Serial
Kisruh KPK-Polri
Oleh: Moh
Mahfud MD
Ketika
Rabu, 18 Februari 2015, Presiden Jokowi memutuskan untuk mengajukan Badrodin
Haiti sebagai calon kepala Kepolisian Republik Indonesia (kapolri) dan
mengumumkan akan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) tentang Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
masyarakat menyambutnya dengan lega.
Keputusan
itu dipandang sebagai jalan tengah yang tepat dan bijak karena membatalkan
pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri, tetapi juga memberhentikan Abraham
Samad dan Bambang Widjojanto yang kemudian menggantikannya dengan pelaksana
tugas pimpinan KPK. Aspirasi dari pendukung Budi Gunawan dan pendukung
Abraham-Bambang sama-sama diperhatikan.
Meski
sudah pasti takbisa memuaskan semua orang, keputusan Presiden tersebut telah
menjadi jalan untuk mengakhiri kegaduhan yang menguntungkan para koruptor.
Kebijakan itu seharusnya mengakhiri ”perang” berseri antara KPK dan Polri
sebagai fakta yang tak bisa disembunyikan. Para pencinta negara menyambut baik
keputusan Presiden itu sebagai titik tolak untuk mengatur langkah baru yang
lebih sinergis memerangi korupsi. Namun harapan akan berakhirnya kisruh berseri
dalam lakon ”cicak-buaya” itu berlanjut.
Pasalnya
Polri terus melakukan proses hukum atas Abraham Samad dan Bambang Widjojanto
yang kemudian diteruskan dengan penersangkaan penyidik terbaik KPK Novel
Baswedan karena kasus penembakan pencuri sarang burung walet yang terjadi 11
tahun yang lalu di Bengkulu. Masyarakat pun banyak yang kemudian menganggap
Polri telah melakukan balas dendam melalui kriminalisasi.
Istilah
kriminalisasi itu sendiri mungkin kurang tepat karena kriminalisasi berarti
menjadikan seseorang masuk dalam proses hukum pidana, padahal tidak ada tindak
pidana yang dilakukannya. Faktanya, polisi mempunyai kasus yang nyata ada
terkait dengan Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan yang benar
atau tidaknya bisa diuji di peradilan pidana. Dengan fakta dan keyakinan Polri
itu, tentu tidak bisa dikatakan terjadi kriminalisasi.
Polri
sudah melakukan tugasnya sesuai dengan hukum. Meski demikian, jika kasus untuk
ketiga orang KPK itu dipandang secara jernih dan dikaitkan dengan
peristiwa-peristiwa yang mendahului dan mengiringinya, tidaklah terlalu salah
juga kalau ada yang mengatakan Polri melakukan balas dendam politik yang
kemudian ada yang menyebut melakukan kriminalisasi.
Pasalnya
kasus-kasus yang disangkakan kepada Abraham, Bambang, dan Novel adalah kasus
lama yang tiba-tiba dimunculkan kembali. Kasusnya pun, sepertinya, dulu tak
pernah dipersoalkan atau sudah pernah ditangani dan dianggap selesai. Tapi
kasus-kasus itu dimunculkan kembali setelah terjadi kisruh antara Polri dan KPK
setelah Budi Gunawan dijadikan tersangka dalam tindak pidana korupsi oleh KPK.
Dua hari
lalu (7 Mei 2015), saat memberi kuliah umum di UIN Malang, saya diminta oleh
seorang mahasiswa untuk membela KPK dari ancaman penghancuran. Ya, istilahnya
memang bikin bergidik: penghancuran. Saya katakan selama ini saya sudah membela
KPK. Bahkan sampai belasan kali saya membela KPK ketika diserang melalui
judicial review UU KPK di Mahkamah Konstitusi dan membela melalui cara-cara
lain.
Tapi
untuk kasus yang terakhir saya sulit menyusun logika dan menabrak nurani untuk
membela KPK. Sebab penersangkaan terhadap Budi Gunawan yang menjadi sumbu seri
keempat kisruh ini tidak dilakukan secara profesional. Menurut pemberitaan yang
tak pernah dibantah, dokumen penersangkaannya tidak lengkap, tak jelas kapan
dan siapa yang diperiksa, siapa penyidik yang menandatangani pemeriksaan.
Momentum dan nuansa penersangkaannya pun terasa politis.
Kalau itu
benar, sungguh hal itu telah melukai proses penegakan hukum dan merusak
reputasi KPK yang selama ini kita bela mati-matian. Ini telah mengempaskan
prestasi KPK yang selama ini kita banggakan. Perang melawan korupsi mengalami
kemunduran, para koruptor pun bertepuk riang. Yang perlu dilakukan sekarang
adalah membangun kembali KPK dan memberi dukungan kepada Taufiequrachman Ruki
dkk untuk melakukan pembenahan.
Mulai
sekarang harus dibangun hubungan tata kerja yang sinergis dan saling mendukung,
bukan saling menyerang, antara KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung),
untuk bersama-sama memerangi korupsi. Kita perlu kembali ke latar belakang
bahwa dulu KPK dibentuk karena Polri dan kejaksaan tidak optimal dalam
memerangi korupsi. Artinya kalau Polri dan Kejagung sudah bisa mengoptimalkan
fungsi dan perannya, KPK tak perlu dibebani tugas-tugas berat dan dijadikan
lembaga yang super bodi.
Polri dan
Kejagung harus menjadikan situasi seperti sekarang ini sebagai pelajaran dan
momentum untuk mengoptimalkan fungsi dan perannya melawan korupsi dengan
melakukan peran yang dulu dilakukan KPK sehingga didukung dan disenangi rakyat.
Polri harus galak dan tegas terhadap para koruptor tanpa kolusi. Kita meyakini
kejaksaan dan kepolisian bisa galak seperti KPK.
Buktinya
pada Selasa (5/5) yang lalu Polri bisa bertindak tegas ketika menjadikan DH
mantan pejabat tinggi di Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi (BP Migas) sebagai tersangka kasus korupsi. DH disangka mengorupsi uang
negara sebesar sekitar Rp2 triliun. Bareskrim Polri juga dengan gagah berani
menggeledah Kantor SKK Migas dan meneliti dokumen sampai pukul 22.00 malam.
Dulu KPK
disenangi rakyat karena sering melakukan langkah-langkah seperti itu. Inilah
momentum bagi kejaksaan dan Polri untuk melakukan hal-hal demikian sebanyak
mungkin karena masalah seperti itu masih banyak. Kalau kejaksaan dan Polri bisa
mengambil peran itu, fanatisme kepada KPK bisa dihentikan. Hanya penegakan
keadilan dan perang total terhadap korupsi yang bisa menyelamatkan negara dan
bangsa kita. []
KORAN
SINDO, 09 Mei 2015
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar