Menguji
Ketahanan Nasional
Oleh:
Bambang Soesatyo
KETAHANAN
nasional akan menghadapi ujian mahaberat jika rencana ISIS membangun basis di
Asia Tenggara tidak segera ditangkal. Beberapa indikasi sudah terlihat di
permukaan. Untuk memperkecil atau melumpuhkan potensi ancaman itu, perlakuan
hukum terhadap para terduga dan tersangka teroris harus ekstra tegas.
Menjelang
Sabtu (10/12) sore pekan lalu, publik dikejutkan oleh pemberitaan tentang
keberhasilan Detesemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror Mabes Polri mengamankan
tiga orang yang berencana melancarkan serangan dengan bom berdayaledak tinggi.
Ketiga orang itu — salah satunya wanita — ditangkap di sebuah rumah di Jalan
Bintara Jaya VIII Bekasi, Jawa Barat, tepatnya di kamar kos 104.
Menyusul
penangkapan tiga orang itu, polisi juga menyergap seorang terduga teroris
lainnya di Solo, serta mengamankan sebuah rumah di Cirebon milik keluarga
wanita yang ditangkap di Bintara. Bom yang diamankan di Bintara berbobot 3
kilogram.
Jika
diaktifkan, kecepatannya mencapai 4.000 km per jam dan bisa menghancurkan segala
sesuatu dalam radius 300 meter. Rencananya, bom itu akan diledakkan Minggu
(11/12) pagi di Istana Negara, dengan sang ”pengantin” adalah wanita yang
ditangkap itu.
”Pengantin
adalah orang yang akan meledakkan diri dengan bom di tubuhnya. Serangan bom
bunuh ini bukan sekadar rencana, melainkan sudah mendekati tahap pelaksanaan.
Sebab, wanita yang menjadi ”pengantin” itu sudah mengirimkan surat wasiat lewat
kantor pos ke keluarganya. Mungkin, kasus ini bisa dilihat sebagai indikasi
pertama.
Kasus ini
menjadi bukti bahwa sel-sel terorisme di dalam negeri masih sangat aktif, dan
terus mencari ruang untuk merusak ketahanan nasional. Luar biasa karena mereka
sudah berani mengincar Istana Negara sebagai target serangan. Indikasi kedua
adalah pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Presiden Filipina
Rodrigo Duterte.
Berbicara
di forum seminar Preventive Justice dalam Antisipasi Perkembangan Ancaman
Terorisme pada Selasa (6/12) lalu, Jenderal Gatot Nurmantyo mengingatkan bahaya
terorisme yang jaraknya semakin dekat ke Indonesia, karena kelompok Islamic
State of Iraq and Syria (ISIS) telah memilih dan membangun kawasan Filipina
Selatan sebagai home base di Asia Tenggara.
Adapun
Presiden Duterte mengemukakan bahwa ISIS akan mendirikan kekhalifahan baru di
empat negara Asia Tenggara, yakni Filipina, Indonesia, Malaysia dan Brunei
Darussalam. Dalam sebuah pidatonya pada pekan kedua Desember 2016, Duterte
mengingatkan warganya bahwa ISIS akan menjadi masalah bagi negara itu.
Jika ISIS
tidak mampu bertahan di Aleppo (Suriah) dan Mosul (Irak) mereka akan melarikan
diri dan berangan-angan bisa mendirikan kekhalifahan yang akan meliputi
Indonesia, Filipina, Malaysia dan Brunei. Duterte kemudian mendorong rakyatnya
untuk bersiap menghadapi ancaman terorisme.
Sikap dan
respons masyarakat serta kelompok radikal di Filipina Selatan bisa dilihat
sebagai indikasi ketiga. Masyarakat Filipina Selatan terkesan siap membantu
ISIS merealisasikan wilayah itu sebagai basis. Kesiapan warga Filipina Selatan
itu terindikasi dari banyaknya kegiatan penyanderaan atau pembajakan di
perairan Filipina Selatan.
Tingginya
intensitas pembajakan kapal itu — yang berujung pada permintaan uang tebusan
bagi pembebasan para sandera — mengindikasikan bahwa masyarakat setempat,
khususnya kelompok Abu Sayyaf, sedang mencari atau menggalang dana untuk
menyiapkan ragam infrastruktur yang diperlukan ISIS. Indikasi keempat adalah
kembalinya puluhan simpatisan ISIS warga negara Indonesia (WNI) ke tanah air.
Jelang
akhir Oktober 2016, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam) Wiranto mengemukakan bahwa sebanyak 53 WNI yang pendukung
jaringan terorisme ISIS di Suriah dan Irak telah kembali ke Indonesia. Masalah
ini pun telah dilaporkan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT), Suhardi Alius, ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, menurut
Suhardi, masih ada ratusan WNI yang berada di markas ISIS.
Simpatisan
ISIS
Pertanyaannya
adalah mereka kembali untuk apa? Kembali untuk menjalani kehidupan normal?
Atau, kembali untuk mewujudkan rencana ISIS membangun kekhalifahan di Asia
Tenggara? Pemerintah memang memberi kesempatan bagi untuk mengikuti program
deradikalisasi.
Apakah
mereka tulus mengikuiti program seperti itu, atau hanya dijadikan semacam
kamuflase untuk menutup-nutupi kegiatan mereka sebagai pendukung ISIS? Ada
semacam gelagat bahwa sel-sel terorisme di Indonesia juga memberi respons
positif terhadap rencana ISIS membangun basisnya di Asia Tenggara.
Kelompok-kelompok teroris itu sudah terang-terangan melampiaskan kebencian pada
segenap jajaran Polri. Sejumlah prajurit Polri telah menjadi target serangan.
Kelompok-kelompok
itu yang diduga mendalangi ricuh pascaaksi damai 411. Mereka menunggu polisi
lengah untuk bisa merampas senjata. Apalagi, ada WNI yang sangat dipercaya
pimpinan ISIS. Sosok WNI itu diduga mendalangi bom Sarinah. Bukan tidak
mungkin, kelompok yang merencanakan ledakan bom di Istana Negara itu juga
memiliki keterkaitan dengan WNI yang menjadi pentolan ISIS. Indikasi terbaru
tentu saja yang berkait dengan rencana makar.
Seperti
diketahui, polisi telah menjadikan tersangka terhadap sejumlah orang yang
diduga merencanakan makar. Penyelidikan polisi bahkan sudah cukup jauh, karena
bisa mengidentifikasi penyandang dana makar, termasuk pihak yang mengirim dan
menerima dana itu. Semua indikasi itu memang belum tentu saling berkait.
Katakanlah satu sama lainnya terpisah.
Namun,
bisa saja semua indikasi yang merongrong ketahanan nasional itu memang
dirancang oleh sebuah kekuatan besar yang tidak pernah diketahui oleh para
perencana makar maupun kelompok-kelompok teroris di dalam negeri.
Kekuatan-kekuatan anti-pemerintah atau anti-Indonesia itu tentu sudah menyusun
skenario untuk memperlemah ketahanan nasional sambil merongrong keutuhan NKRI.
[]
SUARA
MERDEKA, 24 Desember 2016
Bambang
Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar, dan Presidium
Nasional KAHMI 2012-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar