Anatomi
Amuk Massa
Oleh:
Budiarto Shambazy
Dua
dasawarsa lalu, pendatang Inggris yang datang ke Asia Tenggara menyaksikan
fenomena yang mereka sebut dengan kata ”amock”. Menurut mereka, ”to run amock”
artinya seseorang atau sekelompok orang yang membunuh musuh-musuhnya untuk
membalas dendam, yang didahului dengan ritual meminum candu sampai mabuk.
”Setelah
mabuk kepayang mereka berhamburan dari rumah mereka untuk membunuh. Bahkan,
orang yang mencoba mencegah mereka juga ikut dibunuh,” tulis Captain Cook.
Secara perlahan kata amock berubah jadi ”amok”.
Ada yang
menafsirkan amok sebagai ”bentuk ganjil dari ketidaknalaran akal manusia”. Ada
pula yang melihat amok dari sisi psikologis sebagai ”perilaku sangat destruktif
yang diikuti dengan amnesia, rasa lelah, bahkan bunuh diri”.
Namun,
dalam ranah sosial ketidaknalaran akal itu semakin kasatmata karena para amuco
juga memegang senjata dalam bentuk berbagai rupa. Amok atau amuk dalam bahasa
kita kadang masih terjadi di negara ini, mulai dari di ajang politik sampai
ajang sepak bola.
Hilangnya
nalar kadang kala membuat kita, yang masih nalar, ikut terkesima seperti orang
Portugis di masa lalu. Apa salahnya fasilitas umum sampai dirusak, apa pula
salahnya mobil-mobil perpelat kota lain dipecahkan kacanya cuma karena yang
terjadi di lapangan hijau?
Agak
sulit menebak mulai kapan amok menjadi bagian dari kultur politik kita. Soalnya
sejak kecil kita diajari bahwa Indonesia adalah bangsa yang ramah tamah dan
suka gotong royong, sebuah antitesis dari sikap suka mengamuk.
Ada yang
yakin kultur amok pertama kali berkembang karena sikap anti-Tionghoa pada era
penjajahan Belanda. Kesalahan kompeni adalah menempatkan para pedagang Tionghoa
di kelas sosial teratas bersama para pejabat Belanda.
Kita
masih belum lepas dari penyakit amok terhadap etnis Tionghoa yang terus terjadi
sampai kini. Beberapa teman Tionghoa saya sempat diliputi rasa takut akan
terjadinya kekerasan terhadap mereka lagi sebagai penularan terhadap sikap anti
sebagian orang terhadap gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama.
Kultur
amok berkembang subur setelah terjadinya pembunuhan terhadap jenderal-jenderal
kita pada tahun 1965. Tak lama kemudian terjadi pembunuhan terhadap mereka yang
komunis ataupun yang bukan. Sampai kini jumlah korban akibat amuk massa itu
belum diketahui persis.
Anatomi
amuk massa perlahan berubah. Faktor penyebab amok semakin bertambah, mulai dari
perbedaan tafsir agama, sengketa pilkada, sampai persoalan kecil seperti
perlakuan kejam majikan terhadap pembantu rumah tangga.
Amuk
massa juga menjadi bisnis yang menguntungkan karena Anda bisa datang ke begitu
banyak entitas pengerah massa. Jika harga sudah cocok, Anda tinggal saksikan
massa pro-Anda menyerbu ke mana pun.
Selama
era Reformasi ini setiap tahun pasti ada amuk massa. Frekuensinya sangat tergantung
dari seberapa persaingan politik di tingkat elite.
Amuk
massa tentu juga mengalami desentralisasi. Anda sendiri melihat betapa
banyaknya calon kepala daerah yang saling bertarung bukan cuma dengan tema-tema
kampanye, melainkan juga dengan pengerahan massa.
Jangan
salah, para pejabat yang memerintah juga mempunyai massa. Saya jadi ingat
peristiwa di Jalan Sudirman pada 13 November 1998.
Penguasa
di kala petang itu mengerahkan puluhan anggota pamswakarsa untuk menghadapi
para mahasiswa.
Penguasa
memang memiliki berbagai cara untuk mencegah terjadinya amuk massa. Ada demo
tandingan, ada pawang hujan, ada imbauan, dan ada pula ancaman.
Semua
orang pasti setuju Aksi Bela Islam I, II, dan III berjalan aman dan tertib.
Sayang sekali yang kedua tanggal 4 November sempat diwarnai kericuhan kecil.
Sampai
kini polisi masih belum mengungkap tuntas motivasi para pelaku kericuhan kecil
itu. Namun, sejarah kekerasan di negeri ini selalu mengaitkan antara kerusuhan
yang diotaki sang dalang yang berjudi untuk ambil keuntungan.
Ada juga
pihak-pihak yang memanfaatkan massa, yang damai ataupun beringas, juga dalam
rangka berjudi untuk memetik keuntungan. Itu sebabnya muncul spekulasi Aksi
Bela Islam bukan mustahil ditunggangi mereka yang ingin memaksakan proses
pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo.
Siapa
yang mendalangi kericuhan 4 November dan siapa saja yang ingin memanfaatkan
kemungkinan amuk massa untuk menggelar Sidang Istimewa MPR untuk memakzulkan
Presiden Joko Widodo, mudah-mudahan akan terungkap.
Patut
dipuji langkah Presiden Joko Widodo ikut shalat Jumat di Monas bersama para
peserta Aksi Bela Islam III yang ternyata memang superdamai. Langkah Presiden
dibutuhkan untuk menjamin ketenteraman kita menjalani kehidupan sehari-hari dan
juga untuk menyemangati aparat keamanan yang bekerja profesional.
Sekali
lagi, salut untuk Presiden Joko Widodo. Pada saat yang kurang mengenakkan
belakangan ini, kita butuh pemimpin yang bernyali besar. []
KOMPAS, 3
Desember 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan
Senior KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar