KH. ZAINUL ARIFIN
Panglima Hizbullah,
Seorang Negarawan
Temuan sejarah para
ulama NU yang bertugas merawat makam tua itu sempat menggoncangkan teori
sejarah masuknya Islam di Indonesia dalam seminar masuknya Islam pada tahun
1963. Banyak ulama besar berasal dari tempat ini, di antaranya yang paling
menonjol adalah Hamzah Fansuri, yang terkenal dengan kitab tasawufnya. Di
tanah Barus yang terkenal keharuman kapurnya serta keharuman para ulamanya
itulah pada tahun 1909 KH Zainul Arifin dilahirkan.
Sebagai pemuda yang
lahir di lingkungan yang sangat religius, maka ia menempuh pendidikan di
pesantren Purbabaru Sumatera Utara, kini pesantren Musthofawiyah. Dari
pesantren ini lahir beberapa tokoh nasional, termasuk dirinya. Walaupun berasal
dari pesantren, ia cukup piawai berbahasa Belanda dan Jepang. Pendidikan formal
yang dilalui adalah HIS.
Postur tubuhnya
sedang-sedang saja, tapi berisi. Hidungnya mancung, kulitnya relatif putih.
Suaranya barithon, sorot matanya tajam. Itulah sosok KH Zainul Arifin, Panglima
Lasykar Hizbullah, suatu wadah Perjuangan pemuda Islam 1942-1945. Namaya
disegani baik oleh tentara Belanda maupun Jepang, apalagi memiliki pasukan yang
sangat terlatih dan militan.
Untuk memperluas
pengetahuan dan pengalamannya Sejak muda Zainul merantau ke Jawa dan menetap di
Jakarta. Ia sempat 15 tahun bekerja di bagian pengairan pada pemerintah Kota
Praja Jakarta Raya, dengan setatus sebagai pegawai negeri sipil. Dia pekerja
yang tekun, ulet, dan bertanggung jawab kepada atasannya. Namun karirnya sebagai
PNS itu ditinggalkan sejalan dengan perkembangan situasi yang ada, yang
mengharuskan dia memilih berjuang di jalur politik.
Sebagai seorang
santri pesantren maka dengan sendirinya memilih bergabung dalam
organisiasi Nahdhatul Ulama (NU) yang sejalan dengan cara berfikir dan
berperilaku para santri. Ketika NU menjadi gerakan politik bergabung dalam
Masyumi, Zainul muda ikut serta masuk ke dalamnya. Jabatan Kepala Bagian Umum
Masyumi dipercayakan kepadanya mengingat kemampuan dan kecekayannya dalam bekerja.
Demikian juga ketika tahun 1952 NU keluar dari Masyumi, Zainul pun setia pada
keputusan organisiasi, ikut keluar dari Masjumi kemudian aktif di Partai
Nahdlatul Ulama.
Panglima Hizbullah
Ketika barisan
Hizbullah, wadah perjuangan fisik para pemuda Islam terbentuk(1942), Zainul
turut masuk ke dalamnya. Bahkan dia mendapat pelatihan militer pertama oleh
tentara Jepang. Kemenonjolan dan ketangkasannya membuat dia diangkat sebagai
Komandan Batalion dan kemudian menjadi Panglima Hizbullah.
Anggotanya yang
ribuan orang, terutama di Jawa dan Sumatera sebagian besar mangikuti pendidikan
militer gaya Jepang di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Para pemuda santri, tanpa
gamang, mengingat ini panggilan jihad membela negara bangsa, antre mendaftarkan
diri masuk Hizbullah. Sedangkan para kiai, ulama dan mereka yang sudah dewasa
masuk dalam barisan Sabilillah, dengan panglimanya KH Masykur juga dari NU.
Dalam kapasitas
sebagai panglima Hizbullah itu, Zainul Arifin kerap melakukan inspeksi pasukan,
terutama di basis-basis pejuangan umat Islam yaitu pondok-pondok pesantren.
Konsolidasi yang terus-menerus dengan peningkatan keterampilan bertempur,
membuat Hizbullah wadah lasykar rakyat yang disegani dan berwibawa.
Kedudukan Zainul di
partai Masyumi adalah Kepala Bagian Umum yang berada di bawah Sekretaris
Jenderal. Ketika pada akhirnya Hizbullah dilebur ke dalam TNI (1945). Dalam
proses penggabungan itu Zainul Arifin memainkan peran yang besar. Atas pertan
besarnya itu ia diangkat sebagai Sekretaris pada Pucuk Pimpinan TNI atau
semacam Sekretaris Jenderal Deparetemen Pertahanan Keamanan sekarang.
Ketika terjadi
penggabungan yang disertai program rekonstruksi dan rasionalisasi dalam tubuh
kelasykaran itu. Zainul sangat kecewa dan prihatin ketika banyak kiai anggota Sabilillah
dan Hizbullah yang tidak lulus untuk masuk TNI padahal mereka itu yang paling
gigih dalam perjuangan kemerdekaan. Kebijakan itu diangggapnya sebagai upaya
sistematis para bekas perwira KNIL yang berkuasa dalam TNI untuk menyingkarkan
para Lasykar rakyat pejuang yang nasionalis.
Namun para kiai dan
santri itu sendiri meminta agar Zainul tidak memperpanjang masalah itu.
Bagi kiai dan santri berjuang semata-mata lillahi
ta’ala untuk memerdekakan bangsa ini, bukan untuk mengejar pangkat
dan jabatan. Hanaya beberapa Lasykar Hisbullah yang duterima di TNI, bagi
mereka yang tidak lolos masuk TNI mereka menerima dengan ikhlas dan
kembali ke pondok pesantren untuk mendidik generasi muda.
Bergerilya
Pada tahun 1947,
Zainul Arifin diangkat sebagai anggota KNIP berkedudukan di Yogyakarta. Ketika
Belanda melancarkan agresi untuk mencengkeramkan kukunya kembali, Zainul ikut
bergerilya dan menjabat sebagai staf Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa. Salah
satu tugasnya adalah mengonsolidasikan wadah-wadah perjuangan yang tersebar
dimana-mana, termasuk dengan kelompok gerilya Jenderal Besar Sudirman.
Setelah lahirnya
Negara Republik Indonesia, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Serikat (RIS). Dan ketika Indonesia lebih menjadi negara kesatuan, ia
diangkat menjadi anggota DPR Sementara. Ketika Bung Karno membentuk DPR-GR
pasca dibubarkannya Masyumi dan PSI, Zainul Arifin diangkat sebagai anggota dan
kemudian duduk menjadi wakil ketua.
Sebelum itu, sebagai
hasil Pemilu 1955 setelah NU keluar dari Masyumi, Zainul Arifin terpilih
sebagai Wakil Ketua DPR, dengan ketuanya Mr Sartono (PNI). Setelah itu karirnya
terus meningkat dengan diangkat Sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dalam
kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet Ali II, posisinya digantikan oleh
KH DR Idham Chalid, yang ketika itu sudah menjadi Ketua Umum PBNU. Kabinet ini
dikenal dengan sebutan Kabinet Ali-Roem-Idham.
Sebagai putera Batak
ia memiliki kepribadian yang tegas, tetapi sekaligus luwes dan supel dalam bergaul.
Hal itu membuat Zainul Arifin disukai oleh teman dan lawan politiknya, termasuk
oleh Bung Karno. Pada periode itu berbagai kepercayaan diamanatkan kepada tokoh
ini. Semua tugas yang dibebankan dijalankan dengan baik, mengingat semuanya itu
bagian dari perjuanagan mengisi kemrdekaan, karena itu daia sangat tegas
menghadapi kelompok yang mengancam keutuhan nasional.
Berjuangan Hingga
Titik Akhir
Sebagai bekas pejuang
kemerdekaan Zainul adalah seorang Nasionalis yang tulen, karena itu dalam keadaan
apapun tidak akan bergeser dari komitmennya itu. Dan Bung Karno adalkah orang
yang memiliki komitmen serupa, karena itu maklum kalau keduanya selalu klop
dalam menyikapi politik nasional. Karena itu pula keduanya sangat akap
berhubungan, karena itu pula musuh Bung Karno juga memusuhi tokoh ini.
Walaupun DI TII dan
PRRI Permesta telah dilumpuhkan, tetapi tentara mereka bergerilya ke mana-mana.
Sarannya adalah Soekarno dan pendukungnya, karena itu pada suatu ketika pada
tahun 1962, ketika sedang dilakukan dilaksanakan Sembahyang Idul Adha di
Masjid Baiturrahim di halaman Istana Merdeka dengan Imam KH Zainul Arifin, Bung
Karno sebagai makmum. Saat melaksanakan sembahyang itu tiba-tiba mendapat
serangan udara secara mendadak. Serangan itu dilakukan oleh sisa gerombolan
pemberontak PRRI Permesta yang mau menghancurkan Indonesia untuk kepentingan
penjajah. Bung Karno selamat dalam insiden yang amoral itu, tetapi KH Zainul
Arifin bekas Komandan Hizbullah itu mengalami-luka-luka.
Walaupun KH Zainul
Arifin selamat dari serangan para pemberontak, tetapi setelah itu kesehatannya
mulai menurun. Apalagi situasi politik nasional juga semakin kacau, ketika
banyak sabotase politik dan ekonomi dilakukan oleh para agen imperialis
terhadap pemerintahan Soekarno. Keadaan itu membuat KH Zainul Arifin sangat
prihatin, yang mempengaruhi kesehatan fisik dan psikisnya. Kemudian pejuang
ini wafat bulan Maret 1963 di Jakarta pada usia 54 tahun. Sebagai pejuang
maka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ketika itu ia menduduki
jabatan sebagai wakil ketua DPR-GR.
Walaupun karir
politiknya terhenti sampai di sini, namun kenangan atas jejak langkah
perjuangannya terus dirasakan hingga saat ini. Perjuangan itu patut diteladani
generasi muda, khususnya di kalangan Nahdhatul Ulama. Banyak pihak merasa
kehilangan dengan wafatnya Zainul Arifin, tokoh NU yang sangat menonjol ketika
itu. Setumpuk surat kawat dan telegram duka cita diirimkan oleh berbagai
lapisan organisasi ke Setjen PBNU.
KH Zainul Arifin
meninggalkan seorang istri dengan sejumlah putera-puteri sebagai pewaris
perjuangannya, di berbagai bidang kegiatan. Salah seorang puteranya H.B.
Syihabuddin Arifin, berkarir di Deplu, pernah menduduki jabatan Dubes di
Inggris dan Sekjen Deplu.
Puteranya yang lain
Cecep Komaruddin Arifin aktif di GP Anshor dan Nahdlatul Ulama Jawa Barat.
Salah seorang puterinya Aisyah Arifin diperistri oleh Letkol Soleh Sediana
Bupati Majalengka pada tahun 1970. Ibu Zainul Arifin sendiri aktif di Muslimat
NU. Cucu-cucu dan cicitnya juga banyak berkiprah di bidang sosial dan
kemasyarakatan.
Atas berbagai jasanya
dalam mendirikan Republik ini, KH Zainul Arifin dikukuhkan sebagai Pahlawan
Nasional yang namanya kemudian juga diabadikan menjadi nama sebuah jalan raya
yang ada di Jakarta Pusat, berdekatan dengan jalan KH Hasyim Asy’ari.
Hadirnya tokoh besar
dari berbagai daearah, seperti Nuddin Lubis dari Sumatera Utara, KH Zein Syukri
(Sumatera Selatan) Tengku Abdul Ghani dari Sumatera Barat dan Zainul Arifin
dari Sumatera Utara serta KH Idham Cholid dari Kalimantan Selatan, menunjukkan
luasnya wilayah sebaran NU di bumi Nusantara ini.
Disadur kembali oleh H. Baidlowi Adnan, Wakil Ketua PP
LTN-NU, dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar