”Garuda” Kita
Oleh: Budiarto Shambazy
Hari Sabtu 17 Desember ini tim nasional sepak bola kita, yang
dijuluki ”Garuda”, bertandang melawan tuan rumah Thailand di Stadion
Rajamangala, Bangkok. Ini final tandang bagi Garuda, setelah Rabu, 14 Desember
lalu, di Stadion Pakansari, Garuda menang 2-1 atas tim ”Gajah Putih” dalam
pertandingan kandang.
Ini final kelima Kejuaraan AFF (ASEAN Football Federation) atau
populer disebut Piala Suzuki AFF, bagi Garuda. Pada empat final sebelumnya,
Garuda selalu gagal jadi juara (2000, 2002, 2004, dan 2010) dan pada dua final
di antaranya ditaklukkan Gajah Putih.
Pada babak penyisihan Piala Suzuki AFF 2016 ini, di Manila
(Filipina), Garuda dikalahkan Gajah Putih, 2-4. Garuda lolos menuju ke
semifinal berkat hasil seri 1-1 melawan tuan rumah Filipina dan menang 2-1 atas
Singapura. Hasil itu membuat Garuda lolos ke final sebagai juara kedua Grup A.
Pada semifinal Garuda menaklukkan Vietnam 2-1 dalam partai kandang
dan menahan seri tuan rumah 2-2 di Hanoi lewat pertandingan yang mendebarkan.
Sebagian kalangan menyebut Garuda lolos ke final karena juga dibantu Dewi
Fortuna karena Vietnam memang tampil lebih baik.
Oleh sebab itu, tak sedikit yang menyebut Garuda akan menyerah di
tangan Gajah Putih. Ternyata Thailand tampil tidak sebagaimana biasa. Terkesan
puas dengan keunggulan 1-0 dan serta-merta panik setelah Hansamu Yama serta
Rizky Pora menjebol gawang mereka.
Betapapun, Garuda dianggap sebagai underdog saat bertarung di
Stadion Rajamangala malam ini. Akan tetapi, Garuda yang oleh sebagian pers
ASEAN dianggap sebagai the fairy tail team ini, terbukti bisa
menjungkirbalikkan perkiraan.
”Dongeng” tersebut ditulis semua sosok yang bertarung dan berperan
di tim Garuda. Pelatih Alfred Riedl, yang berasal Austria dan pernah pula
meloloskan Garuda ke final Piala Suzuki AFF tahun 2010, merupakan otak di balik
sukses final 2016 ini.
Lebih penting lagi adalah peranan pemain di lapangan hijau, yang
berasal dari berbagai suku dan agama. Dalam kondisi negara yang belakangan ini
agak terbelah, kebinekaan tim Garuda menjadi pengingat bahwa kita bangsa besar
yang amat beragam.
Tentu saja para pemain Muslim masih menjadi mayoritas di Garuda.
Namun, selain sang pelatih Riedl, ada pula beberapa pemain non-Muslim seperti
Boaz Solossa dan Stefano Lilipaly yang berperanan vital di tim Garuda.
Last but not least, para pemain tampil bersemangat karena kondisi
psikologis mereka relatif lebih tenang setelah PSSI memilih ketua umum baru,
Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi. PSSI memasuki era baru kembali dipimpin sosok
militer menyusul kepemimpinan tiga ketum bersosok sipil sejak awal 2000-an.
Keberagaman suku dan agama telah lama dipraktikkan di sejumlah
negara yang kuat sepak bolanya di Eropa dan Amerika Latin. Timnas Perancis kini
bermayoritas pemain kulit hitam keturunan Afrika dan sebagian adalah Muslim.
Timnas negara-negara Eropa Barat lain, seperti Inggris dan Jerman,
juga sudah lama mempraktikkan black policy di timnas. Sepak bola memang bukan
lagi sekadar perebutan si kulit bundar di lapangan hijau, tetapi sudah menjadi
alat untuk mempromosikan equal opportunity berbagai kalangan minoritas suku dan
agama.
Mungkin saja Garuda kembali akan gagal di final Piala Suzuki AFF
kali ini. Akan tetapi, kita senang Garuda telah menampilkan permainan bagus,
kompak, bersemangat, dan produktif.
Kita lebih bergembira karena sukses Garuda terjadi pada saat,
sekali lagi, pada saat bangsa ini agak terbelah. Sudah sekitar tiga bulan
terakhir bangsa ini dibuat muak dan lelah oleh ingar-bingar penodaan agama yang
diduga dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang sempat
memunculkan Aksi Bela Islam I, II, dan III.
Memang para pelaku kerusuhan 4 November malam sudah ditangkap,
tetapi sampai saat ini belum diproses ke pengadilan. Sejumlah kasus pelanggaran
UU ITE, penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, serta dugaan makar, sampai saat
ini masih ditangani polisi.
Sementara sidang perdana kasus penodaan agama terhadap Basuki
sudah dimulai 13 Desember lalu. Alhamdulillah persidangan berlangsung lancar,
aman, dan tertib.
Di tengah-tengah kondisi politik yang kurang mengenakkan itu,
”Aksi Bela Timnas” baru terasa gaungnya ketika Garuda mengalahkan Vietnam pada
semifinal. Setelah Garuda menundukkan Gajah Putih, 2-1, pada laga pertama
final, nasionalisme bangsa ini langsung muncul dalam skala besar.
Tiba-tiba kita ingin kembali menjadi the soccer tribe alias ”suku
sepak bola” yang mencintai Garuda karena berbagai alasan ideologis, kultural,
sosial, politis, maupun personal. Sebagian dari kita malah berharap final Piala
Suzuki AFF diadakan berkali-kali saja, jangan cuma dua kali, sampai selesainya
pencoblosan pilgub DKI, 15 Februari 2017.
Jutaan orang mengelu-elukan Garuda karena rindu kepada
nasionalisme walau masih berwatak flag-waving (kibaran bendera). Toh faktanya
bendera dan seragam kita berwarna merah-putih, bukan putih-putih, atau
warna-warna lainnya.
Kita memuja Garuda karena sumpek dengan kondisi yang agak
terbelah. Namun, kita tidak mau putus asa dan melampiaskan kecintaan kepada
Indonesia dengan menikmati penampilan Garuda.
Melalui Garuda, kita ”berjumpa” dengan saudara-saudara sebangsa
dan setanah air tanpa harus perlu memakai topeng suku dan agama. Semoga nanti
malam semangat Garuda tetap menyala berkat dukungan jutaan rakyat di semua
pelosok Nusantara. []
KOMPAS, 17 Desember 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan
Senior KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar