Shalat antara Kewajiban dan Kebutuhan
Oleh: M. Quraish Shihab
Banyak yang menduga bahwa shalat baru disyariatkan Allah pada saat
peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. Dugaan ini keliru karena
bertebaran ayat-ayat al-Qur’an yang turun sebelum peristiwa itu yang berbicara
tentang shalat. Memang seperti sabda Nabi saw. kepada seseorang yang ingin
memeluk Islam tapi ingin dibebaskan dari shalat: “Tidak ada baiknya suatu agama
tanpa shalat.” Karena itu pula, shalat dikenal dalam semua agama kendati waktu,
cara, dan bilangannya dapat berbeda-beda. Shalat lima kali sehari semalam
itulah yang diwajibkan ketika peristiwa Mi’raj. Sebelum peristiwa itu, Nabi
bersama sahabat–sahabat beliau pun telah shalat menghadap Ilahi, minimal dua
kali dalam sehari semalam. Pagi dan petang.
Menghadapkan jiwa raga kepada Tuhan merupakan kewajiban keagamaan
karena agama—sebagaimana diakui dan diyakini oleh setiap penganutnya—menetapkan
bahwa Tuhan adalah Penguasa dan Pengatur alam raya. Dia yang menguasai hidup
dan kehidupan manusia, Dia Mahamutlak, Mahakuasa, dan Mahasempurna dalam segala
sifat keutamaan yang wajar disandang-Nya. Keyakinan akan ketuhanan seperti itu
menuntut pembuktian konkret dan amaliah, bukan hanya dalam benak. Nah, shalat
adalah salah satu pengejewantahan dari keyakinan tersebut.
Manusia, lebih-lebih para ilmuwan, membutuhkan kepastian tentang
tata kerja alam ini demi pengembangan ilmu dan penerapannya. Kepastian ini
tidak dapat diperoleh, kecuali dengan keyakinan adanya Pengendali dan Penguasa
Tunggal Yang Maha Esa. Dengan demikian, shalat menggambarkan pemahaman
seseorang menyangkut tata kerja alam raya ini, yang memberikan ketenangan dan
kemantapan kepada manusia, khususnya para ilmuwan, dan karena itu, “Shalat
kepada Yang Maha Esa merupakan pertanda kemajuan pemikiran manusia dalam
memahami tata kerja alam raya ini.”
Di sisi lain, manusia adalah makhluk yang memiliki naluri cemas
dan harap. Ia selalu membutuhkan sandaran, lebih-lebih pada saat-saat cemas.
Kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa bersandar kepada makhluk, betapapun
kekuatan dan kekuasaannya, sering kali tidak membuahkan hasil. Yang Mahakuasa
mewujudkan segala harapan hanyalah Tuhan semata. Di sini sekali lagi terlihat
kebutuhan manusia kepada shalat yang kali ini adalah kebutuhan kalbu, jiwa, dan
perasaannya.
Disebutkan dalam riwayat bahwa tadinya Allah mewajibkan shalat
lima puluh kali dalam sehari semalam, tapi Rasul saw. berbolak-balik memohon
keringanan sehingga pada akhirnya tinggal lima kali. Ini antara lain bertujuan
agar tidak ada lagi dalih bagi siapa pun yang masih menilainya sebagai
kewajiban untuk menganggapnya berat. Bukankah jika seseorang ditugasi suatu
kewajiban lalu dikurangi dan dikurangi sehingga yang diwajibkan hanya
sepersepuluh dari kewajiban semula, ia seharusnya tidak lagi meminta untuk
dikurangi, lebih-lebih mengabaikan kewajiban itu?
Hanya
lima kali sehari Allah mewajibkan kita menghadap kepada-Nya. Malu rasanya kita,
yang telah mendapat anugerah-Nya yang tidak terbilang, mengabaikan kewajiban
itu, apalagi shalat bukan untuk kepentingan-Nya, tapi kepentingan dan kebutuhan
kita. Malu pula rasanya apabila hanya pada saat-saat kepepet/ terdesak,
pada saat cemas dan mengharap baru kita berkunjung ke hadirat-Nya, dan
tentu menjengkelkan siapa pun apabila yang datang menghadap, mengabaikan
tatakrama dan peraturan protokoler dengan berkata, “Yang penting saya
menghormati dengan hati tanpa harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan.”
Karena itu, jangan mempersalahkan Tuhan apabila Dia tidak menghiraukan yang
datang tanpa menampakkan kebutuhan kepada-Nya atau tidak memuja dan memujinya
sepenuh hati. Juga tentu Maha-adil Allah ketika Dia tidak ingin mengenal dengan
rahmat dan kasih sayang-Nya orang-orang yang tidak pernah mengenal-Nya, yakni
mereka yang enggan memenuhi panggilan-Nya walau hanya lima kali sehari dan
dalam beberapa menit saja. Demikian, wa Allâh A’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar