Selasa, 26 Mei 2015

Kang Sobary: Merdeka! Belum Merdeka! Beluuuuum...!



Merdeka! Belum Merdeka! Beluuuuum...!
Oleh: Mohamad Sobary

Pada masa pergerakan kemerdekaan, kata ”merdeka” terasa penuh pesona, berisi kekuatan magisme yang kental, dan impian suci, impian seluruh bangsa yang teraniaya, dan diberkati Tuhan sepenuhnya.

Impian itu tiba-tiba seperti berubah menjadi sejenis janji masa depan yang mengimbauimbau dari kegelapan yang samar-samar di mata, tapi begitu jelas di hati. Janji masa depan itu begitu pasti. Kata ”merdeka” pun menjadi ideologi pembebasan, yang menggerakkan segenap energi kehidupan, dan memperoleh rahmat Tuhan.

Tak mengherankan bila kita mengakui bahwa berkat rahmat Tuhanlah, kita merdeka. Kita bersyukur impian seluruh bangsa tercapai. Pada masa pergerakan, kata ”merdeka” nikmat didengar telinga, menggairahkan segenap cita rasa, dan suci, mungkin bahkan menjadi mantra suci. Ketika ke seluruh dunia Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat Indonesia, menyatakan kemerdekaan kita, dunia seperti diterjang sebuah ”goro-goro”.

Bumi gonjang, langit gonjing, dunia kaget Indonesia merdeka. Ada pula yang kaget mendengar nama Indonesia. Kita sendiri kaget dan bersyukur. Kita bersyukur karena berita mengagetkan itu sebenarnya sudah lama menjadi bagian dari hidup kita, aspirasi kita, perjuangan kita, pertaruhan hidup-mati kita. ”Merdeka atau mati”, tak punya alternatif lain.

Tak terdengar orang berteriak: merdeka, kaya, berpangkat. Hanya ada ”merdeka atau mati” tadi. ”Perang Sabil” dikumandangkan. Orang pun dengan sendirinya tak takut mati. Mati tak menjadi masalah asal negeri ini merdeka. Chairil Anwar melukiskan perasaan kecewa para pejuang yang sudah gugur, yang tak bisa berteriak ”Merdeka!” dan angkat senjata lagi karena ”kami mati muda”. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Tidak turut lagi meneriakkan kata ”Merdeka!” menjadi penyesalan. Para pejuang itu turut memberikan andil besar, dan dengan sendirinya memiliki pula saham besar di negeri yang telah mereka bikin merdeka. Di taman makam pahlawan banyak pejuang, pahlawan, dan mereka yang ber t a ruh nyawa untuk negeri kita ini. Tapi, pahlawan-pahlawan sejati banyak juga dikubur- kubur tak bernama dan tak dikenal.

Kepahlawanan mereka pun tak diakui. Para pendiri bangsa kita sungguh besar jasanya. Tapi, para penerusnya, yang dulu tak pernah tahu apa arti perang kemerdekaan, apa arti perjuangan, dan bertaruh nyawa untuk membikin negeri ini merdeka, apa namanya?

Ketika diberi jabatan dan kewenangan menyelenggarakan tata aturan pemerintahan yang memperlihatkan bahwa kita ini bangsa merdeka, mereka berebut kursi, tapi tak terlihat sama sekali semangat menata kehidupan sebuah bangsa merdeka. Mereka memiliki kedaulatan penuh, tapi kedaulatan itu tak dipergunakan sebagaimana mestinya.

Kedaulatan di tangannya harus disesuaikan dengan kepentingan politik global, terutama kepentingan negara-negara besar yang menjadi bos besar dalam percaturan global tadi. Kepada mereka itulah dipersembahkan segala apa yang dia punya. Mengabdi kepentingan global menjadi cita-cita suci dan semangat perjuangan untuk memenangkan citra bahwa dirinya demokratis, kawan sejati orang luar, disanjung dan dipuja oleh mereka, tapi kita sendiri dibikin telantar.

Kebijakannya membuat meriah pasar global dan sangat akomodatif pada modal global. Namanya disebut-sebut di pasaran bebas. Tapi, jangan salah, di antara para pelaku pasar global itu sendiri, biarpun dibikin beruntung, ada saja yang heran atau kaget mengapa ada pemimpin bangsa yang begitu tega menjual masa depan bangsanya sendiri pada ”kita” yaitu pemain utama pasar global tadi.

Bahkan ada juga yang meremehkannya biarpun mereka memperoleh untung besar karena kebijakannya. Orang itu disebutnya pengkhianat bagi bangsanya sendiri. Tentu saja. Orang lain dimuliakan, bangsanya sendiri dicekik lehernya. Segenap kebijakannya memiliki warna khas seperti itu.

Untuk sekadar contoh, UU Pertambangan, Pengelolaan Bisnis Minyak, dan Gas Bumi, UU Perbankan, UU Perkebunan, pemasaran produk pertanian kita, semua dikhianati demi mengabdi pasar global. Mengkhianati bangsa sendiri sekarang ini kelihatannya tak terlalu berdosa. Berkhianat bahkan disebut demokratis karena begitulah aturan yang dibuat secara global.

Kita dijajah secara global, dibohongi beramai- ramai, ditindas semena-mena oleh apa yang bernama global. Dan, pemimpin kita ledalede , tidak tegas, tidak jelas. Hanya kalau harga dirinya disentuh, barulah merasa terganggu. Situasi seperti itu harus diteruskan sekarang? Dan, kita harus mengikuti jejak rezim pemerintahan yang tak peduli pada bangsanya sendiri dan sebentar- sebentar mengiblat kepentingan negara-negara besar? Kita telah sesat di jalan.

Dalam masa sepuluh tahun, sebelum pemerintahan ini, begitu produktif menyusun UU, tak kurang dari 21 UU banyaknya, yang semuanya memastikan terjaminnya kepentingan asing, tanpa peduli kehancuran yang harus diterima bangsanya sendiri. Tak perlu disebut reformasi baru atau revolusi mental, dan revolusi lainnya, asal semua itu tak ditiru, tak dikembangkan, tak diteruskan, kita sudah selamat.

Kita tidak tersesat. Hanya jika kita bisa memastikan terputusnya pengabdian pada bangsa asing, artinya kita mengabdi kepada bangsa kita sendiri dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa raga kita, barulah kita layak berteriak merdeka. Hanya jika semua itu diakhiri, dan mengabdi bangsa sendiri dimulai, barulah kita layak menyebut diri kita demokrat. Itu pun boleh jadi belum tentu tepat.

Kalau kita berteriak merdeka, menganggap diri kita bangsa merdeka, mengira para penggede kita berjuang untuk bangsa, sebaiknya pelan-pelan saja. Teriak ”Merdeka!” itu harus diberi tekanan serbapenuh keraguan: betulkah kita merdeka. Tiap kata ”Merdeka!” haruslah diniatkan untuk menyatakan keragu-raguan yang jelas, apakah kita ini merdeka, apakah para pemimpin menghayati maknanya, dan apakah mereka bekerja untuk kita.

Pemerintah yang belum bisa memilih program yang tepat buat bangsanya sendiri, apa mulianya? Negeri agraris yang kebijakannya mematikan petani, yaitu petani garam, petani kopi, petani cengkeh, petani tembakau, petani teh, petani jeruk, petani pisang, petani apel, petani sayur, apa gunanya kebijakan macam itu? Apa cukup layak negeri yang dipimpin dengan gaya kepemimpinan seperti itu disebut negara merdeka?

Dulu, zaman Bung Karno, kita pernah merdeka, dan kita pernah bangga menjadi bangsa merdeka. Kita pernah punya harga diri. Kita pernah dihormati negara-negara baik dan dibenci negara-negara kolonialisme dan imperialisme. Di bawah pemerintahan yang takut dan hanya bisa membebek kepentingan asing, kita malu.

Kita tidak lagi merasa terhormat karena kita tidak merdeka. Jadi, kalau di suatu forum, ada yang memimpin kita supaya berteriak ”Merdeka!”, saya jawab: Belum. Kalau dia masih berteriak ”Merdeka!” saya jawab lagi: Belum. Kalau teriakannya lebih keras, lebih panjang: ”Merdeka!” saya jawab lebih panjang: beluuuuum. []

Koran SINDO, 23 Mei 2015
Mohamad Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar