DIM, Apa
Kabar?
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Dalam
rangka seminar “Perkembangan Novel Indonesia Mutakhir Era Reformasi,”
diselenggarakan oleh AJ ( Akademi Jakarta) pada 24 Nop. 2016, sambil lalu saya
sempat menyinggung gagasan DIM (Daerah Istimewa Minangkabau) kepada Prof DR
Taufik Abdullah, sejarawan kenamaan asal Ranah Minang. Agak sedikit geli Bung
Taufik memberikan tanggapan yang negatif, untuk apa itu? Tetapi karena salah
seorang penggagas utamanya adalah sosiolog Prof. DR. Mochtar Naim, Bung
Taufik tampaknya lebih menahan diri untuk tidak berkomentar lebih jauh, demi
menjaga persahabatan. Saya sendiri juga banyak menyimpan pertanyaan tentang
gagasan primordial itu, sebagaimana halnya Azmi Dt. Bagindo, sekretaris umum LAKM
(Lembaga Adat Kebudayaan Minangkabau) dalam suratnya tertanggal 22 Jan. 2016
yang ditujukan kepada Mochtar Naim dan lain-lain.
Dalam
bahasa Minang yang santun Bung Azmi menulis: “Selanjuiknyo ambo menyarankan,
sebaiknyo janganlah kito terlalu capek maambiak keputusan.” (Selanjutnya saya
sarankan, sebaiknya janganlah kita terlalu cepat mengambil keputusan). Azmi
meneruskan suratnya: “Mungkin kito semua menyadari bahwa di ranah Minang atau
di Sumbar pada saat ini, sagalo kabeklah lungga, sagalo pasaklah guyah, kok
pamatanglah mulai abih, kok garihlah mulai kabua, malah pak Mochtar Naim
sendiri pernah mangatokan semuanya sudah berada pada ‘Titik Nadir.’”(Mungkin
kita semua menyadari bahwa di ranah Minang atau di Sumbar pada saat ini, segala
ikatan telah longgar, segala pasak sudah goyah, jika pematang mulai habis,
kalau garis sudah mulai kabur, malah pak Mochtar Naim sendiri pernah mengatakan
semuanya sudah berada pada “Titik Nadir”).
Dalam
bacaan saya, baik warga Minang yang ada di Ranah Minang, mau pun yang tinggal
di rantau, tentu sepakat bahwa Minangkabau sekarang dari sisi mana pun
diteropong sudah menjadi bagian dari kultur Indonesia yang kumuh dan suka
menerabas. Menurut pengamatan alm. A.A. Navis, sastrawan Indonesia yang setia
menetap di Ranah, orang Minang dulu tidak begitu hirau dengan kekuasaan dan
kedudukan formal. Sangat kontras dengan mentalitas si Minang sekarang, jika
perlu kekuasaan itu diburu sampai ke ujung dunia dan dengan segala cara. Maka
slogan ABS-SBK (Adat Bersendi Syarak-Syarak Bersendi Kitabullah) yang serba
idealis itu kini sedang mengapung di awan tinggi, dalam realitas kultur Minang
kontemporer sudah goyah dan longgar. Semua penyakit sosial yang merebak di
Indonesia, tidak sukar mencari padanannya di Ranah.
Kita
sepakat dengan meluasnya fenomena yang mencemaskan dan merisaukan ini di Ranah,
tidak saja di kawasan perkotaan, tetapi sudah jauh menyusup ke pedesaan.
Baru-baru tersiar berita secara luas bahwa telah ditangkap ketua DPRD karena
selingkuh, ketua pengadilan agama (perempuan) yang juga melakukan perbuatan
serupa. Pertanyaan kuncinya adalah: apakah dengan mengganti nama Provinsi
Sumatera Barat menjadi Provinsi DIM, keadaan Minang akan menjadi lebih baik
sebagaimana dibayangkan oleh para penggagasnya? Saya sangat meragukan. Karena
masalah utamanya bukan terletak pada nama, tetapi sepenuhnya berkaitan dengan
kualitas manusia Minang sekarang, terutama pejabat formalnya yang sudah
kehilangan cita-cita mulia, sirnanya perasaan malu, dan tipisnya rasa tanggung
jawab untuk membangun Sumatera Barat secara benar, cerdas, dan tulus.
Nilai-nilai inilah yang sudah semakin merapuh dari hari ke hari.
Orang
Minang mesti merasa “iri” dengan para idealis pendahulunya. Sebutlah misalnya
H.A. Salim, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Hamka, dan sederetan
nama besar lainnya. Idealisme mereka ini bertahan sampai ke ujung kariernya
selama hidup di dunia. Kekuasaan bagi kaum idealis ini adalah
sepenuhnya berupa pengabdian untuk pembelaan terhadap rakyat, terutama
mereka yang terpinggirkan. Yang banyak muncul sekarang adalah idealis musiman,
tergantung kepentingan dan suasana sesaat. Semuanya dapat ditransaksikan tanpa
rasa dosa. Maka sekali lagi slogan ABS-SBK sudah lama tidak berfungsi dalam
kehidupan kolektif orang Minang. Semuanya telah berubah ke arah kutup yang
menyesakkan napas.
Untuk ke
depan, mungkin akan lebih bijak dan realistik kita menyiapkan kepemimpinan
Minang (tingkat I dan Tingkat II dan tingkat di bawahnya) dengan kualitas
tinggi, berwawasaan kebangsaan yang tajam, dan siap membawa slogan ABS-SBK
turun ke bumi kenyataan. Kultur Ranah dan kultur rantau perlu
disinergikan. Sekadar mengubah nama, rasanya bukanlah penyelesaian,
bahkan bisa mempertinggi tempat jatuh. Potensi bagi tampilnya pemimpin idealis
pasti masih tersedia, di Ranah mau pun di rantau. []
REPUBLIKA,
06 Desember 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar