Gus Dur dan Panasnya
Muktamar NU Cipasung
Tidak terasa Muktamar
ke-33 NU di Jombang sudah berakhir setahun yang lalu dengan terpilihnya KH Said
Aqil Siroj sebagai ketua tanfidziah dan KH Ma’ruf Amin sebagai Rais Aam. Dengan
terpilihnya kembali calon incumbent ini menunjukkan keberhasilannya memimpin NU
selama lima tahun terakhir. Meskipun pro-kontra pasca-muktamar pada saat itu
masih sangat panas hingga muncul menjadi pemberitaan di berbagai media
nasional.
Membincang soal
Muktamar, persoalan di Muktamar NU ke-33 adalah hal biasa sebagai bagian dari
dinamika organisasi. Justru, Muktamar NU ke-29 yang digelar 1-5 Desember 1994
di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat lah sebagai Muktamar yang paling
menegangkan dan terpanas dalam sejarah NU. Mengapa? Pasalnya, pada Muktamar ini
merupakan puncak terjadinya kedholiman rezim orde baru terhadap NU. Pada saat
itu, NU dan sosok Gus Dur dengan segala keberaniannya ‘melawan’ pemerintah,
dipandang oleh Soeharto sebagai ancaman yang paling membahayakan.
Tak pelak, hal ini
membuat Soeharto dengan kekuasaannya, ingin ‘memutus’ kewenangan Gus Dur di
PBNU yang sejak tahun 1984 dipimpinnya. Salah satu cara yang ditempuh Soeharto
adalah menumbangkan Gus Dur di Muktamar NU Cipasung. Presiden Soeharto
melakukan berbagai intervensi dengan mendukung secara penuh salah satu calon
Ketua Umum PBNU untuk melawan KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) sebagai incumbent.
Apa skenario yang dijalankan pada saat itu?
Ya, Soeharto
memunculkan penantang dari internal NU sendiri yang pastinya anti-Gus Dur yakni
Abu Hasan. Bahkan sang paman Gus Dur, KH Yusuf Hasyim, juga ikut terbawa
menentang keponakannya itu. Oposisi Gus Dur inilah yang melakukan sejumlah
agitasi dengan slogan ABG (Asal Bukan Gus Dur). Mereka mengemukakan kritik
‘pedas’ terhadap Gus Dur, yakni manajemen NU di bawah kepemimpinan Gus Dur
dinilai lemah dan otokratik. Bahkan, menurut mereka, langkah Gus Dur yang kerap
kali ‘berseberangan’ dengan pemerintah di anggap bukan hanya menyimpang dari
khittah NU, tetapi juga bertentangan dengan kepentingan NU sendiri. Itulah
berbagai isu yang mereka buat untuk mengambil hati seluruh muktamirin.
Gelaran muktamar itu
juga terkungkung penjagaan militer, terlebih Presiden Soeharto sendiri,
Panglima TNI Jenderal Faisal Tandjung, serta para menteri rezim orde baru turut
hadir di forum tersebut. Tidak hanya personel militer dan sejumlah intel yang
menyebar di seantero lokasi muktamar, kendaraan lapis baja juga ikut
mengelilingi arena Muktamar Cipasung.
Beberapa dari mereka
bahkan diketahui menyamar dengan seragam Banser. Dari berbagai sumber, sedikitnya,
diketahui tentara yang berjaga di sekitar Cipasung berjumlah sampai 1500
personil dan 100 intel. Sebagian dari mereka diberi tugas untuk memonitor
delegasi-delegasi daerah dan membantu memberikan pertimbangan-pertimbangan.
Pada proses pemilihan,
sempat menghadirkan empat calon. Selain Gus Dur dan Abu Hasan, ada juga nama
Chalid Mawardi dan Fahmi Saifuddin yang ikut maju mencalonkan diri. Pada tahap
awal, Gus Dur memperoleh suara 157 suara, Abu Hasan 136 suara, Fahmi Saifuddin
17 suara, dan Chalid Mawardi 6 suara. Situasi tersebut benar-benar diluar
dugaan kubu Gus Dur yang semula diperkirakan akan memperoleh dukungan sekitar
65 persen. Akan tetapi, kenyataannya hanya memperoleh dibawah 50 persen.
Dengan enam suara
Chalid Mawardi (juga kubu Soeharto) yang kemungkinan jatuh ke tangan Abu Hasan,
maka pemilihan ketua umum ditentukan oleh 17 delegasi yang memberikan suara
mereka kepada Fahmi Safudin. Kemungkinan kekalahan di putaran berikutnya dengan
segala konsekuensinya jika NU jatuh ke tangan Abu Hasan sudah terbayangkan oleh
kebu Gus Dur sehingga membuat mereka panik.
Beberapa kiai yang
duduk dekat dengan Gus Dur bahkan banyak yang meneteskan air mata seraya berdoa
dengan khusyu. Singkat cerita, berdasarkan perhitungan suara yang dilaksanakan hingga
pukul 03.00, Gus Dur ternyata memeperoleh 174 suara, sementara Abu Hasan hanya
mendapatkan 142 suara. Kekhawatiran itu ternyata tidak berbuah kenyataan.
Pendukung Gus Dur pun merayakan kemenangan dengan penuh sukacita dan rasa
syukur.
Tentu kemenangan ini
tidak diperoleh dengan cara yang instan, kehebatan, intelektualitas, dan
kemampuan berpikir kritis yang berani melawan pemerintahan yang dholim pada
saat itu, ditunjang dengan kebijakan-kebijakannya di internal NU yang
dirasa sangat strategis untuk kemaslahatan masyarakat. Social capital inilah
yang menjadi modal penting kepercayaan warga NU sekaligus menjadi investasi
yang mengantarkannya menjadi ketua PBNU tiga periode berturut-turut. []
Muhammad Faishol,
mantan wartawan Jawa Pos Radar Malang yang saat ini sebagai Chief Editor Media
Santri NU (MSN)/mediasantrinu.com, santri Sholawatul Qur’an Banyuwangi dan
Sabilurrosyad Gasek Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar