PTAII dan
Imam Eropa
Oleh:
Azyumardi Azra
Apa
hubungan antara Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTAII baik negeri/PTAIIN
maupun swasta/PTAIIS) dengan imam Eropa? Dari segi geografis, PTAII tentu saja
berada di Indonesia yang sangat jauh dari Eropa. Islam Indonesia juga tak
dikenal luas di Eropa. Masyarakat Eropa lebih kenal Muslim asal Dunia Arab dan
Maghrib (Afrika Utara) atau Turki, Pakistan, Bangladesh dan India.
Namun keadaan
ini mulai berubah dalam beberapa tahun terakhir. Kian banyak pemimpin
pemerintahan dan kalangan masyarakat Eropa (baik Muslim maupun non-Muslim) yang
makin tertarik pada Islam Indonesia. Meski di Indonesia juga ada orang, sel
atau kelompok Muslim tidak toleran atau suka main kekerasan, tetapi kalangan
Eropa tetap melihat Islam Indonesia jauh lebih damai.
Sedangkan
di Eropa masih berlanjut kekerasan yang dilakukan ‘oknum-oknum’ Muslim secara
sporadis di berbagai tempat di Eropa sejak awal 2000-an. Pada saat yang sama
juga meningkat sikap anti-Islam atau anti-Muslim dalam berbagai bentuk
Islamo-fobia yang ditampilkan kelompok dan partai sayap kanan.
Menghadapi
berbagai kenyataan ini kian banyak kalangan Eropa melirik pendidikan Islam,
khususnya pendidikan tinggi yang dapat menghasilkan imam dan pemimpin Muslim
Eropa. Mereka berharap adanya pendidikan tinggi Islam Eropa untuk menghasilkan
imam dan pemimpin Muslim yang bisa mewujudkan Islam yang ramah dan dan damai.
Untuk itu mereka perlu memiliki pemahaman dan sensitivitas yang baik tentang
realitas sosial, kultural dan politik Eropa.
Pandangan
seperti itu terkait kenyataan selama ini bahwa para imam dan pemimpin Muslim
kebanyakan berasal dari berbagai negara Muslim. Kebanyakan mereka adalah migran
atau keturunan migran—bisa jadi sudah generasi ketiga atau keempat—yang secara
agama, sosial, budaya dan bahkan politik lebih berorientasi ke negara leluhur
mereka.
Karena
itulah banyak imam dan pemimpin Muslim memiliki kecenderungan berikap literal,
kaku, ekstrim dan radikal. Sikap seperti ini lazim di antara sesama Muslim dan
juga terhadap lingkungan masyarakat Eropa.
Keadaan
seperti itu membuat mereka terlepas dari konteks lingkungan sosial, budaya dan
politik lingkungan negara tempat diaspora mereka. Akibat lebih jauh, Islam
menjadi sangat asing bagi masyarakat lingkungannya.
Di
sinilah terletak salah satu sebab salah persepsi terhadap Islam dan kaum
Muslimin, sekaligus juga sikap bermusuhan dan fobia Islam dan kaum Muslimin.
Keadaan ini tidak kondusif bukan hanya bagi umat Islam sendiri, tetapi juga
bagi masyarakat Eropa.
Karena
itu, kian banyak kalangan masyarakat Eropa melirik Islam Indonesia yang lebih
akomodatif, inklusif dan toleran. Mereka ingin tahu bagaimana cara umat Islam
Indonesia mengembangkan pendidikan yang mampu menghasilkan penampilan Islam
yang ramah dan damai dengan lingkungannya.
Gejala
ini dialami penulis Resonansi ini. Dalam beberapa tahun terakhir, penulis
mendapat undangan beberapa lembaga pendidikan tinggi di Eropa di Inggris,
Belgia, Italia, dan terakhir sekali dari Prancis (15-17/11/2016) untuk
berbicara antara lain tentang PTAII. Mereka meminta penjelasan tentang
substansi kurikulum dan pendekatan dalam pembelajaran.
Sistem
PTAII—yang belakangan sering juga disebut sebagai pendidikan tinggi keagamaan
Islam (PTKI), tak ragu lagi adalah yang terbesar di dunia. PTKIN (negeri) saja
kini berjumlah 56 yang terdiri dari UIN (11), IAIN (23) dan STAIN (19).
Belum lagi PTKIS (swasta) yang pasti jauh lebih banyak lagi.
Sejarah
PTAII tidak terlalu panjang jika dibandingkan kebanyakan PT di Eropa atau
Amerika Utara. PTKIN bermula pada 1957 dengan Akademi Dinas llmu Agama (ADIA)
di Jakarta (kemudian pindah ke Ciputat) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) di Yogyakarta. Kedua PT Kedinasan ini pada 1960 dikembangkan menjadi
IAIN.
Sejarah
PTKIN selanjutnya adalah sejarah mengenai ekspansi. Sejak 1997 seluruh fakultas
cabang IAIN di luar ibukota provinsi menjadi mandiri dengan perubahannya
menjadi STAIN. Sejak 2002, UIN menjadi nomenklatur baru di dalam lingkup PTKIN.
Jika
kalangan masyarakat Eropa ingin menjadikan PTKIN sebagai model pendidikan
tinggi Islam yang dapat menghasilkan imam dan pemimpin Islam yang damai dan
ramah, bagaimana kurikulum dan proses pembelajarannya?
Kurikulum
PTKIN bisa dikatakan cukup komprehensif, tidak hanya mencakup ilmu ‘murni’
agama, tetapi juga ilmu umum. Dengan begitu, dalam hal keilmuan, menekankan
keterkaitan dan ketergantungan satu ilmu dengan ilmu lain. Lagi pula,
pendekatan keilmuan dan pembelajaran tidak teologis-normatif semata, namun juga
historis, sosiologis dan antropologis.
Melalui
kurikulum dan pembelajaran seperti itu dapat dikembangkan sikap terbuka dan
inklusif dalam sikap keagamaan. Mereka belajar tentang berbagai aliran dan
mazhab dalam Islam lewat kombinasi kajian akar doktrinal normatif dengan
pendekatan historis dan seosiologis. Dengan begitu, para mahasiswa/i tidak
terjerumus ke dalam sikap sektarianisme bernyala-nyala yang merusak; sebaliknya
menumbuhkan sikap inklusif dan toleran pada perbedaan dan keragaman. []
REPUBLIKA,
01 December 2016
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar