Menjadi Pintar di
Zaman Edan
Judul
: Hidup itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem
Penulis
: Emha Ainun Nadjib
Penerbit
: Noura Books
Cetakan
: Oktober 2016
Halaman
: xii + 230 hal.
ISBN
: 978-602-385-150-8
Peresensi
: Munawir Aziz, Peneliti, bergiat di GusDurian dan Gerakan Islam Cinta.
Bagaimana menjadi
manusia yang 'sehat' di tengah zaman gila ini? Zaman gila, atau disebut Zaman
Edan oleh Ronggowarsito (1802-1873), merupakan zaman dimana kebaikan dan
keburukan bercampur sulit untuk dibedakan, zaman dimana kebeneran digulung oleh
fitnah keji tanpa tepi. Ronggowarsito menyindir masyarakat di Zaman Edan,
"yen ora edan, ora keduman". Maka, maraknya korupsi, kekerasan, dan
juga berlimpahnya berita-berita palsu (hoax), yang diproduksi untuk mengaburkan
fakta-fakta, menjadi bagian dari tanda-tanda zaman Edan.
Emha Ainun Nadjib
(Cak Nun), seakan terus menerus menyalakan suluh di tengah gelap. Ia, dengan
jama'ah Maiyah Nusantara, mengadakan diskusi-diskusi kebudayaan yang membahas
tema-tema relevan dengan keseharian kita: dari politik, hukum, hingga
pendidikan. Bahkan, tema-tema yang sebelumnya dipandang remeh-temeh, oleh Cak
Nun diurai menjadi tema diskusi yang mendalam, yang sublim dengan refleksi
kehidupan kita.
Melalui buku ini,
"Hidup Harus Pintar Ngegas dan Ngerem"(Noura Mizan, 2016), Cak Nun
tidak sekedar menyajikan refleksi mendalam. Ia juga menghentak kesadaran
manusia, untuk tidak larut dengan dunia, tertimbun oleh jutaan kepentingan yang
senantiasa menyergap manusia. Buku-buku yang ditulis Cak Nun, selalu menyentil
kehidupan: Seribu Masjid, Satu Jumlahnya (Mizan, 2016), Sedang Tuhan pun
Cemburu (Bentang, 2015), Surat Kepada Kanjeng Nabi (Mizan, 2015), Slilit Sang
Kiai (Mizan, 2016), dan beberapa tulisan lain mengajak untuk merenungi
diri.
Cak Nun, mengajak
semua orang—tanpa sekat agama dan etnis—untuk terus mengartikan makna dan
tujuan hidup, untuk selanjutnya berkarya demi kemanusiaan. Menurut Cak Nun, ada
empat kriteria manusia. Pertama, orang yang tahu sedikit tentang sedikit hal.
Kedua, orang yang tahu sedikit tentang banyak hal. Ketiga, orang yang tahu
banyak tentang sedikit hal.
Dan keempat, orang
yang tahu banyak tentang banyak hal. Dari keempat tipikal ini, setiap manusia
perlu merefleksikan posisi dan maknya hidupnya sendiri. Menurut Cak Nun,
manusia tipe keempat memang menjadi tujuan utama, tapi sulit dilakukan.Yang
mungkin dilakukan, yakni menjadi manusia tipe ketiga, yakni memiliki
pengetahuan mendalam tentang sedikit hal.
"Jangan ada
pengetahuan yang tidak kami teteskan ilmu dan pemahamannya. Setiap peristiwa
yang kamu alami harus memberi ilmu dan hikmah kepadamu," tulis Cak Nun
(hal. 90). Cak Nun berpesan untuk memberi refleksi terhadap semua peristiwa
yang dialami, hingga berdampak pada tumbuhnya ilmu dan hikmah.
Pada sisi lain, Cak
Nun merefleksikan kondisi manusia dengan bangsanya. Ia selalu berusaha untuk
memahami kondisi bangsa, kondisi Indonesia, dengan situasi kosmik kehidupan
manusia. "Di zaman reformasi ini, ada istilah 'masyarakat madani'. Dalam
Islam, namanya 'baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur'. Gemah ripah loh jinawi
tata tentrem karta raharja.
Masyarakat adil
makmur, dalam Islam disebut baldatun thayyibatun. Allah menambahkan wa rabbun
ghafur. Maksudnya, kaya atau miskin bukan masalah, asal hatinya tidak
bimbang," jelas Cak Nun (hal. 3). Refleksi ini, tentu menampar sebagian
pihak, yang justru tertambat oleh harta dan nafsu, berusaha mengejar dunia
namun hatinya tidak tenang.
Makna Ilmu dan
Hikmah
Dalam buku ini, Cak
Nun mengajak pembaca untuk menjadi manusia cerdas. Di tengah kehidupan yang
saling berhimpit dengan nafsu dan kepentingan, selalu ada cara untuk mencari
kejernihan ilmu. "Tidak semua pembelajaran itu bersifat kognitif. Tidak
semua pemahaman itu melalui kata. Sebenarnya, pemahaman yang paling mendalam
itu adalah melalui pengalaman dan rasa," jelas Cak Nun.
"Apa bedanya
ilmu dan pengetahuan? Ilmu itu bahasa Inggrisnya, science. Kalau pengetahuan,
knowledge. Jadi, ibarat truk, itu knowledge," (hal. 22). Pengetahuan yang
diperoleh dari pengalaman dan rasa, akan menumbuhkan pribadi yang mengerti
kondisi hati dan konteks kehidupannya. Mereka yang tidak memahami arti
kehidupan, akan terseret oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang mematikan
refleksi.
Cak Nun mengajak
pembaca untuk selalu memaknai setiap peristiwa dengan konteks kehidupannya.
Pengabdian dan kontribusi pada masyarakat dan bangsa, akan menjadikan manusia
sebagai orang yang bermanfaat.
"Sebenarnya,
Indonesia berdosa sama orang-orangnya, termasuk yang berada di luar negeri.
Indonesia bikin tanahnya digali, tambangnya digali, hutannya ditebangi,
tanahnya ditanamu: ada kelapa sawit, ada tembakau, ada segala macam. Semua itu,
kan seharusnya milik semua orang Indonesia," tulis Cak Nun.
Menurut Cak Nun,
negara dan pemerintah berkewajiban menjamin hidup warga negaranya. Namun, pada
keyataannya, para penguasa negeri ini tidak menjamin, sehingga kekayaan alam
menjadi milik pengusaha asing, dan sumber daya terbaik Indonesia juga berkarya
di negeri orang lain.
"Kalau kamu
ingin kreatif, jangan menomorsatukan eksistensimu. Kalau kamu ingin menonjolkan
diri, yang akan sampai adalah dirimu dan dirimu nanti akan jadi sesuatu yang
memuakkan hati orang. Kalau engkau ingin kreatif, ingin diberi hidayah oleh
Allah, pekerjaanmu hanya satu; beribadah. Ibadah itu mengabdi. Mengabdi itu
melayani" (hal. 34). Meminggirkan ego dan menonjolkan pelayanan itu,
menjadi bagian utama dari pengabdian kita sebagai manusia.
Jika sudah menemukan
ruang pengabdian, menjadi manusia yang melayani Allah, untuk beribadah dan
berbuat sebaik-baiknya untuk kehidupan, maka tujuan hidup kita akan selaras
dengan kebahagiaan. Cak Nun mengajak manusia untuk selalu memaknai kehidupan,
mencari pendar-pendar kebahagiaan dalam hati terdalam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar