"Republik Riuh Rendah"
Oleh: Budiarto Shambazy
Presiden Joko Widodo mengakui secara terbuka popularitas dia turun
saat usia pemerintahannya mencapai enam bulan. "Banyak yang sampaikan ke
saya, 'Pak, popularitasnya turun'. Memang policy kita di depan sakit
semua," kata Jokowi dalam acara silaturahim dengan pers di Auditorium TVRI,
Senayan, Jakarta, Senin (27/4) malam.
Jokowi mengatakan tidak takut popularitasnya turun karena
mengambil kebijakan tak populer jika itu menjamin kebaikan di kemudian hari.
"Perubahan butuh pil pahit, kesabaran, pengorbanan. Tapi, keyakinan itu
harus kita miliki. Perlu loncatan keberanian. Kalau itu diperlukan, akan saya
putuskan," katanya.
November 2014, di hadapan warga negara Indonesia di Melbourne,
Australia, Jokowi juga mengungkapkan popularitasnya turun setelah mengalihkan
subsidi BBM. Sambil bercanda, dia mengatakan, hal itu hanya akan berlangsung
sebulan.
"Popularitas turun gara-gara BBM, ya, itu risiko. Masa
pemimpin pinginnya populer terus? Kalau untuk kebaikan, saya enggak peduli
enggak populer. Paling sebulan. Setelah itu minta foto lagi. Pak selfie,
Pak," canda Jokowi disambut tawa hadirin.
Meski mengalami penurunan, sejumlah hasil jajak pendapat
membuktikan popularitas Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla masih tergolong
tinggi. Tidak perlu memperlakukan hasil jajak-jajak pendapat itu untuk
mengambil keputusan meskipun tetap dibutuhkan sebagai rujukan.
Jokowi sosok yang sejauh ini dapat dianggap jujur, sederhana, dan,
yang terpenting, bukan bagian bablasan Orde Baru. Persoalannya, mungkin
berhubung dia the new kid on the block, dia belum membuktikan diri sebagai
sosok kepala negara yang berani.
Namun, pada Jumat (1/5) kemarin, Jokowi tampak tegas meminta Polri
tidak menahan seorang penyidik KPK, Novel Baswedan.
Wajar setelah enam bulan muncul rasa kecewa terhadap sebuah
pemerintahan baru. Hal ini terjadi di negara mana pun di dunia. Kekecewaan itu
biasanya bersumber dari kegagalan pemerintah memenuhi janji-janji kampanye.
Tidak ada politisi yang tak berbohong dalam kampanye, mulai dari
ngibul sampai "kebohongan ringan" (white lies). Kedua jenis
kebohongan itu mungkin dilakukan semua politisi yang bertarung di pemilihan
eksekutif/legislatif dari pusat sampai daerah beberapa tahun terakhir ini,
khususnya di Pilpres 2014.
Keberadaan Anda selama lima menit di kotak suara bertujuan memilih
wakil Anda untuk periode lima tahun. Pasti tak sedikit dari Anda yang telah
menyesal memilih duet Jokowi-Kalla pada tahun lalu.
Kalau di Amerika Serikat ini namanya too dumb to be governed.
Celakanya, untuk kasus di Indonesia mungkin bisa ditambahi too dumb to
governed.
Intinya, tak ada politisi yang memenuhi 100 persen janji kampanye.
Di lain pihak, kekecewaan itu tidak bisa langsung dikompensasi dengan
pergantian legislatif/eksekutif di tengah jalan.
Belum lama ini kita menjadi tuan rumah peringatan 60 tahun
Konferensi Asia-Afrika di Jakarta dan Bandung. Dari sekarang ada baiknya
Presiden Jokowi mempersiapkan KTT Indonesia-Afrika untuk menggenjot ekspor kita
ke "benua masa depan" yang bakal menjadi pusat pertumbuhan ekonomi
tertinggi itu.
Jokowi juga sudah manggung di KTT APEC di Beijing, Tiongkok; KTT
G-20 di Melbourne, Australia; dan dua kali KTT ASEAN. Semua negara dan kawasan
respek terhadap Indonesia dan ingin menjalin hubungan erat dengan Jokowi.
Popularitas Jokowi pada hari-hari ini mungkin melambung karena
ketegasan melakukan eksekusi gelombang kedua terhadap delapan terpidana mati
perkara narkoba. Ini juga salah satu dari tiga tujuan Trisakti, yakni menjaga
kedaulatan politik dan hukum kita dari penyelundupan narkoba.
Oh ya, satu lagi pernyataan Jokowi tentang perlunya mengurangi
ketergantungan utang dari Bank Dunia, ADB, dan IMF. Bukankah ini juga merupakan
salah satu cita-cita Trisakti mengenai kemandirian ekonomi?
Jadi, sekali lagi, Jokowi sosok sederhana dan jujur yang tak
memiliki beban politik masa lalu. Mungkin saya dan Anda merasa lebih mampu
menjadi presiden, tetapi dia toh sudah dipilih mayoritas rakyat melalui proses
demokrasi.
Beberapa hari lalu, Jokowi meresmikan dimulainya pembangunan Jalan
Tol Trans-Sumatera. Ini sesuai dengan tagline "kerja, kerja, kerja".
Namun, tiba-tiba muncul lagi drama baru: penangkapan Novel
Baswedan. Kita memang "Republik Riuh Rendah".... []
KOMPAS, 2 Mei 2015
Budiarto Shambazy ; Wartawan
Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar