Rekayasa Konflik pada Pilkada Serentak
Oleh: Bambang Soesatyo
KETIDAKPASTIAN sudah membayangi rencana pelaksanaan pilkada serentak
tahun 2015. Pesta demokrasi tingkat daerah ini belum tentu berjalan mulus
karena sudah dihantui konflik akar rumput.
Kemunculan potensi konflik itu karena ada peraturan yang
mendiskreditkan partai politik (parpol) yang sedang dilanda konflik.
Pelaksanaan pilkada serentak dijadwalkan 9 Desember 2015. Hingga pertengahan
Mei 2015, masih terbentang sejumlah kerumitan persoalan.
Padahal mulai 26 Juli 2015 proses pendaftaran calon peserta
pilkada sudah dimulai. KPU sudah merancang peraturan KPU (PKPU) tentang syarat
dan tata cara pendaftaran calon peserta. Draf PKPU tentang pencalonan inilah
yang belum bisa disepakati.
Sebelumnya, KPU mengumumkan draf PKPU yang mensyaratkan parpol
yang bersengketa di pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau
sudah islah sebelum pendaftaran pilkada. Namun, DPR meminta KPU menyertakan
putusan sementara pengadilan sebagai syarat mengikuti pilkada.
Permintaan DPR ini dikemukakan dalam rapim DPR, Komisi II DPR
dengan KPU dan Kemendagri Senin (4/5). Permintaan ini sejalan dengan
rekomendasi Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR. Panja mengeluarkan tiga
rekomendasi kepada KPU dalam membuat PKPU tentang pencalonan kepala daerah
(KDH) bagi parpol yang bersengketa.
Pertama; KPU berkoordinasi dengan Kemenkumham untuk memberikan
salinan SK DPP partai yang mendapatkan pengesahan. Jika SK itu bermasalah
karena ada gugatan di pengadilan maka KPU menunggu putusan inkrach pengadilan.
Kedua; mendorong partai yang bersengketa untuk islah.
Ketiga; bila sampai batas waktu pendaftaran belum juga islah, yang
digunakan sebagai pijakan adalah putusan terakhir dari pengadilan. Namun, KPU
sudah menunjukkan kecenderungan hanya menerima kepengurusan yang mempunyai
keputusan hukum inkrach dari pengadilan. Jika tidak tercapai sampai
pendaftaran, KPU menolak dua kubu kepengurusan di parpol tersebut.
Mengabaikan Rekomendasi
PKPU tentang pencalonan itu tentu sangat mengecewakan mengingat
KPU berarti melakukan pelecehan atau contempt of parliament. Pasalnya, KPU telah
mengabaikan rekomendasi Panja yang disetujui dalam sidang paripurna. Dari
rekomendasi Panja itu, sangat jelas bahwa DPR telah memberikan jalan keluar
kepada KPU dalam menghadapi konflik parpol.
DPR pada prinsipnya menghendaki seluruh parpol peserta Pemilu 2014
harus ikut pilkada. Karena itulah DPR merekomendasikan tiga poin tersebut.
Andai KPU menolak, DPR akan bertindak sesuai mekanisme yang diatur dalam UU
MD3.
KPU tidak boleh berpolitik dan melakukan tindakan pesanan kelompok
tertentu namun harus berpijak pada UU. Tidak mengherankan jika mayoritas fraksi
di DPR tidak akan tinggal diam menyikapi kecerobohan KPU itu. Salah satu agenda
yang akan disiapkan adalah meminta BPK mengaudit investigasi atas penggunaan
anggaran pemilu 2014 dan persiapan pilkada serentak 2015 dan 2016.
Mayoritas fraksi DPR pun mewacanakan revisi terbatas terhadap UU
Pilkada dan UU Parpol. Rencananya, pembahasan revisi akan dimulai setelah masa
sidang IV DPR, 18 Mei 2015. Adapun Fraksi PPP dan Fraksi PDIP menolak wacana
revisi. Fraksi-fraksi DPR menilai KPU telah memaksakan kehendak, dan juga
mendiskreditkan parpol yang tengah dilanda konflik.
Bila massa parpol merasa didiskreditkan karena tidak boleh
mengikuti Pilkada 2015, beresiko menimbulkan gejolak. Kemarahan basis massa
parpol di setiap daerah dikhawatirkan menimbulkan ekses dalam bentuk tindakan
anarkis.
Kearifan dan kehati-hatian KPU mempersiapkan pilkada serentak 2015
menjadi faktor signifikan yang menentukan kondusif tidaknya jagat perpolitikan
nasional mulai akhir Juli hingga akhir 2015. Indikatornya akan terlihat pada
paruh kedua Mei 2015, ketika pemerintah harus menyikapi wacana revisi terbatas
terhadap UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota,
serta UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik.
Sikap awal pemerintah sudah diperlihatkan oleh Mendagri Tjahjo
Kumolo yang tidak setuju dengan wacana revisi terbatas itu, dan justru
menyarankan KPU berkonsultasi ke MA, jika masalahnya hanya terkait syarat
parpol yang tengah bersengketa internal dalam mengajukan pasangan calon.
Opsi yang ditawarkan Mendagri adalah KPU bisa merevisi tahapan
dengan memundurkan pencalonan, dan memangkas jadwal kampanye dari 3 bulan
menjadi 2 bulan. Bagi Mendagri, revisi tahapan Pilkada cukup efisien dan
efektif, serta bisa meminimalisasi problem hukum serta risiko konflik
horizontal.
Faktanya, draf PKPU tentang pencalonan KDH itu sudah mengeskalasi
sengketa internal Golkar. Menjadikan SK Menkumham sebagai pijakan, kubu Munas
Ancol pimpinan Agung Laksono mengklaim paling berhak mengikuti pilkada. Padahal
SK itu belum berlaku (ditunda) karena ada putusan sela PTUN. Klaim Agung
Laksono cs itu pun sudah menimbulkan ekses.
Ada laporan dari sejumlah daerah mengenai aktivitas tercela
beberapa elite Partai Golkar. Kepada bakal calon peserta pemilihan KDH, elite
itu menawarkan rekomendasi partai dengan meminta imbalan. Padahal, kebijakan
Partai Golkar sejak kepemimpinan Jusuf Kalla hingga Aburizal Bakrie (ARB) saat
ini melarang pungutan atau mahar bagi calon peserta pemilihan KDH. []
SUARA MERDEKA, 20 Mei 2015
Bambang Soesatyo, Sekretaris Fraksi Partai Golkar, anggota Komisi
III DPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar