Kamis, 22 Desember 2016

Yudi Latif: Islam Politik dan Pudarnya Toleransi



Islam Politik dan Pudarnya Toleransi
Oleh: Yudi Latif

Saudaraku, tahun 638 Masehi, ketika Khalifah Umar dipandu menyusuri Yerusalem oleh Patriarch Sophoronius, Sang Khalifah menolak untuk menunaikan shalat di Anastasis; yang dipercaya sebagai tempat kematian dan kebangkitan Kristus. Ia khawatir, jika ia salat di sana, kaum Muslim akan mengubahnya menjadi tempat peribadatan Islam.

Tidak hanya itu. Al-Qur’an adalah kitab suci yang sangat menonjol dalam mengakui keabsahan agama-agama lain. Di bawah kejayaan Islam, orang Yahudi dan Nasrani dilindungi sebagai ahli kitab dan diberi kebebasan (relatif) untuk menjalankan agamanya.

"Sekali menyerah," tulis Karen Amstrong, "tak ada pembunuhan, tak ada perusakan properti, tak ada pembakaran simbol agama lain, tak ada pengusiran atau perampasan, dan tak ada usaha memaksa penduduk setempat untuk memeluk Islam." Ditambahkan oleh Montgomary Watt, "Secara keseluruhan, lebih banyak toleransi yang lebih jujur (genuine) bagi non-Muslim di bawah Islam, ketimbang bagi non-Kristen di bawah Kristen pada zaman pertengahan."

Kedamaian memang tidak selamanya mewarnai sejarah Islam, tapi setidaknya ada monumen pencapaian. Semenanjung Iberia sering dirujuk sejarawan sebagai pusat teladan. Kedamaian Cordoba menarik orang-orang dari latar multikultur dan menjadi melting pot bagi seni dan kerajinan, ragam bahasa, budaya, filsafat, dan tradisi keagamaan. Raja Al-Hakam II terkenal sebagai patron para penyair, penulis, dan penari. Toledo dikenal sebagai kota tiga budaya, sebagai kristalisasi perjumpaan damai dari tiga agama (Islam, Kristen, Yahudi).

Namun, hari ini, warisan luhur seperti itu lebih sering digunakan kalangan Islam sebagai alasan untuk menyudutkan lawan ketimbang sebagai sumber inspirasi untuk mempertahankan toleransi Islam. "Sekalipun sejarah Islam menunjukan toleransi yang kuat," ujar Trevor Mostyn (2002), "Islam politik belakangan cenderung menolak toleransi."

Di bawah politisasi agama oleh Islam politik, "pedang Tuhan" tidak hanya mengancam kebebasan orang/kelompok agama yang berbeda, melainkan juga sesama penganut Islam sendiri.

Dalam dua dekade terakhir, dunia mencatat beberapa landmark dari aksi-aksi kekerasan dan pembungkaman kebebasan di dunia Muslim. Terjepit di antara kekerasan negara, kekerasan pasar, dan kekerasan kelompok keagamaan, membuat watak sejati Islam kehilangan ekspresinya.

Dalam bayangan murung seperti itu, Indonesia banyak dipuji dunia sebagai komunitas Muslim yang paling menjanjikan. Dalam belasan tahun terakhir, represi negara terhadap kebebasan sipil dan politik berkurang secara drastis. Namun ancaman baru muncul berupa kekerasan dan fanatisisme kelompok-kelompok "sipil" (yang sebenarnya uncivil).

Di sini terbukti, masyarakat sipil tidaklah homogen seperti yang dibayangkan. Melainkan menjadi pertarungan di antara kelompok-kelompok ideologis yang berlawanan. Jika kata civil society itu merujuk pada istilah "societas civilis" yang menjunjung tinggi keadaban, maka benarlah pandangan para pemikir pencerahan bahwa kata civil society tidaklah diperhadapkan dengan "negara", melainkan dengan "fanatisisme".

Fanatisisme adalah paham yang melakukan penolakan terhadap representasi. Bentuk paling eksplisit dari penolakan tersebut adalah ikonoklasme: kebencian dan perusakan terhadap ikon dan citra.

Dalam seni, fanatisisme menolak representasi dengan melamurkan pandangan terhadap adanya "aesthetic gap" yang memisahkan realitas sungguhan dengan realitas rekaan sebagai karya seni. Padahal, interes seni terletak pada fakta bahwa tak ada aturan yang tetap dan diterima secara umum yang menghubungkan realitas yang direpresentasikan dengan representasi karya seni. Dengan menolak prinsip representasi yang memungkinkan seniman mengembangkan interpretasi dan rekaan, fanatisisme telah membunuh kreativitas imajinatif sebagai nyawa kesenian.

Dalam politik, fanatisisme menolak representasi dengan mengabaikan adanya "ruang antara" yang memungkinkan interpretasi manusiawi, antara "kota Tuhan" dan "kota duniawi", antara agama dan negara, antara teks-teks kitab suci dan konteks-konteks yang spesifik, antara rakyat dan lembaga-lembaga perwakilan. Dengan menolak prinsip representasi dalam politik, fanatisisme menghadirkan Tuhan dalam wajah yang bengis, membunuh akal pikiran, membungkam perbedaan pendapat, dan memaksakan hukum besi.

Fanatisme, yang lahir dari ketidakpercayaan diri untuk menghadapi perbedaan pikiran, merendahkan kemuliaan bani Adam. Kebebasan berekspresi (al-hurriyah al-ra'y wa al-ta'bir) merupakan unsur konstitutif kemuliaan itu. Al-Qur’an menyatakan bahwa martabat dan hak asasi manusia harus dijunjung tinggi: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak adam" (Q.S. 17: 70). Dengan begitu, menjaga martabat manusia lebih penting dari semua hambatan rasial, sosial, atau religius yang mengotak-ngotakkan kemanusiaan.

Syariat menjamin kebebasan ekspresi selama itu tidak meluncurkan fitnah, penistaan, penghinaan, dan kebohongan (manipulasi dan distorsi informasi) serta tidak membangkitkan kemerosotan moral (keadaban publik), korupsi, dan permusuhan.

Saatnya menghormati perbedaan! []

NU ONLINE, 20 Desember 2016
Yudi Latif | Pemikir bidang keagamaan dan kenegaraan; penulis buku "Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar