Shalat Jum’at di
Perkantoran
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Pembaca sekalian yang kami hormati. Pembahasan kali ini akan menanggapi
pertanyaan kedua dari saudara kita Muchamad
Wajihuddin dari kota Bogor. Adapun isi pertanyaannya adalah, “Apakah sah
shalat Jum’at yang diadakan di gedung perkantoran dimana jama’ahnya adalah para
pekerja yang bukan mukimin di wilayah seputaran tempat dilaksanakan shalat
Jumat?”
Jawaban:
Saudara Wajihuddin yang mudah-mudahan selalu
dalam naungan ridha Allah. Shalat Jum’at merupakan salah satu ibadah yang telah
ditetapkan kewajibannya oleh Allah swt kepada hamba-hamba-Nya yang beriman
melalui sebuah firman-Nya yang terdapat dalam surat al-Jumu’ah ayat 9.
Kewajiban tersebut kemudian dijabarkan oleh Rasulullah saw tertuju kepada
selain para budak, kaum perempuan, anak-anak yang belum baligh, orang yang
sedang sakit dan dipandang sebagai uzur, serta orang yang sedang dalam
bepergian dengan jarak yang telah memenuhi radius rukhshah (boleh tidak
jum’atan).
Setelah melakukan analisa yang cukup mendalam
mengenai dalil-dalil yang terkait dengan shalat Jum’at baik dari Al-Qur’an
maupun hadist, mayoritas ulama’ Syafii’yyah berpandangan bahwa termasuk syarat
sah pelaksanaan khutbah Jum’at berikut shalatnya harus diikuti oleh minimal 40
orang ahli Jum’at (muslim, bukan budak, telah baligh dan dinyatakan sebagai
penduduk tetap untuk satu daerah setempat yang mengadakan shalat
Jum’at/mustauthin).
Saudara penanya yang kami hormati.
Permasalahan yang anda sampaikan ini sebenarnya pernah dibahas dalam musyawarah
nasional alim ulama pada tahun 1997 di Lombok dengan keputusan bahwa Shalat
Jum’at tanpa mustauthin dan muqimin atau dengan mustauthin dan muqimin, tetapi
tidak memenuhi syarat, hukumnya tafshil atau dirinci sebagai berikut:
1. Tidak sah, menurut mayoritas ulama
Syafi’iyyah. Sementara Imam Syafi’i sendiri dalam qaul qadim yang dikuatkan
oleh al-Muzanni memandang sah bila jumlah jama’ah itu diikuti mustauthin
minimal 4 orang.
2. Imam Abu Hanifah mengesahkan secara
mutlak. Adapun rujukan yang digunakan antara lain: Risalah Bulugh
al-Umniyah fi Fatawa al-Nawazil al-‘Ashriyah karya Muhammad Ali al-Maliki:
بَلْ
قَالَ شَيْخُنَا فِيْ تَقْرِيْرِهِ عَلَى إِعَانَتِهِ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ
قَوْلَيْنِ قَدِيْمَيْنِ فِيْ الْعَدَدِ أَيْضًا أَحَدُهُمَا أَقَلُّهُمْ
أَرْبَعَةٌ. حَكَاهُ عَنْهُ صَاحِبُ التَّلْخِيْصِ وَحَكَاهُ فِيْ شَرْحِ
الْمُهَذَّبِ
Artinya: Bahkan guruku, al-Bakri bin Muhammad
Syaththa, dalam catatan atas kitab I’anah at-Thalibinnya berkata: “Sungguh Imam
Syafi’i punya dua qaul qadim tentang jumlah jamaah shalat Jum’at pula. Salah
satunya adalah minimal empat orang. Pendapat ini dikutip oleh pengarang kitab
al-Talkhish dan dihikayatkan al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab.
Dalam Al-Muhadzdzabyang disusun oleh Abu
Ishaq al-Syairazi:
مِنْ
شَرْطِ الْعَدَدِ أَنْ يَكُوْنُوْا رِجَالاً أَحْرَارًا مُقِيْمِيْنَ بِالْمَوْضِعِ
فَأَمَّا النِّسَاءُ وَالْعَبِيْدُ وَالْمُسَافِرُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ
الْجُمْعَةُ لِأَنَّهُ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِمْ الْجُمْعَةُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ
كَالصِّبْيَانِ وَهَلْ تَنْعَقِدُ بِمُقِيْمِيْنَ غَيْرَ مُسْتَوْطِنِيْنَ فِيْهِ
وَجْهَانِ قَالَ أَبُوْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ
لِأَنَّهُ تَلْزَمُهُمْ الْجُمْعَةُ فَانْعَقَدَتْ بِهِمْ كَالْمُسْتَوْطِنِيْنَ
Artinya: Di antara syarat jumlah jamaah
tersebut adalah, mereka terdiri dari laki-laki, merdeka dan menetap di suatu
tempat. Adapun perempuan, budak dan musafir, maka shalat Jum’at tidak menjadi
sah dengan kehadiran mereka, karena mereka tidak berkewajiban melaksanakan
shalat Jum’at sehingga shalat itu pun tidak menjadi sah dengan kehadiran
mereka, sama seperti anak-anak.
Apakah shalat Jum’at itu sah dengan jamaah
terdiri dari para muqimin (penduduk) yang tidak menetap. Dalam hal itu terdapat
dua wajh; Abu Ali bin Abi Hurairah berpendapat: “Shalat Jum’at dengan mereka
itu sah karena mereka berkewajiban shalat Jum’at, sehingga shalat itu menjadi
sah, sama seperti para penduduk tetap.”
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh karya Syekh
Wahbah Zuhaili:
وَأَقَلُّهُمْ
عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمُحَمَّدٍ فِي اْلأَصَحِّ ثَلاَثَةُ رِجَالٍ سِوَى
اْلاِمَامِ، وَلَوْ كَانُوْا مُسَافِرِيْنَ أَوْ مَرْضَى لِأَنَّ أَقَلَّ
الْجَمْعِ الصَّحِيْحِ إِنَّمَا هُوَ الثَّلاَثُ
Artinya: Dan jumlah minimal jamaah Jum’at
menurut Abu Hanifah dan Muhammad dalam pendapat al-Ashah adalah tiga orang
selain imam, walaupun mereka itu musafir dan orang sakit, karena minimal jumlah
jamak yang sahih itu adalah tiga.
Dari uraian ini ada beberapa pilihan bagi
kita dalam menghadapi permasalahan ini: Pertama, mengikuti pendapat mayoritas
ulama syafi’iyah yang menganggap jum’atan tersebut tidak sah dengan konsekuensi
karyawan kantor mencari kampung terdekat yang menyelenggarakan shalat Jum’at
oleh penduduk setempat.
Kedua, mengikuti pendapat qaul qadim imam
Syafi’i dengan konsekuensi harus ada atau kalau perlu mendatangkan minimal 4
orang penduduk di sekitar kantor untuk ikut shalat Jum’at di perkantoran.
Ketiga, mengikuti pendapat imam Hanafi dengan
konsekuensi mengetahui tata cara yang terkait dengan pelaksanaan shalat Jum’at
mulai dari tata cara wudhu sampai dengan shalatnya berikut syarat,rukun dan
hal-hal yang membatalkannya menurut madzhab Hanafi.
Mudah-mudahan jawaban ini dapat membuka
cakrawala kita mengenai keberagaman dalam menjalankan perintah agama. Amin.
Wallahu a’lam. []
Maftukhan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar