Menikmati Kehidupan
Oleh: M. Quraish Shihab
Ada secuplik doa menyatakan, Allâhumma matti’na bi asmâ’inâ,
wa abshârinâ wa qawwâtinâ fi sabîlik (Ya Allah, anugerahilah kami
kenyamanan melalui pendengaran kami, pandangan mata kami, dan semua potensi
kami dalam jalan-Mu).
Yang menyenangkan mata adalah pemandangan indah, yang menyenangkan
telinga adalah berita baik dalam suara merdu. Yang menyenangkan hidung adalah
aroma yang harum, demikian seterusnya masing-masing memiliki kesenangannya yang
dimohonkan kepada Allah agar dipenuhi. Nabi Muhammad saw. pun menyebut sekian
banyak hal yang menyenangkan beliau dalam kehidupan dunia ini. Pemandangan yang
indah, aroma yang harum serta perempuan, yakni pendamping—yang cantik, serasi,
dan setia.
Al-Qur’an memerintahkan beliau mengecam yang mengharamkan
perhiasan dan juga rezeki yang diciptakan Allah untuk hamba-hamba-Nya. “Semua
itu disediakan dalam kehidupan dunia buat yang beriman (dan yang tidak
beriman), dan khusus buat yang beriman saja di hari kiamat nanti (QS. al-A’râf
[7]: 32).
Allah telah menghiasi bumi dan langit. Semua dipersilakan
menikmatinya dalam batas yang dibolehkan Allah. Yang Mahakuasa itu memuji yang
melakukan wisata dan menjadikan itu sebagai salah satu sifat terpuji
wanita-wanita Muslimah (QS. at-Tahrîm [66]: 5), bahkan yang berwisata—walau
sekadar untuk bersenang-senang—diperkenankan mempersingkat shalatnya yang empat
rakaat menjadi dua saja. Ini tentu dengan syarat yang dibahas dalam hukum
Islam.
Kehidupan di pentas bumi ini—dinamai dunia—yang dalam bahasa
aslinya berarti dekat dan rendah bahkan hina. Kedekatan dan kerendahan itu
adalah jika dibanding dengan pasangannya, yaitu akhirat (QS. at-Taubah [9]:
38).
Kerendahan dan kehinaan itu dapat berubah menjadi ketinggian dan
kemuliaan bila penghuninya menghiasinya dengan nilai Ilahi. Tanpa hal tersebut
maka dunia hanya menjadi “seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering lalu menguning dan layu,
hancur berantakan” (QS. al-Hadîd [57]: 20).
Sekali lagi Anda dapat memanfaatkan dan menikmati dunia, asal
jangan larut dalam kenikmatannya. Di tempat inilah manusia dicoba dengan
berbagai ujian, apa yang diperoleh di sini dari aneka kenikmatan akan kita
tinggalkan dengan kematian, atau ia yang meninggalkan kita karena hilang atau
binasa. Namun demikian, harus disadari bahwa kita pasti akan ditanyai dari mana
dan bagaimana diperoleh kenikmatan itu dan untuk apa, kepada siapa serta
seberapa banyak ia digunakan.
Kendati keadaan dunia seperti itu, namun jangan mencercanya,
apalagi mengabaikannya, karena dunia—juga—adalah arena kebenaran bagi
yang menyadari hakikatnya, tempat dan jalan kebahagiaan bagi yang
memahaminya. Di sana ditemukan aneka pelajaran bagi yang merenung memperhatikan
fenomenanya.
Sejak dahulu—lebih-lebih kini—dunia bergerak dengan cepat.
Pasangannya, yakni akhirat, juga dari saat ke saat semakin mendekat. Keduanya
memunyai putra putri. Jadilah putra akhirat karena seorang anak selalu ingin
melekat bersama ibunya, lebih-lebih pada saat bahaya mencekam. Jangan menjadi
putra dunia karena dunia akan binasa sehingga bila Anda menjadi putranya Anda
tidak akan menemukan ibu yang merangkul Anda. Demikian, wa Allâh A’lam.
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar