Ka'bah, Abraj Al-Bait, dan Protes Kaum Sufi
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sebenarnya sudah cukup lama dunia Muslim mengamati dengan getir
proses penghancuran situs-situs sejarah oleh rezim Wahabi Saudi, baik di
sekitar Makkah atau pun di sekitar Madinah, dua kota suci yang legendaris bagi
kaum beriman. Atas nama tauhid dan gerakan anti-syirik, kabarnya sudah lebih 98
persen tempat-tempat bersejarah itu dihilangkan jejaknya. Bahkan makam Khadijah
binti Khuwailid, istri Nabi, yang jasanya luar biasa terhadap Islam di masa
awal yang kritikal dan teramat sulit, kini telah berubah jadi toilet umum.
Inilah sebuah rezim tunaadab yang menutup telinganya rapat-rapat untuk
mendengar protes umat Islam sejagat agar tindakan brutal itu tidak diteruskan.
Protes teranyar pada 16 Juli 2016 disampaikan oleh kaum sufi India
agar dua Kota Suci itu dibebaskan dari penguasaan rezim Wahabi Saudi. Inilah
inti pernyataan dan tuntutan mereka, “The
Madjid-e-Nabvi and the Kaabah Sharif are under threat! Free Makkah Sharif! Free
Madinah Sharif! Free Hejaz!” (Masjid Nabawi dan Ka’bah yang Mulia
sedang berada di bawah ancaman. Bebaskan Makkah yang Mulia! Bebaskan Madinah
yang Mulia! Bebaskan Hijaz!). Kelompok sufi ini sudah berada di batas kesabaran
dalam menilai tindakan semena-mena penguasa Saudi yang sedang mengancam
eksistensi dua kota suci itu melalui proses pembaratan yang dahsyat.
Yang ironis, semua gerakan radikal di berbagai bagian bumi tidak
satu pun yang melakukan protes terhadap prilaku rezim Saudi ini. Ini tidaklah
mengherankan karena gerakan radikal ini memang pada umumnya lahir dari rahim
Wahabisme ciptaan Muhammad bin Abdul Wahhab yang bersekutu dengan penguasa
Saudi di bawah pimpinan Muhammad bin Saud. Menurut sumber yang saya baca, nenek
moyang rezim Saudi yang berkuasa sekarang ini bukanlah berasal dari kawasan
perkotaan, tetapi dari puak Badwi (al-a’râb)
dari pegunungan yang dulu dikritik keras oleh Alquran karena watak sebagian
mereka yang kepala batu, sangat kufur, munafik, dan tidak faham batas-batas
yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya (lih. surah at-Taubah: 97).
Tetapi ada pula puak Badwi itu yang dipuji Alquran: “Dan di antara
orang-orang Badwi, ada yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan menjadikan
apa yang dinafkahkannya sebagai sarana pendekatan kepada Allah dan aneka doa
rasul. Ketahuilah, sesungguhnya ia adalah suatu sarana pendekatan buat mereka.
Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (at-Taubah: 99). Saya tidak tahu, berasal dari gen
mana nenek moyang rezim Saudi yang sudah berkuasa sejak abad yang lalu itu.
Terlepas dari masalah asal-usul yang tidak jelas ini, tuan dan
puan tengoklah suasana serba mewah dan aduhai yang mengitari Kota Makkah dan
Madinah kontemporer sekarang ini. Penggusuran terhadap situs-situs sejarah di
Makkah adalah untuk melicinkan jalan bagi bangunan Abrâj al-Bait, menara
pencakar langit dilengkapi hotel mewah dengan sebuah jam raksasa bertengger di
puncaknya. Makkah telah berubah menjadi kota kapitalisme supermodern yang telah
berjaya mengusir dimensi spiritual yang dulu ditancapkan oleh Nabi Ibrahim-Nabi
Ismail, dan cicitnya Nabi Muhammad SAW. Semuanya kini tinggal kenangan.
Baratisme telah mendominasi arah Kiblat umat Islam ini. Suasana mewah Masjid
Nabawi di Madinah juga mengikuti pola serupa. Ke mana ujungnya nanti, kita pun
tidak bisa memastikan.
Antropolog Prof Sumanto al-Qurtuby yang sudah tiga tahun mengajar
di salah satu universitas di Saudi baru-baru ini menulis tentang betapa
kapitalisme Barat telah merasuk jauh ke jantung spiritual umat Islam ini:
“Contoh lain simbol kapitalisme di Tanah Suci ialah bangunan Abraj al Bait; ada
20 lantai pusat perbelanjaan dan sebuah hotel dengan 800 kamar. Garasinya bisa
menampung 1.000 mobil. Tapi para tamu dan penghuni juga bisa datang dengan
helikopter, karena ini memang tempat bagi mereka yang mampu menyewa, atau
memiliki kendaraan terbang.”
Dengan nada lirih, Sumanto selanjutnya merekamkan perasaannya:
“Abraj al Bait [disebut juga Makkah Clock Royal Tower] yang begitu megah dan
gemerlap, dengan 21 ribu lampunya yang memancar sampai sejauh 30 km dan membuat
rembulan di langit pun mungkin tersisih. Betapa berubahnya Mekah. Bahkan
menurut Irfan al-Alawi, seorang direktur Islamic Heritage Research Foundation
di London, menyebutnya “It is the end of Mekkah” (Tamatnya Makkah).
Akhirnya, serbakeanehan telah berlaku pula di negeri ini: Arab
semakin menjadi Barat, sedangkan sebagian warga Indonesia bertingkah
kearab-araban! []
REPUBLIKA, 20 December 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar