Khilafah dan Ruang
Publik Agama
Judul
:
Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila
Penulis
: Prof. Komaruddin Hidayat (ed)
Penerbit
: Mizan,
Jakarta.
ISBN
: 978-979-433-862-9
Peresensi
: Munawir Aziz, peneliti Islam dan Kebangsaan, Aktif di Gerakan Islam Cinta dan
Pengurus LTN PBNU.
Umat Islam di
Indonesia sedang mendapatkan tantangan besar. Tantangan ini, berkisar pada
konsepsi kebangsaan dan hubungan dengan agama lain. Ketika peradaban Islam di
seluruh dunia sedang digoncang oleh isu politik dan hubungan antara agama dan
negara, Islam di Indonesia digoncang oleh radikalisme beragama. Relasi Islam
dan negara juga menjadi diskursus penting yang membelah warga Muslim di negeri
ini, mereka yang mengikuti Pancasila sebagai sistem berbangsa-bernegara. Atau,
kelompok muslim yang mengusung khilafah sebagai jargon politiknya.
Relasi harmonis Islam
dan negara telah menjadi pemikiran para kiai pesantren, jauh sebelum Indonensia
merdeka. Catatan sejarah Munas Alim Ulama 1933 di Banjarmasin, menjelaskan
betapa ulama negeri ini, telah jeli melihat masa depan negeri ini. Para kiai
bersepakat, bahwa konsep kebangsaan kita bergerak pada arus utama: dar as-salam
(negara kedamaian), bukan negara Islam. Inilah rumusan kebangsaan-kenegaraan
yang berpijak pada konsepsi kebhinekaan.
Namun, pada dekade
ini, terlihat gelombang pengusung khilafah di Indonesia semakin menguat.
Bagaimana memahami ini? Komaruddin Hidayat, dalam pengantar buku Kontroversi
Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila, menjelaskan pertanyan mengapa di negara
yang mengajarkan Pancasila sebagai dasar berbangsa, terdapat gerakan untuk
menganjurkan khilafah?
Terdapat banyak
kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini: Pertama, hal ini merupakan implikasi
logis-psikologis dari iklim kebebasan yang demikian terbuka dan longgar.
Kelompok kecil yang selama ini merasa terpinggirkan oleh kekuasan, mendapat
kesempatan untuk tampil di ruang publik.
Kedua, ketika
berbagai instrumen dan rasionalitas sekuler untuk membangkitkan emosi massa
dianggap kurang efektif, maka perlu adanya slogan dan idiom keagamaan sebagai
instrumen politik. Ketiga, cara pandang Islam dan dunia Barat, terhadap
hubungan agama dan negara sangat berbeda. Pada sejarah kenabian, umat Muslim
masih terngiang dengan ingatan kolektif bahwa Nabi Muhammad mewariskan konsepsi
Negara Madinah sebagai konsepsi politik.
Keempat, sejarah dan
agenda kekhalifahan merupakan pembauran antara semangat kesukuan, persaingan
perebutan sumber ekonomi, dan promosi madzhab keagamaan, yang semua ini tipikal
sejarah Arab. Kelima, dalam sejarahnya, konsep khilafah berkembang dan berubah
dari waktu ke waktu. Semangat tribalisme semakin menonjol, pada periode yang
semakin jauh dengan masa Rasulullah, dibandingkan dengan semangat keislaman.
Keenam, sebagian besar masyarakat muslim sulit membedakan antara Islamisme dan
Arabisme, maka setiap gerakan muslim yang menggunakan istilah Arab, dianggap
sebagai gerakan Islam.
Gambaran dari
Komaruddin Hidayat, memberi ruang bagi diskusi tentang khilafah yang membayangi
republik ini. Gagasan tentang khilafah, menjadi jargon yang diusung oleh mereka
yang selama ini terpinggirkan oleh kekuasaan, yang mendapatkan momentum dalam
terbukanya ruang informasi.
Haidar Bagir, dalam
buku ini, menjelaskan tentang konsepsi kepemimpinan dalam Islam. Ia menyitir
pemikiran Al-Farabi, tentang kapasitas kepemimpinan dalam rumusan Islam.
Menurut Al-Farabi, ada tiga golongan manusia, dalam kapasitas memimpin, yakni
kapasitas membimbing dan menasihati.
Pertama, penguasa
tertinggi atau penguasa mutlak. Kedua, penguasa subordinat yang memimpin dan
sekaligus dipimpin. Ketiga, yang dikuasai sepenuhnya. Penguasa tertinggi,
adalah Nabi atau Imam yang merupakan pemberi hukum. Mereka menggariskan
pendapat atau tindakan untuk masyarakatnya melalui wahyu Tuhan. Dalam konteks
ini, merekalah pemimpin yang memiliki keahlian paripurna, yang sempurna fisik,
mental dan jiwanya, serta memiliki keahlian dalam kearifan teoretis dan
praktis, yakni keahlian memerintah.
Menurut Haidar Bagir,
negara yang dipimpin oleh pemimpin seperti ini, disebut sebagai negara
Bajik atau Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah). Negara utama merupakan lawan
dari Negara Jahil, yang di dalamnya termasuk Negara Kebutuhan Dasar (al-Madinah
Dharuriyyah), Negara Jahat (al-Madinah al-Nadzalah), Negara Rendah (al-Madinah
al-Khassah), Negara Despotik (al-Madinah al-Taghallub), dan negara demokratik
(al-Madinah al-Jama’iyyah).
Lebih lanjut, Negara
Demokratik dipandang al-Farabi sebagai konsepsi bernegara yang mendekati Negara
Utama. Meski ada resiko timbulnya chaos, namun konsepsi Negara Demokratik
memiliki peluang paling besar untuk melahirkan Negara Utama. Tidak berlebihkan,
jika Al-Farabi mengkonsepsikan bahwa kota demokratik menjadi perantara lahirnya
Negara Utama.
Namun, konsepsi
Al-Farabi tentang Negara Utama, mendapat kritik tajam dari Al-Jabiri. Menurut
al-Jabiri, Al-Farabi terlalu metafisis dan jauh dari kesan praktik dan politis.
Al-Jabiri tidak hanya menolak konsepsi politik yang disampaikan Al-Farabi,
namun juga menghantam konsepsi politik Sunni, dalam pemikiran al-Ghazali
tentang ideologi kesultanan (al-aidiluyujiya al-sulthaniyyah) sebagai represi
penguasa untuk membungkam rakyat (hal. 11-15).
Dengan demikian, yang
perlu diusung bukan jargon tentang khilafah atau sistem politik, melainkan
mencari pemimpin yang mampu menggerakan perangkat politik menuju konsepsi
Negara Utama.
“Kita di Indonesia,
tidak seharusnya merasa puas untuk menjadi konsumen dari gagasan demokrasi
tertentu, seolah-olah wacana tentang itu sudah selesai. Tidak terkecuali
demokrasi liberal Barat. Sudah seharusnya, sebagai bangsa yang besar, kita
secara aktif terlibat dalam wacana demokrasi. Apalagi, di zaman
post-modernistik ini, orang makin sadar tentang besarnya kemungkinkan irelevansi
grand narrative, termasuk demokrasi. Bukan ISIS, bukan Iran, juga bukan Amerika
Serikat,” tulis Haidar Bagir.
Haidar menegaskan
bahwa Indonesia memiliki pandangan politik yang menjadi penyangga kebhinekaan.
Yakni, rumusan Pancasila yang secara visioner memiliki pandangan tentang
pentingnya demokrasi, yakni kerakyatan yang dipandu oleh ‘hikmat kebijaksaan’.
Di buku ini,
dijelaskan tentang konsepsi sistem politik dalam Islam, kontroversi Khilafah,
sekaligus kontekstualisasi Pancasila dalam relasi Islam dan negara. Pakar-pakar
kajian Islam Indonesia menuliskan pemikiran strategisnya, di antaranya:
Azyumardi Azra,Amin Abdullah, Haidar Bagir, Yudi Latif dan beberapa pengkaji
Islam.
Buku ini, memberikan
semangat dan perspektif bahwa, pekerjaan besar umat muslim Indonesia adalah
melanjutkan perjuangan kemerdekaan. Bukan malah, mengganti konsepsi kenegaraan
dengan sistem lain yang berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh founding father
negeri ini. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar