muhammad bin Abdullah".
Namun apa jawaban Ali bin Abi Thalib menaggapi perintah Rasulullah SAW tersebut?
Sayyidina Ali menjawab:
واللهِ
لَا أمْحَاهَا
Artinya: “Demi Allah saya tidak akan menghapusnya.”
Mungkin kita tidak pernah membayangkan Ali bin Abi Thalib, orang pertama dalam sejarah dari kalangan anak-anak yang memeluk agama Islam, menolak perintah Rasullah SAW. Apalagi penolakan itu diawali dengan sumpah “Demi Allah”. Sungguh ini seperti tidak masuk akal orang dekat Rasulullah SAW menolak perintah beliau mentah-mentah.
Lalu bagaimana reaksi Rasulullah SAW terhadap Ali bin Abi Thalib, sang menantu, yang berani membantah perintah itu?
Menanggapi hal itu, ternyata Rasulullah SAW tidak marah dan tidak pula merasa tersinggung karena persoalan keyakinan memang tidak bisa dipaksakan, baik dipaksakan untuk diyakini atau tidak diyakini. Rasulullah SAW sangat memahami kesulitan yang dihadapi Ali bin Abi Thalib. Ada dilema besar dalam diri beliau. Di satu sisi, kalau Ali bin Abi Thalib menghapus kata-kata “Rasulullah” dalam teks perjanjian itu berarti beliau telah mematuhi perintah Rasulullah. Ini positif dan baik. Tetapi bukankah itu sekaligus bisa berarti Sayyidina Ali tidak lagi mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW sebagaimana orang-orang Quraisy?
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Mungkin itulah alasan mengapa Sayyidina Ali memilih membantah perintah Rasulullah daripada mengorbankan keimanan atau keyakinannya bahwa Muhammad bukan sekedar anak laki-laki Abdullah tetapi sekaligus Rasulullah yang diutus kepada seluruh umat manusia di jagat raya ini.
Rasullah SAW kemudian menjawab:
أَرِنِي
مَكَانَهَا
Artinya: “Tunjukkan padaku mana yang ada tulisan kata ‘Rasulullah’ itu?”
Sudah barang tentu kita sangat memahami mengapa Rasulullah SAW minta ditujukkan mana tulisan kata-kata “Rasulullah” dalam teks perjajian itu karena beliau seorang Nabi yang ummi, yakni seseorang yang memiliki kesulitan membaca dan menulis. Bahkan banyak yang memaknai ummi berarti buta huruf, yakni seseorang yang tidak mampu membaca dan menulis sama sekali.
Ali bin Abi Thalib kemudian menunjukkan kepada Nabi Muhammad SAW mana tulisan “Rasulullah” dalam teks perjanjian perdamaian tersebut. Setelah ditunjukkan, Rasulullah SAW kemudian menghapus sendiri kata-kata itu sesuai dengan tuntutan orang-orang Quraisy yang diwakili Suhail bin Amr. Rasulullah SAW tidak keberatan menghapus kata-kata itu demi menghormati kebebasan berkeyakinan sekaligus untuk mencapai perdamaian antara kaum Muslimin dan orang-orang Quraisy yang memusuhinya.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Setelah Rasulullah SAW menghapus sendiri kata-kata “Rasulullah”, lalu siapakah yang kemudian menuliskan kata-kata “bin Abdullah” yang artinya “anak laki-laki Abdullah” untuk mengganti kata-kata “Rasulullah”?
Pertanyaan itu dapat kita temukan jawabannya dalam Tafsir Al Qurthubi karya Abu ‘Abdullah bin Ahmad Al-Qurtubi Al-Maliki dalam tafsir Surah Al’Ankabut ayat 48. Di dalam tafsir ayat ini dengan mengacu pada hadits riwayat Bukhari diceritakan bahwa setelah Rasulullah SAW menghapus sendiri kata-kata “Rasulullah”, beliau sendirilah yang kemudian menuliskan kata-kata “bin Abdullah” dengan tangan kanan beliau sendiri.
Rasulullah SAW pada dasarnya memang tidak bisa atau tidak pandai membaca dan menulis tetapi dalam keadaan sangat terjepit, Rasulullah dengan pertolongan Allah SWT dapat menulis seperti menulis kata-kata “bin Abdullah” untuk merevisi teks Perjanjian Hudaibiyah setelah Ali bin Abi Thalib menolak untuk melakukannya.
Al-Qur’an surah Al’Ankabut ayat 48 berbunyi:
وَمَا
كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ ولا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ ۖ إِذًا
لاَرْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
Artinya: “Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu Kitabpun sebelum adanya Al-Qur’an dan engkau tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscara ragu orang-orang yang mengingkarinya.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah membaca dan menulis sesuatu apa pun sebelum turunnya Al-Qur’an. Hal ini untuk menjamin bahwa Al-Qur’an bukan karya Muhammad tetapi wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril. Tetapi setelah Al-Qur’an turun ada kemungkinan Nabi Muhammad SAW pernah suatu ketika menulis sesuatu. Dan kemungkinan itu terwujud ketika beliau harus menulis sendiri kata-kata “bin Abdullah” untuk mengganti kata-kata “Rasulullah” dalam teks Perjanjian Hudaibiyah setelah Ali bin Abi Thalib menolak melakukan hal itu.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Mudah-mudahan apa yang telah saya uraikan di atas dapat memberikan manfaat khususnya diri saya sendiri dan sidang Jum’ah pada umumnya. Pelajaran berharga dari peristiwa Perjanjian Hudaibiyah tersebut adalah pentingnya menjunjung tinggi perdamaian. Lewat diplomasi, Rasulullah menghindari pertumpahan darah, meski dengan begitu beliau merelakan Islam pada tataran simbol (bukan substansi) tak tampil menonjol. Nabi juga menunjukkan sikap tak ingin memaksakan kehendak dalam hal perbedaan keyakinan.
Kisah tersebut juga dapat menjadi insirasi bagi kita dalam hidup bermasyarakat yang majemuk di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kebesaran hati dan sikap menghormati keyakinan orang lain yang berbeda sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW menjadi hal yang sangat penting dalam rangka menjaga kerukunan bersama. Mudah-mudahan kita semua dimudahkan oleh Allah SWT dalam upaya kita meneladani Rasulullah SAW. Amin, amin ya rabbal alamin.
جعلنا
الله واياكم من الفائزين الامنين، وادخلنا واياكم في زمرة عباده المؤمنين : اعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمان الرحيم:
يايها الذين امنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا. بارك الله لي ولكم في القران
العظيم ونفعني واياكم بما فيه من الايات والذكرالحكيم، وتقبل مني ومنكم تلاوته انه
هو الغفور الرحيم، وقل رب اغفر وارحم وانت خيرالراحمين.
Khutbah II
الحمد
لله الحمد لله الذي أَكْرَمَنَا بِدِيْنِ الْحَقِّ المُبِيْنِ، وأفضلنا بشريعة
النبي الكريم، أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ الملك الحق المبين، و وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، سيدالانبياء والمرسلين، اللهم صل و سلم وبارك على نبينا
محمد وعلى اله وصحبه والتابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد:
فيا أيها الناس اتقوا الله، وافعلوا الخيرات واجتنبوا عن السيئات، واعلموا
أن الله ياْمركم بامربداْ فيه بنفسه، فقال عز من قائل: إن الله وملائكته يصلون على
النبى، يا ايها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صلّ على
سيدنا محمد و على آل سيدنا
محمد.
اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الاحياء منهم والاموات انك
سميع قريب مجيب الدعوات، وغافر الذنوب إنك على كل شيء قدير. ربنا اغفر لنا ذنوبنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا
تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا انك رؤوف رحيم ، ربنا آتنا في الدنيا حسنة
وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. والحمد لله رب العالمين. عبادالله، إن الله يأمر
بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم
تذكرون. فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكروه على نعمه يزدكم ولذكرالله أكبر.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar