Mr. VVVVVIP, Muhammad SAW
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Khatam sudah 41 tulisan dibacakan. Cocoknya sekarang “khataman”.
Tapi sebentar. Kok 41 tho? Dulu di awal katanya 33, satuan angka populer
terutama dalam dunia wirid. Kemudian berubah jadi 40. Apakah itu disesuaikan
dengan “jagat” Patangpuluhan? “Mistik” 40-an? Akhirnya malah jadi 41. Dari
khazanah apa ini 41?
Tanpa memperlihatkan kepada 40 sahabat-sahabatnya, aslinya
Markesot sangat kelelahan dengan 41 tulisan itu. Legalah sekarang. Fajar
semakin mempertipis kegelapannya. Pagi segera tiba. Kelelahan itu membuat
Markesot menguras ruang kepalanya, lantas mengisinya dengan hal-hal yang
enteng.
Enteng gimana misalnya, Sot? Dongeng anak-anak. Yes. Dongeng
anak-anak. Seakan diperintah, berpuluh-puluh dongeng langsung mengalir masuk ke
dalam pikiran Markesot. Ia tersenyum-senyum sendiri, tapi ia tahan agar tak
kelihatan. Memang Markesot dulunya adalah seorang pendongeng.
Pernah dulu sebelum zaman Patangpuluhan ia mendongengkan kisah,
atau mengisahkan dongeng, terserahlah mana yang tepat, tentang Joko Lanjaran.
Awalnya seolah ada kemiripan dengan Joko Bodho, tapi sangat berbeda.
Sama-sama disuruh Simboknya pergi ke pasar untuk membeli kacang,
juga sama-sama membeli bijihnya. Tapi si Bodho hanya membeli 1 kacang,
sedangkan si Lanjaran memborong 41 bijih kacang. Bodho dimarahi Simboknya
kok cuma beli sebijih kacang. Kemudian dibuang di kebun belakang. Ternyata
langsung tumbuh, memanjang dengan sangat cepat menembus langit. Si Bodho
memanjatnya. Ternyata sulur kacang yang memanjang ke langit itu berakhir di
sebuah taman sangat indah. Ternyata taman itu bagian dari sebuah Kerajaan
Dewa-Dewi.
Si Bodho terpana tapi juga bengong. Ketika dengan wajah bodoh ia
menoleh ke kanan kiri kemudian memandang semua arah, mendadak di belakangnya
muncul seorang Dewi yang sangat cantik jelita. Pastilah si Bodho tidak sanggup
menggambarkan tingkat keindahan yang ia tidak pernah menjumpai sebelumnya.
Dan ternyata Sang Dewi itu melamarnya. Menggandeng tangannya,
mengajak menemui Raja Dewata dan Permaisuri, yakni Bapak dan Ibunya. Singkat
kata beberapa saat kemudian Joko Bodho dilantik menjadi Putra Mahkota di
Keraton Kahyangan.
***
Siapapun yang mendongengkan kisah ini biasanya mengakhiri dengan
sejumlah pemaknaan dan hikmah. Misalnya bahwa manusia tidak boleh merendahkan
orang bodoh. Karena sebodoh apapun, seseorang akan berangkat ke masa depan
dengan nasibnya. Dan yang disebut nasib ini tidak memiliki kewajiban untuk
setia atau menuruti pemikiran dan rancangan manusia. Nasib adalah sebuah
rahasia yang asal usulnya dari langit.
Oleh penguasa langit, kebodohan manusia bisa dikawinkan dengan
nasib yang indah. Sementara orang pandai bisa saja dikawinkan justru dengan
nasib yang buruk dan berat. Para pendongeng atau penutur kisah biasanya
menyimpulkan bahwa jarak antara nasib dengan kepandaian sangat jauh dibanding
jarak antara nasib dengan kejujuran.
Adapun siapa penguasa langit yang menggenggam hak mutlak untuk
menentukan nasib manusia, bergantung kepada pengenalan manusia di bumi atas
entah siapa di langit sana. Pengenalan itu bisa melalui informasi yang
didapatkan dari pengalaman peradaban manusia berabad-abad. Bisa diperoleh dari
penelitian dunia batin. Bisa diambil dari informasi Agama. Bahkan bisa juga
dipetik dari kemerdekaan berkhayal.
Ada juga pemaknaan yang sifatnya mempertanyakan dan mengkritik.
Misalnya Joko Bodho adalah lambang keputus-asaan rakyat kecil, yang selama
hidup bergenerasi-generasi selalu diperdaya oleh orang-orang pandai. Selalu
dikibuli. Dijadikan alas kaki. Diinjak. Dimanfaatkan ketika diperlukan,
kemudian dibuang ketika sudah tidak produktif sebagai alat kepentingan orang
pandai.
Maka si Bodho adalah figur eskapistik. Tokoh fiktif. Produk khayal
orang-orang yang kalah. Semua pemaknaan dan hikmah itu beredar dan berputar-putar
terus melewati rentang waktu dan mengendarai kurun demi kurun. Sampai kemudian
tiba zaman di mana seluruh faktor itu: Joko Bodho, kacang, bijih, Dewi,
kahyangan, nasib, penguasa langit, rakyat kecil, dan semua yang terkandung
dalam bangunan kisah dan dongeng itu — diletakkan di tataran paling bawah,
bahkan dipendam, dikubur, sesekali diingat dengan ejekan dan pikiran yang
merendahkan.
***
Bisa jadi karena itu maka Markesot tidak pernah menuturkan kisah
Joko Bodho, melainkan Joko Lanjaran. Tentu banyak lagi kisah-kisah lain:
Kinjeng Dom, Thok-thok Kerot, Kasan Kusen, Rojo Tikus, Joko Kendhil, Man Dolin,
dan banyak lagi.
Adapun Joko Lanjaran pulang dari pasar membawa 41 bijih kacang.
Sampai di rumah, Simboknya tidak ada. Entah ke mana, mungkin sedang membantu
nutu pari di salah satu rumah tetangga. Ketika Si Lanjaran berjalan sekitar
rumah mencari Simboknya, kakinya terantuk tanah brongkalan. Ia terjatuh,
bungkusan bijih kacangnya tumpah ke tanah.
Sebagaimana dalam kisah Joko Bodho, bijih kacang itu langsung
bersemi dan tumbuh. Tentu lebih teateral, karena jumlahnya 41. Si Lanjaran
terpana, tapi juga panik. Melihat sulur-sulur kacang begitu banyaknya menjulur
naik ke atas, menuju angkasa, menggapai langit, dengan pergerakan yang sangat
cepat. Si Lanjaran melompat ke salah satu sulur. Dan tanpa memanjat ia terikut
pergerakannya naik, terus naik.
Tak pernah terbayangkan si Mas Lanjaran ini akan terbang sangat
tinggi melewati seluruh hamparan galaksi-galaksi, sehingga tiba di langit lapis
dua. Pergerakan kacang tak berhenti. Tapi ketika menuju lapis langit tiba, Si
Lanjaran melihat bahwa yang naik bersamanya tinggal 31 sulur. Yang 11 berhenti
di langit lapis dua. Seterusnya Si Lanjaran melihat lagi tanpa mengerti
maknanya: tinggal 21 tatkala akan menyentuh langit lapis tiga. Kemudian tinggal
11 menjelang langit 4, dan tinggal sulur kacang yang ia naiki sendiri naik
hampir mencapai langit lapis lima.
Kabarnya ada tujuh lapisan langit. Berarti masih ada dua langit
lagi. Beberapa saat Si Lanjarang menatap ke wilayah yang diperkirakannya menuju
arah lapis langit yang keenam dan ketujuh. Kemudian ia melihat dirinya sendiri.
Menatap kakinya, sehingga tampaklah ruang maha luas yang tadi dilewatinya. Si
Lanjaran merasa ngeri. Sangat ngeri. Ia sendirian di tempat yang ia sama sekali
tidak paham dan tak pernah ia mimpikan atau bayangkan. Maka mendadak Si
Lanjaran pingsan.
“Karena Joko Lanjaran kehilangan kesadaran, maka terpaksa saya
gantikan”, kata Markesot melanjutkan kisah dongengnya.
Ketika itu salah seorang yang mendengarkan mengejar, “Lantas
bagaimana, Cak Sot? Sampeyan terus ke mana? Kan Sampeyan gandholan sulur kacang
yang sudah tidak bergerak lagi”
Markesot menjawab, “Ya saya tetap di sini sama kamu”
“Lho, katanya di langit kelima”
“Untuk sampai ke langit berapapun kamu tidak harus pergi ke
mana-mana, cukup masuk ke dalam dirimu sendiri. Karena seluruh jagat raya
adalah bagian dari dirimu”
“Lho mosok yang sangat besar merupakan bagian dari yang sangat
kecil”
“Yang kecil itu benda. Kalau kamu hanya badan, darah, daging,
tulang, kamu kecil. Maka Tuhan memuaikan manusia dengan nafsu. Kemudian Tuhan
kasih yang lebih besar dari pemuaian nafsu sehingga mampu menguasainya, yaitu
kerjasama antara hatimu dengan akalmu. Sesudah itu kamu ditawari oleh Tuhan
untuk mengisi hatimu dengan iman dan mengolah akalmu dengan kreativitas yang
berupa mujahadah, ijtihad dan jihad. Kalau kamu berhasil dengan perjuangan iman
dan jihad-ijtihad-mujahadah dalam kehidupanmu, maka Tuhan menghormatimu dengan
anugerah karomah. Lima kan jumlahnya? Para Nabi, Rasul dan kekasih-kekasih
rahasia Allah dibukakan langit lapis enam. Sedangkan yang mendapat undangan
khusus ke lapis tujuh adalah yang termulia dari ahsani-taqwim, yakni Mr.
VVVVVIP Muhammad SAW”. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar