Melawan
Ekstrimisme dan Islamo-Fobia (2)
Oleh:
Azyumardi Azra
Jika
ekstrimisme keagamaan pada satu pihak dan Islamo-fobia pada pihak lain terus
bertahan dan berkecenderungan meningkat, lantas apa yang harus dilakukan?
Apakah kecenderungan ini dapat dikurangi jika belum dapat diatasi secara
keseluruhan?
Dalam
pembicaraan di berbagai forum konferensi, seminar dan simposium tentang subjek
ini terungkap bahwa ekstrimisme keagamaan dan Islamo-fobia tidak berdiri
sendiri. Ia banyak terkait dengan situasi domestik negara tertentu dan juga
dengan dinamika politik, ekonomi dan sosial-budaya di level internasional.
Karena itu memang sama sekali tidak mudah mengatasinya.
Keadaan
politik, ekonomi, sosial-budaya dan agama yang kacau di banyak negara
Muslim—khususnya di Dunia Arab, Asia Selatan dan Afrika—jelas menjadi faktor
utama tumbuh dan menguatnya ekstrimisme agama. Konflik politik dan perang yang
terjadi beberapa tahun terakhir -— di tengah kegagalan democratic opening di
Dunia Arab —- yang beramalgamasi dengan sektarianisme agama dan kabilahisme
membuat ekstrimisme mencapai tingkat yang tidak pernah ada sebelumnya. Ini
terlihat dalam pertumbuhan ISIS di wilayah Syria dan Irak.
Celakanya,
ekstrimisme politik dan agama di kawasan ini menyebar ke tempat-tempat lain;
tidak hanya di Dunia Muslim, tapi juga ke Eropa dan Amerika. Hasilnya, terjadi
globalisasi ekstrimisme yang menciptakan masalah serius dalam keamanan dan sekuriti.
Kondisi
ekonomi yang mengalami krisis atau kemerosotan di beberapa negara Eropa Selatan
seperti Yunani atau Italia hanya meningkatkan Islamo-fobia yang memang sudah
ada sejak lama di Eropa atau di Dunia Barat secara keseluruhan. Kedatangan
jutaan pengungsi dari Libya, Syria, Afghanistan, Somalia dan seterusnya ke
Eropa—kemudian juga diterima dalam jumlah terbatas di AS, Kanada dan
Australia—hanya meningkatkan Islamo-fobia.
Akhirnya
para pengungsi bisa diterima di sejumlah negara. Sayang terjadi kasus-kasus
tidak menyenangkan. Misalnya, terjadinya kasus memalukan ketika ‘oknum-oknum’
pengungsi di awal tahun baru 2016 melakukan pelecehan seksual terhadap
perempuan lokal Jerman dan Prancis.
Dengan
demikian, terjadi interplay,
saling memengaruhi antara berbagai faktor yang bekerja meningkatkan ekstrimisme
agama dan Islamo-fobia sekaligus. Melihat interplay
dan dinamika berbagai faktor internal dan internasional, sekali lagi, sulit
terlihat jalan keluar dari masalah berat dan serius ini.
Karena
itu upaya ‘memerangi’ ekstrimisme agama dan Islamo-fobia sama sekali tidak
mudah. Sebaliknya melibatkan proses yang kompleks dan rumit yang memerlukan
penanganan serius dan terencana baik pada tingkat domestik maupun
internasional.
Pada
tingkat pemerintahan, jelas perlu kerja sama internasional untuk menangani
berbagai masalah yang menjadi sumber ekstrimisme agama dan Islamo-fobia.
Berbagai negara dapat bertukar pengalaman dalam mengembangkan kehidupan yang
harmonis, toleran dan hidup berdampingan secara damai.
Tetapi
masalah ekstrimisme agama dan Islamo-fobia juga memerlukan peran masyarakat,
khususnya masyarakat sipil atau masyarakat madani (civil society). Masyarakat sipil bukan hanya
dapat menjadi mitra pemerintah dalam isu terkait, sekaligus pula bisa
meningkatkan perannya dalam proses de-ekstrimisasi dan de-Islamo-fobiaisasi.
Masalahnya
kemudian, tidak semua negara memiliki
civil society yang aktif dan dinamis untuk meresponi berbagai
perkembangan tidak menguntungkan baik di negara tertentu maupun di tingkat
internasional. Dalam keadaan seperti ini, sering terlihat, banyak negara yang
tidak memiliki civil society
harus bekerja sendiri melalui birokrasi pemerintahan
Di sini
banyak negara seolah tidak berdaya mengatasi perkembangan tidak kondusif.
Negara-negara ini akhirnya terjerumus menjadi ‘negara gagal’ (failed states) karena
ketidakmampuan menegakkan hukum dan ketertiban guna menciptakan keharmonisan
dan kedamaian.
Di tengah
keadaan domestik banyak negara dan juga dunia internasional yang cenderung
buram (gloomy),
Indonesia berada dalam posisi sangat baik untuk berada di garis terdepan.
Secara domestik, Indonesia stabil secara politik dan ekonomi. Sebagai negara
sangat majemuk, Indonesia mampu bertahan dalam kesatuan dan persatuan.
Karena
itulah banyak kalangan internasional, baik pemerintahan negara maupun
masyarakat mengharapkan Indonesia memainkan peran lebih besar dalam menghadapi
ekstrimisme dan Islamo-fobia. Indonesia sebagai negara besar bukan hanya dalam
ukuran teritori, jumlah penduduk, demografi Muslim dan sekaligus demokrasi
sepatutnya memikul tanggung jawab dan peran lebih besar pula.
Sebab
itu, cukup kuat alasan agar pemerintah RI merevitalisasi aktivisme Indonesia
dalam kancah internasional. Presiden Jokowi tetap bisa melanjutkan pembangunan
infra-struktur, tapi pada saat yang sama juga membangun kembali postur
Indonesia yang gagah pada tingkat internasional. Dengan begitulah Indonesia
dapat menjadi negara besar seperti sering ditekankan Presiden Jokowi. []
REPUBLIKA,
15 December 2016
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar