Selasa, 20 Desember 2016

Shambazy: ”Garuda” Kita



”Garuda” Kita
Oleh: Budiarto Shambazy

Hari Sabtu 17 Desember ini tim nasional sepak bola kita, yang dijuluki ”Garuda”, bertandang melawan tuan rumah Thailand di Stadion Rajamangala, Bangkok. Ini final tandang bagi Garuda, setelah Rabu, 14 Desember lalu, di Stadion Pakansari, Garuda menang 2-1 atas tim ”Gajah Putih” dalam pertandingan kandang.

Ini final kelima Kejuaraan AFF (ASEAN Football Federation) atau populer disebut Piala Suzuki AFF, bagi Garuda. Pada empat final sebelumnya, Garuda selalu gagal jadi juara (2000, 2002, 2004, dan 2010) dan pada dua final di antaranya ditaklukkan Gajah Putih.

Pada babak penyisihan Piala Suzuki AFF 2016 ini, di Manila (Filipina), Garuda dikalahkan Gajah Putih, 2-4. Garuda lolos menuju ke semifinal berkat hasil seri 1-1 melawan tuan rumah Filipina dan menang 2-1 atas Singapura. Hasil itu membuat Garuda lolos ke final sebagai juara kedua Grup A.

Pada semifinal Garuda menaklukkan Vietnam 2-1 dalam partai kandang dan menahan seri tuan rumah 2-2 di Hanoi lewat pertandingan yang mendebarkan. Sebagian kalangan menyebut Garuda lolos ke final karena juga dibantu Dewi Fortuna karena Vietnam memang tampil lebih baik.

Oleh sebab itu, tak sedikit yang menyebut Garuda akan menyerah di tangan Gajah Putih. Ternyata Thailand tampil tidak sebagaimana biasa. Terkesan puas dengan keunggulan 1-0 dan serta-merta panik setelah Hansamu Yama serta Rizky Pora menjebol gawang mereka.

Betapapun, Garuda dianggap sebagai underdog saat bertarung di Stadion Rajamangala malam ini. Akan tetapi, Garuda yang oleh sebagian pers ASEAN dianggap sebagai the fairy tail team ini, terbukti bisa menjungkirbalikkan perkiraan.

”Dongeng” tersebut ditulis semua sosok yang bertarung dan berperan di tim Garuda. Pelatih Alfred Riedl, yang berasal Austria dan pernah pula meloloskan Garuda ke final Piala Suzuki AFF tahun 2010, merupakan otak di balik sukses final 2016 ini.

Lebih penting lagi adalah peranan pemain di lapangan hijau, yang berasal dari berbagai suku dan agama. Dalam kondisi negara yang belakangan ini agak terbelah, kebinekaan tim Garuda menjadi pengingat bahwa kita bangsa besar yang amat beragam.

Tentu saja para pemain Muslim masih menjadi mayoritas di Garuda. Namun, selain sang pelatih Riedl, ada pula beberapa pemain non-Muslim seperti Boaz Solossa dan Stefano Lilipaly yang berperanan vital di tim Garuda.

Last but not least, para pemain tampil bersemangat karena kondisi psikologis mereka relatif lebih tenang setelah PSSI memilih ketua umum baru, Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi. PSSI memasuki era baru kembali dipimpin sosok militer menyusul kepemimpinan tiga ketum bersosok sipil sejak awal 2000-an.

Keberagaman suku dan agama telah lama dipraktikkan di sejumlah negara yang kuat sepak bolanya di Eropa dan Amerika Latin. Timnas Perancis kini bermayoritas pemain kulit hitam keturunan Afrika dan sebagian adalah Muslim.

Timnas negara-negara Eropa Barat lain, seperti Inggris dan Jerman, juga sudah lama mempraktikkan black policy di timnas. Sepak bola memang bukan lagi sekadar perebutan si kulit bundar di lapangan hijau, tetapi sudah menjadi alat untuk mempromosikan equal opportunity berbagai kalangan minoritas suku dan agama.

Mungkin saja Garuda kembali akan gagal di final Piala Suzuki AFF kali ini. Akan tetapi, kita senang Garuda telah menampilkan permainan bagus, kompak, bersemangat, dan produktif.

Kita lebih bergembira karena sukses Garuda terjadi pada saat, sekali lagi, pada saat bangsa ini agak terbelah. Sudah sekitar tiga bulan terakhir bangsa ini dibuat muak dan lelah oleh ingar-bingar penodaan agama yang diduga dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang sempat memunculkan Aksi Bela Islam I, II, dan III.

Memang para pelaku kerusuhan 4 November malam sudah ditangkap, tetapi sampai saat ini belum diproses ke pengadilan. Sejumlah kasus pelanggaran UU ITE, penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, serta dugaan makar, sampai saat ini masih ditangani polisi.

Sementara sidang perdana kasus penodaan agama terhadap Basuki sudah dimulai 13 Desember lalu. Alhamdulillah persidangan berlangsung lancar, aman, dan tertib.

Di tengah-tengah kondisi politik yang kurang mengenakkan itu, ”Aksi Bela Timnas” baru terasa gaungnya ketika Garuda mengalahkan Vietnam pada semifinal. Setelah Garuda menundukkan Gajah Putih, 2-1, pada laga pertama final, nasionalisme bangsa ini langsung muncul dalam skala besar.

Tiba-tiba kita ingin kembali menjadi the soccer tribe alias ”suku sepak bola” yang mencintai Garuda karena berbagai alasan ideologis, kultural, sosial, politis, maupun personal. Sebagian dari kita malah berharap final Piala Suzuki AFF diadakan berkali-kali saja, jangan cuma dua kali, sampai selesainya pencoblosan pilgub DKI, 15 Februari 2017.

Jutaan orang mengelu-elukan Garuda karena rindu kepada nasionalisme walau masih berwatak flag-waving (kibaran bendera). Toh faktanya bendera dan seragam kita berwarna merah-putih, bukan putih-putih, atau warna-warna lainnya.

Kita memuja Garuda karena sumpek dengan kondisi yang agak terbelah. Namun, kita tidak mau putus asa dan melampiaskan kecintaan kepada Indonesia dengan menikmati penampilan Garuda.

Melalui Garuda, kita ”berjumpa” dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air tanpa harus perlu memakai topeng suku dan agama. Semoga nanti malam semangat Garuda tetap menyala berkat dukungan jutaan rakyat di semua pelosok Nusantara. []

KOMPAS, 17 Desember 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar