Muallim Syafi'i dan Kitab
Terjemahan
Matahari dipaksa
berkemas oleh petang. Satu keluarga kecil petani Tebet-Jakarta Selatan, di sela
kesibukan matahari, beriringan membelah hamparan sawah. Mereka meluncur tanpa
sebuah kesulitan yang penting.
Luas sawah yang
membuat putus asa para pemantau, tetap memeluk tepi sebagai nasib. Apa maunya
sawah yang tidak bertepi? Lebih baik ia gulung tikar ganti profesi menjadi
cakrawala keheningan.
Sementara di satu
sudut sawah dua jejaka entah keturunan siapa menghalau kawanan kerbau yang sebentar
sekali mogok berjalan. Tanpa pengalaman bergaul dengan hewan bau khas lumpur
sawah itu, keduanya akan duduk frustasi menghitung langkah sang surya. Apa yang
bisa dilakukan kalau kerbau mogok jalan lalu menegangkan otot pada empat
kakinya di muka bumi? Artinya, mereka perlu memutar jalan untuk menaklukkan
kerbau. Sedangkan mendorong kinerja perangkat kelurahan selalu ada jalan
memutar, apalagi mendorong kerbau yang mogok.
Dengan kesabaran
tiada tara, keduanya memandu kerbau masuk keluar kandang. Sabar bagi keduanya
mengalahkan resep penyakit kulit yang diteriakkan tukang obat di pasar. Karena,
menghadapi kerbau tidak serupa dengan mengatasi kudis, kurap, atau panau baik
yang menjamur tahunan maupun baru berbulan madu.
Di sudut jalan
pertemuan sawah, terdengar mu'allim Abdullah Syafi‘i mengajar para santrinya.
Kalau dengar mu'allim Abdullah Syafi‘i mengeluarkan suara halilintar, itu bukan
seperti barang baru di toko. Karena, mu'allim Abdullah Syafi‘I hampir setiap
hari mengeluarkan suara kuat seakan tenggorokan yang hampir ikut keluar.
Tetapi sore itu cukup
istimewa. Persis seperti kampung Bali Matraman yang dimasuki telepon yang
terhitung langka di tahun 1960-an dan tahun 2000-an. Sore ini, ia tidak hanya
main bentak. Mu'allim Abdullah Syafi‘i juga pakai acara banting-bantingan kitab
segala. Membanting kitab bagi seorang guru Betawi, perkara langka dalam kurun
satu abad sekalipun.
Apa sebab mu'allim
Abdullah Syafi‘i banting-banting kitab di hadapan santrinya. Banting kitab bagi
kalangan mu'allim, sama bahayanya kalau si mu'allim membanting kartu domino
atau remi di sudut pasar. Mu'allim Abdullah Syafi‘i membanting kitab
Riyadlussholihin versi terjemahan.
Ia marah bukan
lantaran kitabnya, tetapi lantaran menemukan kitab terjemahan itu di atas lekar
salah seorang santrinya.
“Lu bodo' lantaran
ini (kitab terjemahan). Lu itu santri, paham kagak lu! Kitab beginian cuma
pantas buat orang umum, bukan spesialis kayak lu!” bentak Abdullah Syafi‘i
dengan mata melotot.
Mendengar bentakan
mu'allimnya, santri tersebut hanya terdiam menyadari kesalahannya. Menurut
pemahaman santri pada umumnya, mu'allim punya pandangan yang jauh ke depan dan
mengetahui apa yang terbaik bagi santrinya. Apa jadinya seorang santri kalau
terus menggunakan kitab terjemahan? Selain tidak mengerti kitab lain yang belum
diterjemahkan, ia pun tidak mengerti maksud pasti isi kitab tersebut.
Cerita Singkat
KH Abdullah Syafi’i
yang lazim dipanggil mu'allim Syafi'i terlahir pada 10 Agustus 1910 di
Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan. Bapaknya bernama Syafi‘i bin Sairan,
pedagang buah-buahan. Sementara ibunya bernama Nona binti Sya‘ari. Keduanya
melahirkan Abdullah, Ruqoyyah, dan Aminah.
Abdullah muda
perintis perguruan As-Syafi‘iyah Jakarta, menikahi Siti Rogayah, puteri KH
Ahmad Mukhtar. Keduanya dikaruniai lima anak; Muhibbah, Tuty Alawiyah, Abdur
Rasyid, Abdul Hakim, dan Ida Farida.
Ia yang lazim
dipanggil ‘Dulloh’ pernah mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat, SR selama dua
tahun. Pada saat bersamaan, Dulloh berguru agama kepada banyak ustaz, guru, dan
habib. Guru-gurunya antara lain adalah mualim Mushonif, guru Abdul Majid, guru
Marzuki, habib Ali bin Husein Al Attas, habib Alwi Al-Haddad, habib Salim bin
Jindan, guru Mansur, habib Ali Kwitang. Ia berjasa besar dalam pengembangan
agama Islam di tanah Jakarta. Dakwahnya berkembang pesat. Ia dikenal sebagai
penceramah andal. Dakwahnya ditunjang oleh Radio As-Syafiyah stasiun radio yang
didirikannya.
Selain berdakwah, ia
dikenal sebagai penulis yang produktif mulai dari kitab berbahasa Arab sampai
berbahasa Melayu Jakarta. Ia wafat 3 September 1985. mu'allim Syafi’i
dimakamkan di kompleks Perguruan Islam As-Syafi ‘iyah, Jatiwaringin, Pondok
Gede. []
(Alhafiz Kurniawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar