Garam Kok
Asin
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Seorang tokoh senirupa
mengemukakan kepadaku bahwa pesawat televisi adalah benda magis. Sebutan kotak
ajaib baginya bukan main-main, sebab bagaimana mungkin dari kaca itu muncul
gambar.
Aku gemar
pada getaran dan selalu terangsang oleh segala sesuatu yang mungkin bisa
membuatku tergetar. Hal televisi itu memang benar merupakan suatu pengalaman
magis bagi sang senirupawan (dunia subjektif), tapi (dunia obyektif) ia bisa
dibongkar oleh penjelasan ‘ilmu pengetahuan biasa’ yang membuktikan kepadanya
bahwa televisi itu bukan peristiwa magis.
Demikian
juga ketika seorang tokoh sastrawan merasa takjub menyaksikan sepeda motor
dislah lantas berbunyi menderu-deru sambil mengeluarkan asap. Ia mengemukakan
bahwa itu mistis. Penjelasan ‘ilmu pengetahuan biasa’ akan menggugurkannya.
Seorang
piawi lain memberitahukan bahwa contoh peristiwa magis misalnya ialah tenung
dan santet. Bagaimana mungkin engkau memasukkan keranjang ke dalam perut
saingan dagangmu, menyusupkan sekeping emas ke pipi agar orang jatuh cinta,
atau membentengi gawang dengan tembok magis agar tak terlalu banyak kemasukan
gol.
Hal-hal
semacam itu memang bisa menggetarkan, sampai pada seseorang menggengam
pengertian bahwa itu bukan magis karena bisa diurai juga oleh ‘ilmu pengetahuan
bisa’, meskipun belum pernah diartikulir oleh wilayah keilmuan kita. Seperti
juga kemenyan dipilih untuk mengundang ‘rekan-rekan dari dunia lain’. Seperti
juga ada ramuan daun dan akar-akaran tertentu yang letak kodratnya bersentuhan
dengan dimensi jin. Sifat kodrati dedaunan dan anggota alam lain ini yang
membikin seorang Shaman Indian mengalami proses dan penggunaan alat yang
berbeda dibanding seorang dukun dayak ketika melangsungkan hubungan diplomatik
dengan ‘masyarakat luar dimensi manusia’.
Aku tidak
tahu itu semua. Aku tidak mampu menjelaskan rangka teknologis pesawat televisi,
seperti aku juga nggak becus menerangkan kata orang hantu-hantu menyukai
pohon-pohon tertentu untuk domilisinya, atau kenapa kata orang binatang lebih
peka terhadap adanya hantu dibanding manusia.
Aku tidak
tahu itu semua, dan aku tidak tergetar oleh itu semua. Sampai akhirnya seorang
yang lain menanyakan kenapa gula itu manis dan kenapa garam itu asin.
Ini
menggetarkan bukan karena pertanyaan ini tergolong sebagai pertanyaan
filosofis, melainkan karena ia merangsangku untuk membongkar kembali sikap,
kesadaran dan imanku ketika sarapan, mengunyah tahu tempe, serta ketika memeras
keringat bagaimana memperoleh dua tiga potong tahu tempe di tengah kehidupan
yang sudah begini megah dan pintar.
Dalam
perjalanan pembongkaran itu aku bertemu tidak saja dengan ide penciptaan
makanan tahu, dengan para tukang bikin tahu yang menginjak-injak bnatalan
kristal kedelai, tentang petani garam yang tersingkir di Madura, tentang tebu
tanam paksa jauh sesudah jajahan Belanda — tapi juga dengan prototanisme dan
kapitalisme, dengan marxisme kuno maupun marxisme mode baru, yang semuanya
memang tidak pernah sempat bertanya kenapa gula itu manis dan kenapa garam itu
asin.
Pertemuan
dengan hal-hal besar itu juga tidak menggetarkan, sebab ‘nafsu’ku kemudian –
yang menggetarkan – hanyalah bagaimana memperbanyak orang gila yang bersedia
menanyakan kepada dirinya sendiri kenapa gula manis kenapa garam asin.
Kata
dosen filsafat, itu immanent. Kata Ustadz itu termasuk qadla dan qadar. Kalau
engkau bertanya kepada pelawak ludruk ia akan menjawab – “Lha kalau yang manis
hanya keringat di ketiakmu, siapa mau minum teh manis?” Persis seperti ketika
mereka menjawab kenapa Tuhan meletakkan hidung di bawah mata dan di atas mulut
– “Sebab kalau ditaruh di bawah pinggang sebelah belakang, ‘kan…..”
Adapun,
kata sahibul hikayat, tak hanya gula yang manis, tapi gula pasti manis. Tak
hanya garam yang asin, tapi garam pasti asin.
Dan
sastrawan kita itu menarik napas dalam-dalam – “Itu mistis” katanya, “Gula itu
kok manis, ya mbok sekali-sekali gula itu asin, atau garam yang manis…”
Bisa
saja, Mas. Kita bikin konvensi baru manis kita sebut asin, asin kita sebut
manis. Atau gula kita sebut garam, garam kita sebut gula. Itu kan cuma soal
nomenklatuur. Kata seni bisa kita ganti daki, kata intelek kita ganti panu.
Tapi yang
ini tetap terasa begini, dan yang itu tetap terasa begitu. Adakah ini awal dari
sejarah alam semesta? Atau kah ada sesuatu yang lebih konkret, lebih wenang, di
belakangnya? Sebelumnya?
Ilmu
pengetahuan mandeg di situ. Karena ilmu pengetahuan hanya menyelidiki.
Menyelidiki, dengan jarak. Menyelidiki garam, menyelidiki asin. Ilmu
pengetahuan tidak mengalami. Ilmu pengetahuan tidak menyatukan diri dengan yang
di belakang garam dan di belakang asin.
Asin
tidak bisa di-report, diinformasikan, diartikulir, diterjemahkan. Engkau tidak
bisa memberitahukan kepada seseorang yang lidahnya hampa dari radar rasa
bagaimana rasa asin. Ia harus mengalaminya sendiri.
Demikian
pun Allah. Demikian pun Allah
Seorang
Pendeta menodongku dengan mengemukakan – “Kita terus terang saja, bahwa dalam
agama apa pun wahyu itu tidak ada. Qur’an itu karangan Muhammad, meskipun aku
memaklumimu bahwa untuk konteks penggembalaan umat engkau mengatakan yang
berbeda”.
Tentu
saja aku tidak bersedia menyeret diri untuk memperdebatkan dengannya
pembuktian-pembuktian sejarah wahyu, dengan kecanggihan ilmiah yang paling
mutakhir pun Aku tidak bersedia membuang waktu memperdebatkan rasa asin dengan
seseorang yang tidak mengalami asin di lidahnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar