Peradaban Bayi-Bayi
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Orang yang menjalani hidup di jalan keinginan, cukup berbekal
nafsu, ditambah sedikit ilmu yang kompatibel dengan nafsunya itu. Tapi orang
yang melakoni kehidupan mencari yang ia butuhkan, bekal yang ia perlukan sejak
awal adalah ilmu.
Bayi adalah tahap manusia ketika sama sekali masih belum mengerti
beda antara keinginan dengan kebutuhan. Bayi ditemani staf-stafnya Tuhan
untuk menunjukkan kepada Ibunya apa yang ia butuhkan, tapi si bayi itu sendiri
tidak mengerti bahwa itu kebutuhan.
Kasdu dulu mendengar Markesot pernah nyeletuk, “Sekarang ini
sampai dewasa manusia tidak belajar membedakan antara keinginan dengan
kebutuhan. Rancangan pembangunan, kreasi kebudayaan dan teknologi, hampir
seluruh sisi peradaban ummat manusia di abad ini, menunjukkan sangat jelas
ketidakmengertian pelaku-pelakunya bahwa yang mereka bangun dengan
gegap-gempita itu bukan kebutuhan, melainkan keinginan.”
“Yang berlangsung sekarang ini adalah peradaban bayi-bayi. Bayi
tidak bisa disalahkan, meskipun ia membanting gelas, melempar Ibunya dengan
piring, atau bahkan membakar rumah. Bayi tidak percaya, atau tepatnya, belum
paham, ketika dikasih tahu bahwa yang ia lakukan adalah perusakan dan penghancuran”.
“Saya sudah bersumpah kepada diri saya sendiri”, kata Markesot,
“tidak akan ngasih tahu apa-apa kepada bayi. Bayi memimpin masyarakat, menjadi
kepala negara, menyusun pasal hukum, mendaftari para calon penghuni neraka,
menjadi pemegang urusan hal-hal yang ia muati dengan keinginan dan nafsunya.
Tidak. Saya tidak akan senggol mereka. Kecuali hal itu menjadi bagian dari
tagihan Tuhan kepada saya kelak di akhirat, saya tidak akan sentuh. Dan apakah
itu tagihan atau bukan, saya tidak punya pengetahuan kecuali Tuhan
menginformasikannya kepada saya”.
***
Ada saat-saat Kasdu dan Tonjé menyesali bahwa dalam hidup yang
cuma sekali dan sebentar ini mereka kenal Markesot.
Pergaulan dengan Markesot membuat pandangan hidup mereka jadi
kacau. Kehidupan di dunia ini menjadi tampak berbeda. Sangat berbeda. Dunia
ternyata bukan kampung halaman. Bukan rumah. Bukan tempat di mana manusia
membangun kemapanan dan kejayaan. Dunia ini hanya area kerja bikin batu-bata,
untuk bangunan rumah mereka kelak di kampung halaman yang sejati.
Ada saat di mana pandangan itu membuat hidup mereka menjadi tegar,
tangguh dan tenang. Tapi di saat lain muncul situasi di mana mereka seperti
ditimpa kesedihan dan rasa putus asa.
“Ngawur orang-orang itu”, Tonjé nyeletuk.
“Siapa? Ngawur bagaimana?”, Kasdu bertanya.
“Kebanyakan orang yang mengenal saya menyimpulkan bahwa hidup saya
ini serabutan dan spekulatif”
“Bukannya memang begitu?”
“Saya menjalani hidup tidak dengan spekulasi, melainkan dengan
iman yang jelas, kepercayaan yang teguh kepada kehidupan”
“Maksud orang-orang itu kamu tidak punya pekerjaan yang pasti
sebagaimana umumnya orang”
“Berani dan meyakini bisa hidup tanpa pekerjaan yang pasti, apa
artinya itu selain mencerminkan iman yang total kepada Tuhan”
“Mungkin mereka tidak tega melihat anak istrimu kalau kamu tidak
punya profesi yang jelas”
“Istriku mau kawin dengan saya justru karena kagum kepada
keberanian dan iman saya itu”
“Apakah iman kepada Tuhan berarti hidupmu bergantung kepada
kemurahan Tuhan melulu?”
“Lho tapi saya selalu bekerja keras”
“Kerja apa?”, Tonjé tertawa keras, “kerja apaan?”
***
“Ya seketemunya. Pokoknya kerja keras. Tidak tergantung satu jenis
pekerjaan. Saya bekerja keras melangkah dari pekerjaan satu ke pekerjaan yang
lain, yang kebanyakan tidak saling berhubungan. Selesai satu pekerjaan, cari
pekerjaan berikutnya”
“Itu namanya tidak punya pekerjaan tetap”
“Kan yang utama pekerjaan, tetap atau tidak tetap itu soal lain”
“Semua orang menyimpulkan bahwa lelaki, apalagi suami, terlebih
lagi seorang bapak atau kepala keluarga, haruslah punya pekerjaan tetap”
“Di mana ada pekerjaan tetap untuk saya? Saya tidak mau jadi anak
buah, juga tidak mau jadi boss. Satu-satunya kemungkinan hanya saya mengbossi
diri saya sendiri dan menganakbuahi diri saya sendiri”
“Terus letak orang selain kamu di mana?”
“Ya di hadapan saya di setiap pekerjaan. Saya butuh sebanyak
mungkin orang untuk berunding, tawar menawar, bertransaksi, atau juga
tolong-menolong, dalam posisi tidak sebagai boss atau anak buah”
“Apakah menjadi anak buah atau menjadi boss itu salah?”
“Sama sekali tidak. Cuma saya tidak sanggup berada di posisi
seperti itu. Saya sekeluarga butuh makan dan mengawal masa depan anak-anak
saya, dan saya bekerja keras untuk itu, tapi hanya bisa di luar posisi boss
atau anak buah”
“Tapi sudah menjadi kesimpulan umum bahwa setiap lelaki harus
punya pekerjaan tetap. Di situ letak harga diri hidupnya”
“Pekerjaan tetap kamu apa?”
“Nggak ada juga sih…”
***
Mereka berdua tertawa berkepanjangan. Tonjé dan Kasdu sadar benar
bahwa hidup mereka memang paling kacau dibanding teman-teman sesama jebolan
Patangppuluhan.
“Tapi kan tidak sekacau Markesot”, kata Kasdu.
“Markesot itu bukan kacau”, kata Tonjé, “tapi pengecut”
“Kok pengecut?”
“Tuhan bilang harta dan anak adalah fitnah dalam kehidupan di
dunia. Maka dia tidak beristri tidak beranak. Mau enaknya sendiri”
“Saya sepertinya mengerti pertimbangan Markesot”
“Gimana”
“Kan Tuhan juga, melalui Nabi-Nya, menentukan bahwa kehidupan di
dunia ini hanyalah hiasan. Dan hiasan yang terindah adalah istri yang salehah,
keluarga yang sakinah”
“Terus?”
“Markesot ngeri untuk punya istri dan anak, atas dua pertimbangan.
Pertama, bisa saja punya istri salehah dan membangun keluarga sakinah. Tapi
anak-anak kita besok-besok? Apa kita jamin bisa juga? Belum lagi cucu? Cicit?”
“Di situ itu gunanya iman dan kepasrahan kepada Tuhan”
“Markesot khawatir seluruh anak-cucunya sampai turunan keseratus
keseribu pun masih membawa risiko tanggungjawab Markesot. Kalau cicitnya
besok-besok melakukan kedhaliman, Markesot ikut menanggung dosanya. Karena
hidup ini mengendarai waktu, di dalam ruang. Hidup ini akseleratif, struktural
dan historis, dari belakang maupun ke depan”
“Markesot memang ruwet”
“Pertimbangan yang lain yang membuat Markesot tidak berkeluarga
lebih mengerikan. Tuhan menyuruh kita berproses menyatukan diri dengan-Nya.
Kita harus tidak eman kehilangan apapun asalkan diterima bertauhid kepada-Nya.
Kehilangan rumah dan harta benda, bisa kita tanggung. Tapi kehilangan anak
istri, demi penyatuan dengan Tuhan, berani kamu?”
“Oo itu yang yang Markesot takut”
“Ada tokoh besar menyatakan ‘Wahai dunia, jangan coba rayu-rayu
aku, sebab aku sudah mentalak-tiga kamu’. Markesot bertanya, talak tiga itu
termasuk ke anak dan istrinya atau tidak? Markesot waktu itu membisiki saya:
‘Tokoh itu punya dua putra. Yang satu diracun oleh istrinya, yang lain
dipenggal kepalanya oleh musuhnya’. Berani kamu menantang dunia untuk
menganggapnya kecil dan meninggalkannya?”
“Lho tapi kalau Markesot jadi panutan, semua orang lantas tidak
kawin, tidak berkeluarga, mandeg dong polulasi dan peradaban manusia?”
“Itu sudah saya tanyakan kepada Markesot dulu”
“Apa jawabnya?”
“Itu namanya kiamat. Alhamdulillah. Semakin cepat kiamat tiba,
semakin segera jelas keadaan kita. Daripada hidup di dunia menantikan akhirat
di dunia yang tanpa akal, penuh penghuni sakit jiwa, dan disiksa oleh
bangunan-bangunan kemunafikan yang tak ada hentinya” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar