Makar di
Era Reformasi
Oleh:
Bambang Soesatyo
POLRI telah mempertaruhkan reputasi dan kredibilitasnya ketika menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka perencana makar. Benar-tidak langkah Polri itu akan dikonfirmasi oleh pengadilan. Tetapi, langkah hukum oleh Polri itu mengingatkan semua komponen masyarakat akan pentingnya menjaga dan mengamankan kontinuitas dan skenario proses reformasi yang sudah berjalan sejauh ini.
Demokratisasi pada berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah berproses hingga sekarang adalah produk reformasi. Kendati rakyat merasakan betapa bangsa ini harus menempuh jalan berliku untuk mencapai atau mewujudkan tujuan besar dari reformasi, proses atau skenario yang sudah berjalan sejauh ini tidak boleh dipertaruhkan dengan apa pun, termasuk rencana atau tindakan makar. Jangan berjudi dengan keberlangsungan proses reformasi Indonesia.
Dalam konteks menjaga kontinuitas proses reformasi, rencana atau tindakan makar adalah sebuah perjudian dengan taruhan yang amat besar dan sulit dikalkulasikan. Menggulingkan pemerintahan yang sah dengan aksi makar dan kemudian menghadirkan pemerintahan baru yang bukan pilihan rakyat tidak hanya tampak sebagai sebuah perjudian, tetapi juga sebuah gagasan yang sangat spekulatif.
Apakah pemerintahan baru yang lahir dari rahim aksi makar itu proreformasi atau antireformasi? Siapa atau kelompok apa yang akan dihadirkan untuk menjalankan roda pemerintahan negara, plus semua agenda reformasi bangsa? Apakah rezim pemerintahan itu kredibel dan kompeten? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan inilah yang patut direnungkan semua komponen bangsa.
Siapa yang bisa menilai dengan benar dan pasti tentang tabiat sebuah rezim pemerintahan yang dihadirkan dengan mekanisme yang tidak demokratis? Karena tidak ada yang bisa menilai dengan benar dan pasti, makar adalah sebuah perjudian atau tindakan spekulatif yang segala akibatnya akan dibebankan di pundak rakyat. Demi kesejahteraan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, jangan melibatkan rakyat dalam perjudian memperebutkan kekuasaan.
Maka itu, langkah Polri mendeteksi dan mencegah makar harus dilihat dan dipahami dalam konteks itu. Konteks yang jauh lebih luas dan strategis. Dengan mencegah makar, Polri dan TNI setidaknya ingin membangun kepastian tentang kontinuitas proses reformasi bangsa dan negara.
Hampir dua dekade setelah rakyat melakoni semua proses dan tahapan reformasi, dunia sudah telanjur melihat dan meyakini Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga. Bukti paling monumental demokrasi Indonesia dewasa ini terpancar dari kilau Aksi Damai dan Doa Bersama 212 yang mendunia.
Dengan begitu, makar atau menggulingkan pemerintahan RI yang sah sudah barang tentu akan dilihat sebagai langkah mundur atau kegagalan Indonesia dalam merampungkan proses demokratisasi pada berbagai aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan kehidupan setiap individu putra-putri bangsa. Bisa dipastikan bahwa generasi muda Indonesia yang lahir pada dasawarsa 80 dan 90-an akan sulit menerima jika proses demokratisasi harus ditarik mundur karena tampilnya rezim pemerintahan baru produk makar.
Orang-orang muda itu bertumbuh-kembang dalam alam demokratis dan menikmati penghargaan atas hak-hak asasi mereka sejak dari dalam keluarga hingga di tengah komunitasnya masing-masing. Lebih dari itu, jika kegiatan makar memancing perlawanan dari elemen-elemen masyarakat yang prokonstitusi, sudah barang tentu harga yang harus dibayar bangsa ini menjadi sangat mahal.
Skala
kerusakan bangsa ini akan sulit terbayangkan. Bukan tidak mungkin, NKRI tidak
utuh lagi sebab sejarah membuktikan bahwa untuk mencapai atau mewujudkan tujuan
akhirnya rezim penguasa yang lahir dari makar tidak pernah bisa melangkah
dengan mulus. Akan selalu ada perlawanan berkelanjutan dari lawan-lawan politik
penguasa yang inkonstitusional itu.
Momentum Pemulihan
Dari waktu ke waktu, rakyat Indonesia memang mendambakan kehidupan yang lebih baik. Sandang, pangan, dan papan yang cukup serta terjangkau. Kedudukan setiap individu yang sama dan sederajat di muka hukum.
Birokrasi negara dan daerah yang mau melayani serta bersih dari perilaku korup dan pungutan liar. Dan, saling hormat antara mayoritas dan minoritas. Sayangnya, mewujudkan suasana dan kondisi yang ideal seperti itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Bangsa ini masih harus bekerja ekstrakeras. Menyelesaikan beban masa lalu seperti utang luar negeri serta memperbaiki kerusakan di sana-sini akibat birokrasi yang korup.
Penegakan hukum juga belum bisa memuaskan semua pihak karena banyak oknum penegak hukum justru berlaku curang. Negara juga masih bekerja membersihkan sel-sel terorisme dan sel-sel sindikat narkotika. Konsistensi dan perjalanan waktulah yang akan menjawab kapan kerja keras ini akan membuahkan hasil.
Memang, semua pihak pasti ingin agar kerja keras sekarang ini segera membuahkan hasil . Namun, makar bukan opsi yang dipilih oleh rakyat kebanyakan. Makar bahkan tak pernah terpikirkan karena masyarakat sibuk dengan pergulatan hidup.
Apalagi, makar bukanlah jaminan untuk bisa mewujudkan kehidupan yang lebih baik dalam skala berbangsa dan bernegara. Bagi rakyat kebanyakan, terwujudnya kondusivitas saja sudah sangat berarti karena tidak ada rasa takut, cemas, dan keragu-raguan.
Aksi Damai dan Doa Bersama 212 telah terselenggara dengan baik, bahkan meninggalkan kesan mendalam. Sementara itu, Polri telah menindak pihak-pihak yang diduga menunggangi Aksi 4.11, dilanjutkan dengan menangkap, memanggil, dan memeriksa sejumlah orang yang diduga merencanakan makar. Sedangkan Kejaksaan Agung RI sudah menerima pelimpahan berkas kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Mengacu pada tiga faktor itu, sudah tiba momentum bagi pemerintah, penegak hukum, dan semua elemen masyarakat untuk memulihkan kondusivitas atau kenyamanan bersama. Sudah terlalu banyak energi bersama yang terbuang untuk menyelesaikan beberapa persoalan yang sebenarnya tidak rumit-rumit amat.
Aksi pengerahan massa yang direspons dengan aksi serupa tentu menguras energi dan waktu. Aksi 4.11 direspons dengan kegiatan Apel Nusantara Bersatu. Aksi 212 direspons dengan Aksi 412. Mau sampai kapan aksi berbalas aksi yang tidak produktif ini akan berakhir?
Momentum
untuk memulihkan kondusivitas sudah terpenuhi karena Polri telah
mengidentifikasi dan mengamankan sejumlah orang yang diduga melakukan makar.
Artinya, kalaupun benar ancaman makar itu ada, potensinya telah dilumpuhkan.
Dengan begitu, saling curiga seharusnya dihilangkan.
Apakah sangkaan Polri terhadap sejumlah orang yang merencanakan makar itu benar adanya? Biarlah pengadilan yang mengonfirmasikannya. Polri telah mempertaruhkan reputasi dan kredibilitasnya.
Tentu saja Polri tidak asal melangkah atau bertindak. Seperti sudah dikemukakan bahwa Polri memeriksa sejumlah orang itu karena sudah memiliki bukti permulaan yang cukup. Maka, masyarakat kini hanya perlu menunggu proses pembuktian yang dilakukan Polri.
Namun, ada satu faktor yang patut dikaji oleh berbagai pihak. Di antara mereka yang dipanggil dan diperiksa terkait dugaan rencana makar itu ada nama Rachmawati Soekarnoputri. Langkah Polri sampai menangkap, menahan, dan memeriksa Rachmawati ini tentu saja menggambarkan kesungguhan Polri dalam memaknai ancaman makar itu.
Semua orang tahu bahwa Rachmawati adalah adik kandung Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP dan presiden kelima Indonesia. Sebagai ketua umum PDIP, kedekatan Megawati dan Presiden Joko Widodo tak terbantahkan.
Namun, kalau sampai Rachmawati Soekarnoputri harus diperiksa di Mako Brimob Kelapa Dua, itu berarti tidak ada kekuatan apa pun yang coba menghalang-halangi Polri atau mengintervensi Polri. Berarti, masalahnya memang cukup serius sehingga Presiden sekali pun tidak mencegah Polri memeriksa adik kandung Megawati itu. Polri melaksanakan tugas dan kewajibannya guna memastikan kontinuitas proses reformasi tidak dihentikan oleh aksi makar. []
KORAN
SINDO, 5 Desember 2016
Bambang
Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium
Nasional KAHMI 2012-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar