NAPAK TILAS 2016
(2-HABIS)
Kiai As’ad Beri Waktu
3 Hari Jepang Pergi, Atau Dihancurkan
Semangat juang yang dimiliki Kiai As’ad dan rombongan untuk mengusir serdadu Jepang kian berlipat-lipat setelah berhasil memukul mundur begundal-begundal negeri matahari terbit saat terjadi pertempuran di sungai Kramat, Desa Sukorejo, Kecamatan Sukowono.
Dengan selalu memohon pertolongan Allah, Kiai As’ad dan rombongan melanjutkan perjalanan hingga sampai di Desa Plalangan, Kecamatan Kalisat. Di desa tersebut, Kiai As’ad berhenti sebentar di sebuah rumah warga untuk meminta tiga ikat padi (dengan batangnya). Tiga ikat padi tersebut dibawa oleh seseorang benama Pak Ma’ruf.
“Pak Ma’ruf ini saksi hidup, dan beliaulah yang membawa tiga ikat padi itu hingga sampai di Garahan,” tutur Ketua Panitia Bidang Perlengkapan sekaligus tim pencari fakta Napak Tilas Nasional 2016, Ustadz Fauzi kepada NU Online di Jember, Selasa (13/9).
Kiai As’ad, Pak Ma’ruf dan rombongan pun menuju Garahan. Sampai di Dusun Pasar Alas, Desa Garahan, Kiai As’ad behenti di sebuah masjid untuk melaksanakan shalat sunnah. Segala sesuatunya memang perlu dipersiapakan di situ, termasuk bermunajad kepada Allah. Sebab, markas Jepang sudah sangat dekat. Dan pertempuran diprediksi akan terjadi.
Dengan senjata seadanya plus keyakinan yang tinggi akan pertolongan Allah, mereka pun bergerak, memasuki Dusun Curah Damar, Desa Garahan, yang menjadi markas serdadu Jepang. Kiai As’ad memerintahkan agar pasukan resmi (tentara) tetap bersembunyi. Tidak keluar tapi tetap dalam kondisi siaga. Sedangkan Kiai As’ad dan para tentara Hizbulloh langsung menyatroni markas Jepang.
Saat itu, serdadu Jepang sudah ciut nyalinya. Tanpa buang waktu, Kiai As’ad langsung mengultimatum agar mereka segera angkat kaki, atau diserang habis. Serdadu Jepang mengulur waktu. Mereka bahkan meminta waktu 3 bulan lagi untuk meninggalkan markas, namun Kiai As’ad hanya memberi waktu tiga hari. Kiai As’ad tampaknya sadar bahwa waktu 3 bulan tersebut akan digunakan oleh Jepang untuk menyusun kekuatan dengan meminta bala bantuan dari luar Silo. Permintaan Jepang tersebut akhirnya turun menjadi 2 bulan, dan turun lagi menjadi 1 bulan, sebelum akhirnya setuju 3 hari.
Walaupun hanya 3 hari, tapi waktu tersebut sangat krusial. Sebab, segala kemungkinan bisa terjadi, apalagi Jepang terkenal licik. “Selama menunggu itulah, tiga ikat padi itu dilepas dan dilempar ke udara, dan jadilah tentara. Alhamdulillah di hari ketiga, Jepang benar-benar pergi,” lanjut Ustadz Fauzi.
Saat ini puing-puing dan bebatuan bekas bangunan markas Jepang tersebut, sebagian masih mengonggok di tengah kebun kopi yang menghijau. Itulah saksi bisu yang menandai kiprah Kiai As’ad dalam altar sejarah perjuangan bangsa Indonesia. []
(Aryudi A Razaq)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar