Halaqah Pesantren (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Halaqah pesantren ASEAN menegaskan, perubahan substansi keilmuan
pesantren di Indonesia mulai terjadi ketika madrasah yang ada di lingkungan
pesantren sesuai UU Sisdiknas (No 2/1989 dan No 20/2003) disetarakan (equivalen) dengan sekolah
umum. Konsekuensinya, madrasah mesti menggunakan kurikulum nasional yang
ditetapkan Kemendikbud.
Perubahan substansi keilmuan sesuai kurikulum nasional mendorong
penyesuaian kelembagaan. Hasilnya, pesantren selanjutnya tidak lagi berkutat
sebagai lembaga tafaqquh
fid-din dan salah satu lokus madrasah, tetapi juga sekolah
umum. Dalam kenyataan, pada tingkat madrasah aliyah (MA) pesantren kemudian
mengembangkan lebih banyak MA umum dengan jurusan IPA, IPS, bahasa, dan
ketrampilan (kemudian menjadi MA vokasi).
Sedangkan, MA tafaqquh
fid-din yang dikenal sebagai MA-K (keagamaan, yang awalnya
dibentuk Menteri Agama Munawir Sjadzali sebagai MA Program Khusus/PK) justru
dihapuskan sehingga menimbulkan “krisis” jumlah alumni MA yang memasuki prodi
yang memerlukan kemampuan bahasa Arab kuat di PTAI seperti tafsir-hadis,
bahasa/sastra arab atau akhwalus-sakhsiyyah.
Akibatnya, prodi-prodi ini mengalami “krisis” jumlah mahasiswa.
Dalam halaqah pesantren, pembahasan mesti menyangkut hal tentang
apakah perubahan substansi dan kelembagaan berpengaruh pada paham atau
“ideologi” pesantren. Secara umum, pesantren tetap menganut ideologi Ahl
al-Sunnah wa al-Jamaah, baik Aswaja NU maupun Ahl al-Sunnah wa al-Jamaa'ah
Muhammadiyah-yang juga semakin giat mengembangkan pesantren.
Dengan terus memegangi paham dan praksis Ahl al-Sunnah wa
al-Jama'ah, pesantren tetap pertama-tama menjadi lokus penerusan dan penguatan
Islam Nusantara atau Islam Indonesia yang berwatak Islam wasathiyyah distingtif.
Fungsi ini dapat disebut sebagai pemeliharaan dan penguatan tradisi Islam
Indonesia. Fungsi lain adalah transmisi ilmu agama Islam, dan terakhir sebagai
lokus kaderisasi calon ulama.
Tantangan terhadap pesantren Islam washatiyyah datang dari pesantren Salafi
yang kelihatan cukup berkembang belakangan ini. Pesantren Salafi menganut paham
dan praksis Salafi yang menekankan “Islam murni” seperti dipraktikkan kaum
Salaf. Pesantren Salafi cenderung menolak kompromi dengan keindonesiaan semacam
penghormatan pada bendera Merah Putih dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.
Dalam kaitan itu, perlu pengembangan tipologi baru pesantren yang
kini setidaknya ada dua; Pertama, pesantren Salafiyah yang menganut paham dan
praksis Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah; dan kedua Pesantren Salafi yang berpegang
pada paham dan praksis Salafi-termasuk Wahabi. Menurut beberapa studi dan
estimasi ada sekitar 30-an pesantren salafi di seluruh Indonesia.
Di tengah perkembangan kedua tipologi atau kategori ini, pondok
atau pesantren di ASEAN terus bertumbuh signifikan. Menurut beberapa estimasi
(2016), jumlah pesantren dan/atau pondok di Indonesia saja berkisar sekitar
29.000. Jumlah pondok di Malaysia, Brunei dan Thailand Selatan hanya sekitar
200.
Dengan peningkatan jumlahnya, pesantren kini tidak lagi ada hanya
di wilayah pedesaan (rural), tapi juga di perkotaan atau suburban. Jika
pendekatan wilayah digunakan, kategori pesantren bisa mencakup “pesantren
pedesaan” (rural pesantren) dan “pesantren perkotaan” (urban pesantren). Jika
kita masih menganggap pesantren sebagai “subkultur”, bisa diasumsikan
“subkultur” pesantren rural dalam segi tertentu berbeda dengan “subkultur”
pesantren urban.
Perubahan lain adalah kian membaiknya fasilitas fisik pesantren.
Kini kian banyak pesantren memiliki gedung permanen bertingkat tiga atau dua.
Sebaliknya, semakin sedikit pesantren dengan bangunan reot seadanya. Lingkungan
pesantren kian higienis; asrama santri tidak lagi menjadi sarang kutu busuk
(budug) yang menghasilkan “santri budug” seperti sebelum 1960 dan 1970-an.
Perubahan lingkungan dan fasilitas pesantren itu dimungkinkan
penguatan kelas menengah Muslim yang kian gemar mengamalkan filantropi Islam
melalui ziswaf. Mereka menjadi tulang punggung pembangunan dan perbaikan
fasilitas pendidikan Islam; pesantren, madrasah dan sekolah Islam.
Peningkatan fasilitas fisik tidak banyak mengubah entitas dan jati
diri pesantren. Pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan Islam indigenous karena
tradisinya yang panjang. Atau lembaga pendidikan Islam tradisional karena
umumnya dimiliki para kiai NU. Pesantren “tradisional” dalam nomenklatur
kepesantrenan biasa disebut sebagai “pesantren Salafiyah”.
Mitra pesantren Salafiyah adalah “pesantren Khalafiyah”-pesantren
modern. Meski modern, pondok atau pesantren Khalafiyah tetap mengikut paham Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah.
Pesantren Salafiyah dan Pesantren Khalafiyah dan/atau pesantren
Salafiyah yang telah dimodernisasi dimiliki kiai-kiai NU dan organisasi arus
utama lain seperti Muhammadiyah, Jami'iyah al-Washliyah, Mathla'ul Anwar,
Persis, Nahdlatul Wathan, al-Khairat dan banyak lagi Jelas pula selain itu,
juga terdapat pesantren yang mandiri dari dari ormas arus-meski tetap memegangi
paham dan praksis Islam wasathiyyah.
[]
REPUBLIKA, 29 December 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar