KHOTBAH JUM'AT
Imam al-Ghazali dan Pentingnya Mengenali Diri
Sendiri
Khutbah I
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ جَعَلَ التّقْوَى خَيْرَ الزَّادِ وَاللِّبَاسِ وَأَمَرَنَا أَنْ تَزَوَّدَ بِهَا لِيوْم الحِسَاب أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ رَبُّ النَّاسِ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المَوْصُوْفُ بِأَكْمَلِ صِفَاتِ الأَشْخَاصِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وسَلّمْ تَسليمًا كَثِيرًا ، أَمَّا بَعْدُ ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhamad
al-Ghazali dalam kitabnya Kîmiyâ’us Sa‘âdah mengatakan bahwa mengenal
diri (ma‘rifatun nafs) adalah kunci untuk mengenal Allah. Logikanya
sederhana: diri sendiri adalah hal yang paling dekat dengan kita; bila kita
tidak mengenal diri sendiri, lantas bagaimana mungkin kita bisa mengenali
Allah? Imam al-Ghazali juga mengutip hadits Rasulullah “man ‘arafa nafsah
faqad ‘arafa rabbah” (siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya).
Dalam Surat Fusshilat ayat 53 juga
ditegaskan:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى؟ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada
mereka ayat-ayat Kami di dunia ini dan di dalam diri mereka sendiri, hingga
jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.”
Tentu saja yang dimaksudkan Imam al-Ghazali
di sini lebih dari sekadar pengenalan diri secara lahiriah: seberapa besar diri
kita, bagiamana anatomi tubuh kita, seperti apa wajah kita, atau sejenisnya.
Bukan pula atribut-atribut yang sedang kita sandang, seperti jabatan, status
sosial, tingkat ekonomi, prestasi, dan lain-lain. Lebih dalam dari itu semua,
yang dimaksud dengan “mengenal diri” adalah berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar:
Siapa aku dan dari mana aku datang? Ke mana
aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di
manakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan?
Di sini kita diantarkan untuk memilah, mana
yang bersifat hakiki dalam diri kita dan mana yang tidak. Serentetan pertanyaan
sederhana namun sangat kompleks. Butuh perenungan diri untuk menjawab satu
persatu pertanyaan tersebut. Jawabannya mungkin sudah sangat kita hafal, tapi
belum tentu mampu kita resapi sehingga menjiwai keseluruhan aktivitas kita.
Jamaah shalat Jum’at rahimakumullah,
Untuk mengenali diri sendiri, Imam al-Ghazali
mengawali penjelasan dengan menyebut bahwa dalam diri manusia ada tiga jenis
sifat: (1) sifat-sifat binatang (shifâtul bahâ’im), sifat-sifat setan (shifâtusy
syayâthîn), sifat-sifat malaikat (shifâtul malâikah).
Apa itu sifat-sifat binatang? Seperti banyak
kita jumpai, binatang adalah makhluk hidup dengan rutinitas kebutuhan bilogis
yang sama persis dengan manusia. Mereka tidur, makan, minum, kawin, berkelahi,
dan sejenisnya. Manusia pun menyimpan kecenderungan-kecenderugan ini, dan
bahkan memiliki ketergantungan yang nyaris tak bisa dipisahkan. Watak-watak
tersebut bersifat alamiah dan dalam konteks tertentu dibutuhkan untuk
mempertahankan hidup.
Yang kedua, sifat-sifat setan. Setan adalah
representasi keburukan. Ia digambarkan selalu mengobarkan keja¬hatan, tipu
daya, dan dusta. Demikian pula orang-orang yang memiliki sifat setan. Sementara
yang ketiga, sifat-sifat malaikat berarti sifat-sifat yang senantiasa menerungi
keindahan Allah, memuji-Nya, dan mentaati-Nya secara total.
Ringkasnya, kebahagiaan hewani adalah ketika
ia kenyang, mampu memuaskan hasrat dirinya, atau sanggup mengalahkan lawan
untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri—atau paling banter untuk keluarganya.
Sedangkan kebahagiaan setan adalah tatkala berhasil mengelabuhi yang lain atau
memproduksi keburukan. Sementara kebahagiaan malaikat ialah saat diri kian
mendekat kepada Allah dan semua aktivitas merupakan cerminan dari kedekatan
itu.
Jama’ah shalat jum’at rahimakumullah,
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa diri manusia
layaknya sebuah kerajaan yang terbagi dalam empat struktur pokok: jiwa sebagai
raja, akal sebagai perdana menteri, syahwat sebagai pengumpul pajak, dan amarah
sebagai polisi.
Syahwat memiliki karakter untuk menarik
manfaat, kenikmatan, dan keuntungan sebanyak-banyaknya. Ia befungsi untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan individu. Sementara amarah berfungsi
melindungi dari berbagai ancaman atau mudarat, karenanya ia identik dengan
karakter berani, cenderung kasar dan keras. Keduanya penting untuk kehidupan
manusia. Dengan syahwat manusia tahu akan kebutuhan makan, misalnya; dengan
amarah, ia mengerti akan perlunya membela diri ketika serangan mengancam. Namun
syahwat dan amarah harus didudukkan di bawah kendali akal dan tentu saja di
bawah raja.
Apabila syahwat dan amarah menguasai
akal/nalar maka kerajaan terancam runtuh. Sebab susunan “kekuasaan” tak
terjalan menurut kontrol seharusnya. Syahwat yang di luar kendali akal dan jiwa
akan memunculkan sifat-sifat buruk seperti rakus atau tamak. Sementara amarah
yang tak terkendali akan menimbulkan kebencian dan kecurigaan berlebihan
sehingga muncul sikap-sikap membabi buta dan semena-mena.
Akal pun mesti berada di bawah kendali jiwa atau
hati (qalb). Akal memang memiliki potensi yang istimewa: berpikir,
berimajinasi, menghafal, dan lain-lain. Bila ia bertindak liar maka potensi
akal untuk menjadikan manusia sebagai tukang tipu daya atau semacamnya sangat
mungkin. Kalau kita pernah mendengar kalimat “orang pintar yang gemar minterin
(memperdaya) orang lain” maka itu tak lain akibat akal bertolak belakang dengan
nurani alias tak berada dalam naungan jiwa yang bersih.
Untuk mencapai jiwa yang berkuasa utuh, Imam
al-Ghazali menekankan adanya perjuangan keras dalam olah rohani (mujâhadah)
demi proses pembersihan jiwa atau tazkiyatun nafs. Jiwa yang jernih akan
memicu munculnya cahaya ilahi yang member petunjuk manusia akan jalan terbaik
bagi langkah-langkahnya.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Artinya: “Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh (muhajadah) untuk untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-'Ankabut:
69)
Semoga kita termasuk orang-orang yang lebih
banyak belajar mengenali diri sendiri, ketimbang menilai orang lain, untuk
menggapai kebahagiaan hakiki.
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ.
إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar