Kamis, 21 Mei 2015

BamSoet: Rekayasa Konflik pada Pilkada Serentak



Rekayasa Konflik pada Pilkada Serentak
Oleh: Bambang Soesatyo

KETIDAKPASTIAN sudah membayangi rencana pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015. Pesta demokrasi tingkat daerah ini belum tentu berjalan mulus karena sudah dihantui konflik akar rumput.

Kemunculan potensi konflik itu karena ada peraturan yang mendiskreditkan partai politik (parpol) yang sedang dilanda konflik. Pelaksanaan pilkada serentak dijadwalkan 9 Desember 2015. Hingga pertengahan Mei 2015, masih terbentang sejumlah kerumitan persoalan.

Padahal mulai 26 Juli 2015 proses pendaftaran calon peserta pilkada sudah dimulai. KPU sudah merancang peraturan KPU (PKPU) tentang syarat dan tata cara pendaftaran calon peserta. Draf PKPU tentang pencalonan inilah yang belum bisa disepakati.

Sebelumnya, KPU mengumumkan draf PKPU yang mensyaratkan parpol yang bersengketa di pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau sudah islah sebelum pendaftaran pilkada. Namun, DPR meminta KPU menyertakan putusan sementara pengadilan sebagai syarat mengikuti pilkada.

Permintaan DPR ini dikemukakan dalam rapim DPR, Komisi II DPR dengan KPU dan Kemendagri Senin (4/5). Permintaan ini sejalan dengan rekomendasi Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR. Panja mengeluarkan tiga rekomendasi kepada KPU dalam membuat PKPU tentang pencalonan kepala daerah (KDH) bagi parpol yang bersengketa.

Pertama; KPU berkoordinasi dengan Kemenkumham untuk memberikan salinan SK DPP partai yang mendapatkan pengesahan. Jika SK itu bermasalah karena ada gugatan di pengadilan maka KPU menunggu putusan inkrach pengadilan. Kedua; mendorong partai yang bersengketa untuk islah.

Ketiga; bila sampai batas waktu pendaftaran belum juga islah, yang digunakan sebagai pijakan adalah putusan terakhir dari pengadilan. Namun, KPU sudah menunjukkan kecenderungan hanya menerima kepengurusan yang mempunyai keputusan hukum inkrach dari pengadilan. Jika tidak tercapai sampai pendaftaran, KPU menolak dua kubu kepengurusan di parpol tersebut.

Mengabaikan Rekomendasi

PKPU tentang pencalonan itu tentu sangat mengecewakan mengingat KPU berarti melakukan pelecehan atau contempt of parliament. Pasalnya, KPU telah mengabaikan rekomendasi Panja yang disetujui dalam sidang paripurna. Dari rekomendasi Panja itu, sangat jelas bahwa DPR telah memberikan jalan keluar kepada KPU dalam menghadapi konflik parpol.

DPR pada prinsipnya menghendaki seluruh parpol peserta Pemilu 2014 harus ikut pilkada. Karena itulah DPR merekomendasikan tiga poin tersebut. Andai KPU menolak, DPR akan bertindak sesuai mekanisme yang diatur dalam UU MD3.

KPU tidak boleh berpolitik dan melakukan tindakan pesanan kelompok tertentu namun harus berpijak pada UU. Tidak mengherankan jika mayoritas fraksi di DPR tidak akan tinggal diam menyikapi kecerobohan KPU itu. Salah satu agenda yang akan disiapkan adalah meminta BPK mengaudit investigasi atas penggunaan anggaran pemilu 2014 dan persiapan pilkada serentak 2015 dan 2016.

Mayoritas fraksi DPR pun mewacanakan revisi terbatas terhadap UU Pilkada dan UU Parpol. Rencananya, pembahasan revisi akan dimulai setelah masa sidang IV DPR, 18 Mei 2015. Adapun Fraksi PPP dan Fraksi PDIP menolak wacana revisi. Fraksi-fraksi DPR menilai KPU telah memaksakan kehendak, dan juga mendiskreditkan parpol yang tengah dilanda konflik.

Bila massa parpol merasa didiskreditkan karena tidak boleh mengikuti Pilkada 2015, beresiko menimbulkan gejolak. Kemarahan basis massa parpol di setiap daerah dikhawatirkan menimbulkan ekses dalam bentuk tindakan anarkis.

Kearifan dan kehati-hatian KPU mempersiapkan pilkada serentak 2015 menjadi faktor signifikan yang menentukan kondusif tidaknya jagat perpolitikan nasional mulai akhir Juli hingga akhir 2015. Indikatornya akan terlihat pada paruh kedua Mei 2015, ketika pemerintah harus menyikapi wacana revisi terbatas terhadap UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik.

Sikap awal pemerintah sudah diperlihatkan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo yang tidak setuju dengan wacana revisi terbatas itu, dan justru menyarankan KPU berkonsultasi ke MA, jika masalahnya hanya terkait syarat parpol yang tengah bersengketa internal dalam mengajukan pasangan calon.

Opsi yang ditawarkan Mendagri adalah KPU bisa merevisi tahapan dengan memundurkan pencalonan, dan memangkas jadwal kampanye dari 3 bulan menjadi 2 bulan. Bagi Mendagri, revisi tahapan Pilkada cukup efisien dan efektif, serta bisa meminimalisasi problem hukum serta risiko konflik horizontal.

Faktanya, draf PKPU tentang pencalonan KDH itu sudah mengeskalasi sengketa internal Golkar. Menjadikan SK Menkumham sebagai pijakan, kubu Munas Ancol pimpinan Agung Laksono mengklaim paling berhak mengikuti pilkada. Padahal SK itu belum berlaku (ditunda) karena ada putusan sela PTUN. Klaim Agung Laksono cs itu pun sudah menimbulkan ekses.

Ada laporan dari sejumlah daerah mengenai aktivitas tercela beberapa elite Partai Golkar. Kepada bakal calon peserta pemilihan KDH, elite itu menawarkan rekomendasi partai dengan meminta imbalan. Padahal, kebijakan Partai Golkar sejak kepemimpinan Jusuf Kalla hingga Aburizal Bakrie (ARB) saat ini melarang pungutan atau mahar bagi calon peserta pemilihan KDH. []

SUARA MERDEKA, 20 Mei 2015
Bambang Soesatyo, Sekretaris Fraksi Partai Golkar, anggota Komisi III DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar