Apa Yang
Perlu Direnungi Dari Nasib?
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Sepeninggal Bolot, Tonjé dan Kasdu termangu-mangu. Sejak
tinggal di Patangpuluhan dulu mereka, ratusan kasus seperti Bolot ini yang
diam-diam mengganjal di hati mereka. Kalau sesekali mereka bertemu teman lain,
tetangga atau siapa saja di muka bumi ini, selalu berkesimpulan bahwa Bolot itu
karangan. Khayalan. Kelakar.
Kali ini
pun ternyata mereka tetap termangu-mangu. Termangu-mangu itu bentuknya adalah
wajah melamun. Kalau ada tamu lagi datang, pasti menuduh mereka sedang berkhayal.
Mungkin merenungi diri dan nasib mereka masing-masing. Padahal untuk apa nasib
direnungi? Apa yang perlu direnungi dari nasib?
Tuhan
bekerja menjalankan takdir-Nya, memproduksi nasib manusia dan apa saja
ciptaan-Nya. Takdir atas angin, menghasilkan nasib angin. Pun nasib ayam,
sehelai bulu, setetes embun, segundukan kecil gunung, hamparan ruang yang
menggendong masyarakat galaksi, apa saja.
Yang
perlu direnungi adalah perkembangan kerja kerasmu, ketekunan atau kemalasanmu,
ketangguhan atau kerapuhan mentalmu, ketenangan atau kegalauan hatimu,
pengolahan kecerdasan atau pembodohan akal pikiranmu.
Yang
perlu direnungi adalah naik turunnya kesabaranmu selama menunggu waktu di bumi
sebelum dipindahkan ke tempat yang lain. Keteguhan jiwamu menjalani jarak dari
awal hingga akhir tugasmu yang ini, supaya kualitas penugasan atasmu meningkat
pada era berikutnya sesudah kepastian yang untuk sementara disebut kematian.
Ada
peradaban suatu masyarakat yang menyimpulkan perasaan dan pengalamannya bahwa
jarak sangat jauh antara awal ke akhir penugasan yang ini hanyalah “mampir
minum”. Ada ribuan orang yang duduk bersama semalam suntuk memenuhi pikirannya
dengan cinta kepada Tuhan dan Rasul-Nya sehingga terasa seperti tak ada satu
jam. Dan sebagian dari mereka yang memasuki alam keTuhanan, sedikit bisa
merasakan “ka-lamhin bil-bashar”, sekejapan mata.
Apa yang
perlu direnungi dari nasib mampir minum sekejapan mata? Kecuali kebodohan
merasakan sekejapan mata itu seakan-akan 40 hari 40 malam, karena tak mengerti
apa yang harus dikerjakan oleh jiwanya dalam sekejapan mata itu.
***
Jadi
Tonjé dan Kasdu termangu-mangu sama sekali tidak karena merenungi nasibnya di
dunia. Tuhan sudah sejak semula menuliskannya di lembaran-lembaran kertas agung
kehendak-Nya yang Ia jaga dengan amat sangat seksama.
Yang
perlu direnungi bukan keputusan Tuhan. Yang harus direnungi untuk diperbaiki
adalah keputusan-keputusanmu sendiri. Atas keputusan Tuhan, jelas masalahnya:
ikhlas menerima, kemarin, hari ini atau besok.
Nasib
Tonjé tidak baik. Nasib Kasdu tidak buruk. Nasib Markesot tidak gimana-gimana.
Tidak ada ukuran-ukuran semacam itu. Lebih bodoh lagi adalah perbandingan
nasib. Kepiting tidak merenungi nasibnya yang tak bisa terbang. Burung elang
tidak menyesali nasibnya kok tidak dijadikan ayam yang disantapnya. Panas tidak
mencemburui dingin. Bumi tidak dengki kepada langit. Malaikat tidak meratapi
eksistensinya yang tanpa nafsu, meskipun juga tidak perlu kasihan kepada
manusia yang kebanyakan di antara mereka hancur lebur hidupnya oleh nafsu.
Bahkan
yang kaya tidak ada alasan untuk menyimpulkan ia lebih sukses dibanding yang
miskin. Sebab hidup di dunia tidak ada kaitannya dengan pencapaian dunia. Yang
berkarier memuncak dengan jabatan, pangkat, kemasyhuran dan harta benda, tidak
perlu bodoh untuk menganggap yang lain yang tidak mencapai itu semua berada di
bawahnya, di belakangnya atau di tempat lain yang marginal.
Pun yang
saleh alim khusyu sangat religius ahli wirid pakar ibadah dan apapun, sama
sekali dilarang dungu untuk merasa lebih mencapai keberhasilan dibanding yang
lain.
***
Kalau
kesalehan dipentaskan sebagai sukses hidup di dunia, menjadi cacatlah kesalehan
itu. Apalagi harta pangkat karier kekayaan yang dianggap pencapaian dunia, maka
merosot jadi lebih rendahlah ia dibanding dunia.
Shalat
khusyu bukan pencapaian dunia, melainkan tabungan akhirat. Akhlak yang baik
bukan citra keduniaan, melainkan batu-bata jalanan ke sorga. Uang banyak adalah
pencapaian dunia, sedangkan manfaat uang itu adalah sukses akhirat. Harta
bertumpuk menjadi keberhasilan dunia atau akhirat bergantung pada pengolahan
kompatibiltasnya, ke keduniaan atau ke akhirat.
Silahkan
memilih apa saja yang membuatmu bergerak mendekat ke Allah dan membuat Allah
mendekat kepadamu. Tidak peduli kegembiraan atau kesengsaraan, asalkan membuat
Tuhan dan engkau berdekatan. Tidak peduli uang sedikit atau banyak, rumah besar
atau kecil, mobil atau sepeda, hafal Qur`an atau tidak, jadi presiden atau kuli
pasar, hidup mapan atau gelandangan, apapun saja, asalkan engkau olah menjadi
alat untuk mendekatkan jarak antara Tuhan denganmu.
Jadi,
masih heran dan tidak pahamkah kepada Bolot?
***
Maka
Bolot tidak aneh. Apalagi bagi Tonjé dan Kasdu. Pengalaman Patangpuluhan mereka
dulu membuat mereka terlatih menghadapi, melayani, mengatasi segala jenis
manusia dan berbagai macam persoalan yang mereka bawa.
Kalau ada
yang menyebut Bolot itu gelandangan yang gila, mudah-mudahan itu sekedar
basa-basi bahasa yang berlaku sementara waktu di bumi, mohon jangan mendalam
dan mendasar. Nanti kamu kaget disapa olehnya di kehidupan berikutnya.
“Jangankan
Bolot”, kata Tonjé, “saya yang masih tampak normal ini saja kesepian di tengah
tetangga dan masyarakat”
“Kenapa?”,
tanya Kasdu, “karena mereka tidak paham?”
“Ya lah.
Karena apa lagi kalau bukan karena itu”
“Apa
mereka harus paham kamu?”
“Ya ndak
harus”
“Apa
masyarakat punya kewajiban untuk memahami hidupmu?”
“Ndak
juga”
“Jadi?”
“Ya nggak
apa-apa. Ini soal kesepian aja”
“Kenapa
kesepian?”
“Karena
hidup saya tidak sama dengan mereka”
“Kalau
gitu ya bikin hidupmu sama dengan hidup mereka”
“Nggak
mau”
“Kalau
gitu jangan kesepian”
“Apa
kesepian itu dilarang?”
“Nggak
juga. Cuma tidak usah dikeluhkan”
“Siapa
yang mengeluh”
“Lha
kamu?”
“Saya
cuma omong. Cuma membunyikan mulut tentang kesepian. Itu tidak berarti saya
tertekan oleh kesepian. Juga tidak berarti saya menolak kesepian”
“Kalau
gitu jangan diomongkan”
“Apakah
mengomongkan kesepian itu salah”
“Tidak.
Saya juga kesepian, tapi tidak omong”
“Kenapa
tidak?”
“Sebab
kalau kesepian saya omongkan, ia batal. Kalau saya keluhkan, ia najis”
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar