Islam, Prostitusi, dan Pencegahan
AIDS
Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh
AIDS merupakan penyakit yang relatif baru dikenal oleh para ahlinya. Bahaya penyakit ini, seperti banyak dimuat media massa, sangat besar. Penderita penyakit itu kebanyakan berakhir dengan kematian, sebelum dokter sanggup mengobati. Belakangan, penyakit mematikan itu sangat tinggi tingkat penyebarannya. Sementara sarana penularan AIDS belum banyak diketahui secara jelas.
Mengetahui
cara penularan ini sebenarnya menjadi penting dan berpengaruh besar bagi
pencegahannya, selama pengobatan dan imunisasi secara medis belum mampu memberi
jawaban atas bahaya penyakit itu terhadap manusia. Dengan menghindari cara
penularan sejauh mungkin, penyakit AIDS diharapkan mampu dibendung.
Penularan
AIDS pada umumnya melalui hubungan seksual. Penderita AIDS, banyak terdapat
pada pria homoseks dan belum pernah ditemukan di kalangan wanita lesbian. Di
samping melalui hubungan seks, sebab lain adalah tranfusi darah, jarum suntik
yang telah digunakan pecandu narkotika dan sejenisnya, serta kehamilan atau
persalinan. Yang patut mendapat pembahasan dari dimensi Islam adalah soal
hubungan seksual, prostitusi dan kesehatan secara umum, kaitannya dengan
pencegahan penularan AIDS.
Syari'ah
Islam pada dasarnya mengatur hal ihwal manusia sebagai makhluk individual
maupun sosial dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia dan alam. Syari'ah
ini dalam konsep fiqih sosial dijabarkan dalam beberapa komponen.
Komponen-komponen itu meliputi; 'ibadah -formal (terikat oleh ketentuan
syarat dan rukun) dan non-formal (bebas dari ketentuan syarat dan rukun); mu'amalah,
berkaitan dengan hubungan antar manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup
jasmani; munakahah, tata cara pernikahan dan berkeluarga dengan segala
aspeknya; mu'asyarah, mengatur tata cara pergaulan manusia dalam
berbagai komunitas; jinayah, yang ada hubungannya dengan perilaku pidana
beserta sanksi-sanksinya; qadla', mengatur tata cara pengadilan dan
hukum acara sekaligus; terakhir jihad, berkaitan dengan pertahanan dan
keamanan.
***
Dalam
perspektif fiqih, persoalan AIDS akan ditinjau melalui pengaturan Islam
terhadap kesehatan secara umum, khususnya soal hubungan seksual dan prostitusi.
Manusua sendiri memang tidak dapat melepaskan diri dari tiga soal itu. Dalam
kerangka takdir -ketetapan Allah- manusia diletakkan pada suatu proses, dalam
keadaan sehat dan sakit, serta tahapan berikhtiyar memberi makna bagi cobaan
Allah dalam hidupnya.
Dengan
derajat yang berbeda-beda, semua orang memiliki pengertian tentang kesehatan
bagi diri dan keluarganya. Namun sering kali pandangan masyarakat tentang
kesehatan masih terlalu sempit dan terisolasi. Sebagian besar orang
beranggapan, seseorang itu sehat bila ia berada dalam keadaan tidak sakit dan
cacat secara fisik. Kesehatan dipandang sebagai sesuatu yang alami, akan
menimpa setiap orang, sehingga tak perlu dipermasalahkan lagi.
Orang
baru sadar akan pentingnya kesehatan, bila suatu saat dirinya atau anggota
keluarganya menderita sakit atau mendapat kecelakaan yang menyebabkan cacat.
Dengan kata lain, pengertian tentang kesehatan dipersempit sedemikian rupa,
menjadi hanya upaya mencari pengobatan terhadap penyakit yang sedang diderita.
Yang terjadi barulah kesadaran akan sakit dan berobat.
Kesehatan
juga diperlukan oleh banyak orang seca ra statis belaka. Jarang ada orang yang
secara sadar berpikir untuk menciptakan dirinya sehat dan secara antisipatif
menjauhkan diri dari penyakit. Kalau toh seseorang sadar akan hal itu,
tidak semua orang bisa melakukannya secara baik. Upaya-upaya untuk menangkal
timbulnya penyakit, atau melestarikan kesehatan dan meningkatkan derajat
kesehatan pada saat seseorang merasa sehat, kurang diperhatikan Kendatipun
masyarakat menyadari, kesehatan amat penting untuk menunjang ikhtiar mencapai
taraf kehidupan dan keberagamaan yang baik.
Dalam
pandangan yang sempit dan terisolasi, banyak orang tidak mengkaitkan aspek
kesehatan dengan berbagai aspek kehidupan yang lain. Kadang-kadang hal itu
hanya dikaitkan dengan aspek sosial ekonomi saja. Pemahaman agama Islam yang
menyangkut kesehatan kurang diaplikasikan atau direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Terjadilah
kesenjangan antara nilai ukhrawi dan duniawi. Sistem nilai ukhrowi yang diatur
oleh agama di satu sisi, terpisah dengan sistem nilai duniawi. Suatu contoh
sederhana, dalam promosi kesehatan mengenai kebersihan kurang atau tidak
dikaitkan dengan anjuran agama tentang al-nandhafah (kebersihan jasmani,
pakaian mau pun lingkungan), walaupun ia sebenarnya telah memahaminya.
Setiap
manusia yang lebih mulia dari sekian banyak makhluk Allah yang lain, telah
dibekali dua kekuatan sangat mendasar, sebagai sarana untuk mencapai puncak
tujuan hidupnya, sa'adatud darain (kebahagiann duniawi dan ukhrawi). Dua
kemampuan itu adalah quwwah nadzariyah (kekuatan berpikir) dan quwwah
'amaliyah (kekuatan fisik). Ini sebagai bekal untuk berikhtiar memenuhi
berbagai taklifat (tugas) yang diwajibkan Allah.
Dalam
kaitan memenuhi taklifat dan ikhtiar itu, aspek kesehatan dipandang sangat
penting, sebagai prasyarat yang harus dimiliki semna mukallaf. Kesehatan untuk
melestarikan dan meningkatkan kualitas dua kemampuan di atas, sehingga manusia
mampu berilmu dan beramal sebanyak-banyaknya.
Imam
al-Ghazali dalam kitab Ihya 'Ulumuddin juz II mengatakan, tujuan hidup bagi
orang-orang yang berakal adalah bertemu Allah Ta'ala di Dar al-Tsawab (surga),
dan tidak ada jalan lain untuk mencapai tujuan itu, kecuali dengan ilmu dan
amal. Dan ilmu serta amal tiada mungkin ditekuni atau dicapai tanpa kesehatan
dan keselamatan badan.
Islam
telah meletakkan bagi badan manusia, suatu tatanan syari'at khusus yang
mengatur pemeliharaan badan jasmani dari penyakit, karena eratnya hubungan
antara unsur rohani dan unsur jasmani. Dalam surat al-Baqarah ayat 247 Allah
berfirman, "Sesunggahnya Allah telah memilih Thalut dan memberikan
kepadanya dua kelebihan; keluasan ilmu dan kesempurnaan jasmani." Ini
tentu saja tidak dapat meninggalkan aspek kesehatan.
Islam juga
memperhatikan prinsip, memelihara kesehatan dan menangkal penyakit lebih baik
daripada mengobati penyakit yang sudah menjangkiti tubuh. Dalam hal ini di
dalam ajaran Islam ada empat pencegahan. Pertama, kebersihan (nadzafah)
yang tercermin dalam wudlu', mandi, siwak (menggosok gigi), mencuci pakaian,
memotong kuku dan rambut dan lain-lain.
Kedua,
pelarangan makanan dan minuman yang tidak baik atau merusak kesehatan. Ini
sudah ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 172-173 dan surat al-Ma'idah ayat
90. Dalam ayat 30 surat al-A'raaf Allah menegaskan, "Dan, makanlah
serta minumlah kalian, namun jangan melampaui batas". Batas kuantitas
mau pun batas kualitas dalam arti, keseimbangan antara kuantitas dan kualitas
makanan dan minuman yang diperlukan bagi setiap insan, menurut kandungan zat
dan mineral yang diperlukan untuk memelihara kesehatan.
Ketiga,
kesehatan umum. Dalam hal ini Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits riwayat
Imam Muslim, "Setiap penyakit itu ada obatnya, maka bila obat itu
menyentuh penyakit, ia akan menjadi sembuh dengan izin Allah". Dalam
Islam berlaku karantina demi kesehatan umum. Rasulullah bersabda pula dengan
riwayat ashhab al-sunan, "Manakala di satu daerah wabah
berjangkit, janganlah kalian masuk di dalamnya. Dan apabila berjangkit wabah di
satu daerah di mana kalian sedang ada di situ, janganlah kalian keluar dari
situ".
Bahkan
pencegahan penularan penyakit seperti itu juga berlaku bagi hewan selain
manusia, sebagaimana sabda Rasulullah riwayat Bukhori dan Muslim,
"Jaanganlah mendekat pemilik onta yang sakit pada pemilik onta yang sehat,
agar penyakit itu tidak terjangkiti". Yang keempat, olah raga (riyadlah).
Hal ini tercermin dalam tingkah laku shalat, puasa dan laranganmenggunakan
tenaga fisik melampaui batas maksimal.
Islam
juga mengenal konsep yang ditentang kesehatan. Di dalamnya tercakup pengertian sihhah
(kesehatan), ialah keadaan jasmani yang memungkinkan seluruh faal tubuh
manusia berjalan dengan baik dan normal. Di atas pengertian sihhah itu
ada pengertian 'afiyah, ialah keadaan yang lebih utama dan luas dari sihhah,
yang dampaknya menjangkau kebahagiaan manusia, di dunia dan akhirat kelak.
Rasulullah dalam hal itu bersabda dengan riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan
Al-Hakim, "Tidaklah berbahaya kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Dan
kesehatan bagi orang yang bertaqwa adalah lebih baik daripada kekayaan".
Dalam hadits lain riwayat An-Nasa'i beliau juga mengatakan, "Mohonllah
ampunan dan 'afiyah kepada Allah, karena tak seorangpun diberi sesuatu olehNya
yang lebih baik setelah keyakinan (keimanan), kecuali mu'afah ('afiyah)."
***
BAGAIMANA
Islam mengatur hubungan seksual yang sehat sebagai pencegahan dini terhadap
penularan AIDS? Sebab-sebab penularan AIDS antara lain melalui hubungan seks.
Islam mengklasifikasi hubungan seks dalam berbagai cara:
a) Antara suami istri (yang secara
legal sesuai dengan ketentuan lembaga pernikahan yang lazim).
b) Antara lelaki lain perempuan,
bukan suami-istri yang dilakukan secara syubhat. Misalnya seorang lelaki
dalam keadaan tertentu menyetubuhi wanita yang diduga isterinya, ternyata
bukan.
c) Antara lelaki dan wanita di luar
pernikahan, yang lazim disebut "kumpul kebo" mau pun perzinaan atau
prostitusi bebas.
d) Antara sesama lelaki yang sering
disebut homoseks, dengan cara memasukkan kelamin lelaki ke dalam dubur
sejenisnya, yang disebut liwath mau pun memasukkannya antara dua pangkal
paha sejenisnya, yang disebut mufakhodzah.
e) Ada juga yang dilakukan antara
sesama wanita lesbian, yang disebut musahaqoh.
f) Bahkan hubungan seks untuk
mencari nafsu kelezatan sering juga dilakukan tanpa hubungan dengan orang lain,
tetapi dengan tangan sendiri atau alat lain (onani) yang disebut istimna'.
g) Ada juga hubungan seks yang
dilakukan seseorang dengan hewan, yang disebut ityanul bahimah.
Hubungan
seks yang dilakukan dengan cara (a) dan (b) dalam Islam kiranya telah jelas
dari sisi hukumnya. Bahkan untuk yang pertama para pelakunya mendapat pahala.
Akan tetapi bila dilakukan lewat dubur, meskipun dengan isterinya sendiri, ada
beberapa pendapat ulama yang berselisih. Imam Syafi'i dan Abu Hanifah
mengharamkan berdasarkan sebuah hadits, "Maka janganlah kalian
menyetubuhi istrimu lewat duburnya". Imam Malik berpendapat boleh,
sama halnya pada qubulnya. Sedangkan dengan cara (c) akan dibahas tersendiri
pada bab berikutnya.
Adapun
hubungan seks antara sesama lelaki dengan cara liwath mau pun mufakhodzah,
para ulama sepakat hukumnya haram, bahkan dianggap suatu perilaku yang sangat
jijik, keji dan melebihi hewan. Hanya saja dalam menentukan sanksinya ada tiga
pendapat. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal memberikan sanksi dibunuh, bagi
pelaku mau pun lawannya. Dasar hukumnya adalah hadits riwayat Imam Khomsah kecuali
Nasa'i, "Bila kalian menemukan seseorang mengerjakan pekerjaan kaum
Luth (yaitu liwath), maka bunuhlah yang pelaku dan pelakunya".
Golongan
Syafi'iyah berpendapat, hukumannya sama dengan zina, berdasar hadits, "Apabila
ada lelaki menyetubuhi sesama lelaki, maka keduanya adalah berbuat zina".
Pendapat golongan Hanifah, bahwa hal itu tidak sama dengan zina. Sanksinya
cukup dengan ta'zir.
Hubungan
seks antara sesama wanita yang disebut muzahaqah atau dengan hewan, para
ulama sepakat pula keharamannya dan sepakat mengenai sanksinya, cukup dengan ta'zir.
Sedangkan onani (istimna'), Imam Syafi'i berpendapat bahwa hukumnya
haram. Imam Al-Ala' bin Ziyad berpendapat, hal itu boleh. Sedangkan Ibnu Abbas
mengatakan, hal itu lebih baik daripada zina.
Pada
dasarnya, para ulama yang berpendapat haram melakukan hubungan seks antara
sesama lelaki atau sesama perempuan atau yang tidak lazim dan tidak wajar,
bertolak dari firman Allah surat Al-Mu'minun, "Dan orang-Orang yang
memelihara farjinya kecuali untuk isterinya atau budaknya, maka mereka tiada
tercela. Barangsiapa melakukan di luar hal tersebut, maka mereka itulah
orang-orang yang berdosa dan melampaui batas".
Kebutuhan
biologis manusia berupa kepuasan seksual, bagi Islam bukan sekedar watak
manusiawi yang tanpa makna. Sebagai makhluk individu maupun sosial, manusia
diciptakan Allah dilengkapi oleh dua kekuatan mendasar, yaitu kekuatan berfikir
(quwwah nadhariyah) dan kekuatan fisik (quwwah 'amaliyah). Allah
juga memberikan berbagai taklifat (tanggung jawab), agar manusia mampu
meningkatkan kualitas dan kesempurnan hidupnya. Dalam hal ini, manusia bukan
saja menghadapi tuntutan rasio berupa ilmu, atau tuntutan fisik berupa
pemenuhan sandang, papan dan pangan. Ada juga tuntutan kesehatan jasmani dan
rohani.
Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak dapat menghindari pergaulan sesama. Ia punya kebebasan
bergaul dan memasuki berbagai komunitas yang beragam latar belakangnya. Namun
kebebasan itu tidak selamanya absolut. Tentu ada batas-batas tertentu yang
secara normatif disetujui oleh masyarakat mau pun ajaran agama yang ia yakini
kebenarannya. Tanpa batasan itu, ia akan kehilangan kesempurnaan dan
kemuliannnya, karena ia akan terjebak pada kebejatan moral yang tidak mustahil
merusak jasmani.
Kebebasan
yang dilakukan secara absolut, sering diterapkan orang pada kebebasan bergaul
antara lelaki dan wanita. Memang pada komunitas tertentu, hal itu masih
bernilai positif. Akan tetapi bila sudah meningkat pada kebebasan hubungan
seksual, sadar atau tidak hal itu mengakibatkan perilaku yang abnormal, dari
pandangan sosial mau pun agama. Akibat lebih jauh adalah timbulnya kerusakan
moral dan kehormatan yang tidak jarang mengakibatkan kerusakan jasmani.
Berjangkitnya penyakit kelamin seperti AIDS, lahir dari kebabasan seksual,
tanpa kontrol terhadap kebersihan lawan seks.
***
Prostitusi
atau perzinaan menurut pengertian masyarakat luas adalah persenggamaan antara
pria dan wanita tanpa terikat oleh piagam pernikahan yang sah. Perbuatan ini
dipandang rendah dari sudut moral dan akhlak, dosa menurut agama, tercela dan
jijik menurut penilaian masyakat di Indonesia. Akan tetapi belakangan,
prostitusi semakin dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa. Bahkan ironisnya
ada yang beranggapan, prostitusi adalah salah satu profesi, lahan bisnis untuk
tujuan ekonomi.
Pengertian
zina menurut Islam, seperti dijabarkan dalam fiqih, ada tiga pendapat:
1. Menurut Syafi'iyah, zina adalah
perbuatan lelaki memasukkan penisnya ke dalam liang vagina wanita lain (bukan
isterinya atau budaknya) tanpa syubhat.
2. Menurut Malikiyah, zina adalah
perbuatan lelaki menyenggamai wanita lain pada vagina atau duburnya tanpa
syubhat.
3. Menurut Hanafiyah, ia adalah
persenggamaan antara lelaki dan wanita lain di vaginanya, bukan budaknya dan
tanpa syubhat.
Pandangan
Islam tentang zina dan prostitusi sudah dimaklumi, bukan saja oleh kalangan
Islam sendiri, tapi juga oleh masyarakat luas yang berlainan agama. Di samping
hukumnya haram dan termasuk dosa besar, Islam memandang perbuatan itu sebagai
tindakan tercela dan punya sanksi berat.
Islam
tidak membedakan, apakah tindakan zina dilakukan atas dasar suka sama suka,
paksaan, oleh bujangan, suami atau isteri. Tidak beda pula, apakah ada tuntutan
ke pengadilan atau tidak, semuanya dipandang sebagai perbuatan zina.
Begitu
besarnya bahaya zina bagi pelakunya sendiri mau pun masyarakat, A1-Qur'an
menguraikan beberapa hukum dan larangan yang berkaitan dengan zina, antara
lain:
1. Larangan melakukannya.
2. Larangan mendekatinya.
3. Larangan menikahi wanita pezina
kecuali bagi lelaki pezina atau musyrik.
4. Diberlakukannya li’an.
5. Mendapat kemarahan Allah.
6. Mendapat laknat Allah.
7. Melakukan dosa besar.
8. Dilipatgandakan azabnya.
9. Mendapat had 100 kali.
10. Diasingkan 1 (satu) tahun.
11. Dianggap fakhisyah (perbuatan jijik).
12. Dan lain-lain.
***
Upaya
pelarangan zina dan kebebasan seksual lainnya, dengan alasan penyakit jasmani
mau pun rohani, sebelum ditemukannya penyakit AIDS, sudah cukup lama dilakukan.
Pendekatan yang sering diupayakan masih bersifat simtomatif atau hanya
mengendorkan sementara saja. Pendekatan kausatif dengan menelusuri latar
belakang pelakunya, belum banyak dilakukan. Padahal pendekatan terakhir itu,
dengan menepis sebab-sebab yang mengakibatkan timbulnya perbuatan zina dan
kebebasan seks, merupakan kunci utama untuk mengatasi hal itu.
Islam
melalui konsep fiqih mau pun petunjuk ayat Al-Qur'an dan Hadits telah
memberikan petunjuk mengenai langkah-langkah menghindari tindakan amoral itu
lebih dini.
Dalam hal
pergaulan pria dan wanita, ajaran Islam membedakan antara status mahrom dan
bukan mahrom. Bagi pria dengan wanita bukan mahrom, tidak diperkenankan
memandangi, apalagi menyentuh dan meraba, tanpa tutup atau sarung tangan.
Kholwah menyendiri berduaan, antara dua jenis kelamin bukan mahrom juga
dilarang.
Aurat
wanita di hadapan lelaki bukan mahrom diatur begitu rupa, meliputi seluruh
tubuhnya. Kecuali dalam keadaan tertentu, mereka diperkenankan melihat atau
meraba. Dalam bepergian pun, wanita harus didampingi mahram (suami, misalnya)
atau minimal empat orang wanita yang dipercaya, bila dikhawatirkan ada fitnah.
Bagi
wanita, tidak boleh taharruj (berpakaian dan berperilaku merangsang). Bahkan
lelaki-perempuan sesama mahram sejak umur menjelang dewasa, sudah dianjurkan
agar tdak tidur di satu tempat. Ketentuan-ketentuan ini, menunjukkan betapa
jeli ajaran Islam berupaya menghindarkan sejauh dan sedini mungkin, perbuatan
zina, demi pertimbangan moral mau pun kesehatan. Dalam masa penularan AIDS yang
makin mengkhawatirkan, ajaran-ajaran itu patut dipertimbangkan. []
*)
Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta:
LKiS). Judul asli "AIDS dan Prostitusi dari Dimensi Agama
Islam".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar