Semoga Saya Tidak 100 Persen Laki-Laki
6 April
2015
Oleh:
Dahlan Iskan
Kejutan baru: Amerika, kampiun negara demokrasi itu, kini punya
peraturan daerah (perda) syariah. Dengan perda baru itu, kini pedagang di
Negara Bagian Indiana, tempat saya belajar, boleh menolak melayani konsumen
berdasar keyakinan agama. Parlemen setempat (gabungan anggota DPRD dan anggota
senat daerah) mengesahkan perda itu pekan lalu. Inilah negara bagian pertama di
Amerika Serikat (AS) yang memiliki aturan seperti itu.
Heboh. Gempar. Protes pun marak. Dari berbagai wilayah. Juga dari
berbagai kelompok. Pertunjukan musik di ibu kota negara bagian itu,
Indianapolis, yang seharusnya berlangsung minggu depan dibatalkan. Artisnya
sendiri yang membatalkan. Sebagai protes. Uang karcis dikembalikan.
Sebuah perusahaan besar juga mengancam. Ia menyatakan membatalkan
ekspansinya. Bahkan lagi mempertimbangkan untuk cabut dari wilayah Indiana.
Perusahaan itu seperti mewakili sikap umumnya kalangan bisnis di Indiana.
Mereka khawatir buruh mereka, pada satu tahap nanti, bisa menolak aturan
perusahaan berdasar keyakinan agama si karyawan.
Sebagian pemrotes menganggap aturan baru itu bertentangan dengan
kebebasan yang dijunjung begitu tinggi di Amerika. Bahkan, ada yang menyatakan,
itu sudah melanggar konstitusi.
Tapi, gubernur Indiana tutup mata. Dia menyatakan, aturan baru itu
harus jalan terus. Dia menolak anggapan ada pasal konstitusi yang dilanggar.
Separo surat pembaca di koran daerah Evansville, kampung saya sekarang,
mendukung dan memuji gubernur. Separonya lagi menolak dan memaki. Mereka bahkan
bilang habislah kesempatan sang gubernur untuk maju sebagai calon presiden yang
akan datang. Padahal, sebelumnya banyak yang menggelarinya sebagai calon Ronald
Reagan baru. Reagan, mantan bintang film itu, dinilai sebagai presiden yang hebat
dari Partai Republik, partai yang sama dengan gubernur Indiana.
Indiana memang termasuk negara bagian yang sikap keagamaan
penduduknya kuat. Karena itu, Partai Republik menang mutlak di sini. Menguasai
parlemen setempat. Partai Demokrat tidak berdaya untuk mencegah lahirnya aturan
baru itu.
Aturan itu bermula dari keinginan pedagang setempat. Khususnya
pedagang bunga dan kue yang fanatik. Mereka minta diperbolehkan tidak melayani
pesanan bunga atau kue dari pasangan pengantin yang sejenis. Pengantinnya
laki-laki semua atau perempuan semua. Berdasar keyakinan agama mereka,
perkawinan jenis itu dilarang agama. Anggota parlemen setempat memprosesnya
sampai menjadi peraturan. Tanpa aturan itu, pedagang yang menolak mereka
dianggap melanggar hukum.
Keberanian parlemen Indiana itu sebenarnya didorong keberhasilan
gugatan perusahaan besar Hobby Lobby tahun lalu. Bos besar perusahaan itu
memang pendukung berat Partai Republik. Berarti anti-Presiden Obama yang
Demokrat. Ketika Obama mengeluarkan aturan BPJS Kesehatan dan aturan itu
disahkan kongres (waktu itu Kongres AS masih dikuasai Demokrat) lima tahun
lalu, Hobby Lobby ke pengadilan. Menggugat. Kalah. Lalu ke Mahkamah Agung.
Menang. Inti gugatannya: tidak mau ikut program kesehatan Obama, khusus untuk
pembelian alat-alat kontrasepsi dan biaya aborsi. Berdasar keyakinan agamanya,
Hobby Lobby menyatakan, keluarga berencana itu melanggar agama dan aborsi juga
dilarang agama.
Protes untuk perda syariah Indiana kali ini begitu marak karena
tren penggunaan alasan keyakinan agama itu. Bukan soal perkawinan sejenis
semata. Mereka khawatir ke depan akan kian terus meluas dan melebar. Misalnya
dari soal gay dan lesbian ke soal lain, misalnya ke warna kulit atau ke
penganut agama lain. Dan seterusnya. Bisa jadi negara bagian lain, yang
tiba-tiba merasa kalah fanatik, memproses aturan yang lebih dalam lagi. Dan
kecenderungan ini benar-benar terjadi. Hanya selang seminggu, Negara Bagian
Georgia sudah mengumumkan niat serupa.
Tapi, mengapa pasangan gay dan lesbian ngotot minta perkawinan
mereka disahkan? Bukankah mereka bisa diam-diam kumpul kebo begitu saja? Apakah
dengan kawin itu mereka lantas merasa tidak berdosa?
Ternyata tidak begitu. Ini masalah hukum semata. Ini menyangkut
asuransi, warisan, tanggungan biaya kesehatan, dan pajak. Misalnya, sang
”istri” mau operasi di rumah sakit. Sang ”suami” tidak bisa memberikan tanda
tangan persetujuan. Atau ketika ”suami” bekerja, sang ”istri” tidak bisa
mendapat tunjangan. ”Istri” juga tidak akan dapat asuransi jiwa dan warisan
lainnya. Mereka juga harus membayar pajak penuh karena pasangan tidak bisa jadi
faktor pengurang. Intinya, sang ”istri” atau ”suami” tidak bisa mendapatkan
hak-haknya sebagai pasangan hidup.
Padahal, menurut pengakuan kelompok itu, mereka benar-benar saling
mencintai dan menyayangi. Mereka tidak mau ini dianggap melanggar agama.
”Bukankah ini kehendak Tuhan juga?” kata mereka.
Saya tidak tahu apakah ini kehendak Tuhan. Atau kehendak manusia.
Atau bahkan ini semata-mata kehendak lingkungan yang menciptakannya. Tapi, saya
yakin suatu saat nanti dokter ahli kromosom, ahli DNA, dan ahli sel (cell) akan
bisa menjelaskannya secara biologis.
Lalu para ilmuwan itu bisa melakukan modifikasi gen atau sel atau
DNA atau sejenisnya. Sejak masih bayi. Atau bahkan sejak masih di kandungan.
Para ilmuwan itu akan bisa melakukan pengurangan kromosom tertentu yang membuat
anak-anak memiliki kecenderungan gay atau lesbi. Dengan demikian, semua bayi
yang lahir ke dunia akan bisa dipastikan: kalau tidak laki-laki ya perempuan.
Tidak ada yang setengah-setengah, atau seperempat-seperempat seperti itu. Agar
tidak ada persoalan lagi di dunia ini. Atau agar jangan ada lagi yang
menyalahkan Tuhan. Para ilmuwan akan bisa membuat manusia berkurang dosanya.
Inilah dakwah ”bil-hal”-nya para dokter ahli nanti.
Bukankah jangan-jangan, menurut struktur kromosom yang ada dalam
tubuh manusia, sebenarnya hanya sebagian di antara laki-laki itu yang
benar-benar 100 persen laki-laki. Demikian juga perempuannya. Sebagian lagi
mungkin saja kelelakiannya hanya 90%, 80%, 70%, 60%, atau di antara angka-angka
itu. Yang perempuan pun demikian juga. ”Berapa persen keperempuanan Anda?”
mungkin akan diketahui segera.
Saat ini pun sudah terbit sebuah buku yang mengulas kecenderungan
kromosom manusia. Umur pendek atau mati karena kecelakaan, menurut buku Women
After All karya Prof Dr Kevin Konner dari Emory University, Atlanta, lebih
ditentukan susunan kromosom dalam diri mereka. Yakni karena mereka memiliki
unsur SRY dalam DNA-nya. SRY itu berada di dalam kromosom Y. Bahkan, pemilik
kromosom Y ini punya kecenderungan lain: melakukan kekerasan atau jadi korban
kekerasan.
Siapa pemilik kromosom Y ini? Mudah diduga: laki-laki. Bukan
perempuan. Karena itu, menurut Women After All, hampir semua bencana di dunia
ini penyebabnya laki-laki. Mulai kekerasan, perang, pemerkosaan, dan
seterusnya. ”Tidak ada bencana yang muncul gara-gara air mata perempuan,” kata
buku itu.
Perempuan itu, menurut kromosomnya, memang mudah menangis. Dengan
demikian, tangis perempuan itu alami. ”Kalau tangis laki-laki itu politis,”
katanya.
Dia mengakui, banyak sekali prestasi dan kebaikan yang dibuat
laki-laki. Tapi, katanya, itu semata-mata karena kesempatan lebih banyak
diberikan kepada laki-laki. Sesuai dengan struktur kromosom, kalau perempuan
diberi kesempatan yang sama, dunia akan lebih maju dan baik. Dengan susunan
kromosom tertentu, perempuan mestinya lebih unggul hampir di segala bidang:
lebih panjang umur, lebih tahan penyakit, lebih andal, lebih fair, lebih tahan,
tidak fanatik, tidak mudah berburuk sangka, dan sebagainya.
Kelebihan lainnya, sudah pasti: bisa membuat kehidupan terus
berlanjut. Yakni dengan kemampuannya yang tidak dimiliki laki-laki: hamil dan
melahirkan.
Kelak saya akan tes kromosom. Semoga tidak 100 persen laki-laki.
(*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar