Gus Dur dan Surat
Sakti Lurah Gambir
Detik-detik terakhir Gus Dur di Istana Negara |
Tahun 2001 silam,
angin kencang berhembus kepada Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sampai-sampai berbagai cara dilakukan oleh lawan politiknya untuk
melengserkannya dari jabatan orang nomor satu di Indonesia, termasuk
kriminalisasi.
Namun hingga sekarang,
hukum tidak pernah bisa membuktikan bahwa Presiden Gus Dur bersalah dalam kasus
yang dilemparkan oleh lawan politiknya di Parlemen. Sehingga kasus Gus Dur
murni politisasi.
Baik secara hukum
pidana maupun tata negara, Gus Dur tidak jatuh pada kasus Bulog dan Brunei
seperti yang dituduhkan parlemen. Penjatuhan Gus Dur adalah persoalan
pertarungan politik dimana yang satu kalah yang satu menang. Bukan soal hukum
yang satu benar, yang satu kalah. Dan Gus Dur kalah dalam pertarungan politik
itu, karena dikeroyok ramai-ramai.
Gus Dur saat itu
berpikir daripada perang saudara hanya gara-gara mempertahankan jabatan
duniawi, lebih baik ia mundur dari jabatan Presiden RI. Mundur bukan karena
mengalah, tetapi Gus Dur lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan keutuhan
negara. Sebab, jutaan rakyat Indonesia kala itu akan membela mati-matian agar
Gus Dur tetap pada tampuk pimpinan tertinggi negara.
Gus Dur sekuat tenaga
menahan amarah rakyat yang mendukung penuh dirinya. Namun, Gus Dur masih belum
menemukan alasan yang tepat untuk keluar dari Istana Negara kala itu. Karena
yang dituduhkan parlemen jelas tidak bisa diterima, sebab inkonstitusional dan
tidak rasional (irrasional).
Yang menarik dalam
persitiwa itu adalah cara Gus Dur yang menolak untuk menjadikan pelengseran itu
sebagai tragedi personal. Ia tak merengek atau curhat di depan publik terkait
dengan serangan politik terhadapnya. Sikap Gus Dur masih nampak sama, dengan logika
komunikasi publik yang gitu saja kok repot.
Dalam sebuah acara,
Gus Dur pernah bercerita tentang perbincangannya dengan Luhut Pandjaitan. Saat
itu Gus Dur bercerita pada Luhut tentang hukum Islam yang mengatur bahwa kalau
orang diusir dari rumahnya dia harus melawan, kalau perlu dengan menggunakan
kekerasan. Namun karena Gus Dur tak ingin mengambil jalan kekerasan, dia lalu
meminta bantuan Luhut untuk menguruskan surat perintah pengosongan Istana
Negara dari kantor Kelurahan Gambir karena Istana Negara berdomisili di
Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat.
Karena pengosongan
Istana adalah kehendak pemerintah setempat yang sah, maka Gus Dur tak perlu
melawan sama sekali. Kewajiban mempertahankan “rumah” pun gugur. Urusan
selesai, dan Gus Dur keluar dari Istana tanpa gejolak. Gus Dur tak menjadikan
pelengseran dirinya sebagai beban personal.
Dalam perbincangan
lain dengan KH Maman Imanulhaq, Gus Dur ditanya kenapa harus membuat surat
perintah dari Lurah Gambir? "Supaya nanti ketika di hadapan Allah ditanya,
kenapa kamu meninggalkan Istana Negara? Tinggal saya jawab: monggo (silakan)
ditanya saja ke Lurah Gambir,” ujar Gus Dur.
Itulah Gus Dur, sang
Guru Bangsa. Bukannya susah payah mengumpulkan energi politik untuk melawan
kekuatan para pengeroyok, Gus Dur justru menegaskan pada orang di sekitarnya
bahwa “tak ada kekuasaan yang begitu berharga hingga harus dipertahankan dengan
darah.” Bangsa Indonesia patut mencatat bahwa berbeda dengan kejatuhan Bung
Karno dan Pak Harto yang diawali dan/atau disusul dengan konflik sosial yang
berdarah-darah, pelengseran Gus Dur di tahun 2001 justru berjalan aman karena
langkah brilian kemanusiaan (humanisme) yang ada pada diri Gus Dur.
Inilah refleksi
paling konkret dari visi kemanusiaan yang secara ajeg ditunjukkan oleh Gus Dur.
Bagi putra sulung KH Abdul Wahid Hasyim da cucu Hadlratussyaikh KH Muhammad
Hasyim Asy’ari ini, kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa
manusia adalah mahluk Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan
memakmurkan bumi. Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Dalam
hal ini, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa syarat dan sama sekali tak
berkehendak mengorbankan kemanusiaan itu demi kepentingan kekuasaan. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar