The Geography of Thought
Oleh: Komaruddin Hidayat
Pemikiran seseorang dan masyarakat sangat dipengaruhi faktor
geografis dan sejarahnya. Masyarakat yang hidup di wilayah maritim dan
pertanian yang subur seperti Nusantara pasti berbeda cara berpikirnya dengan
masyarakat Timur Tengah yang hidup di padang pasir tandus.
Juga berbeda dari masyarakat kontinental Eropa. Begitu pun sejarah
masa lalunya akan memengaruhi karakternya, misalnya antara bangsa penjajah dan
bekas jajahannya. Meskipun sains, teknologi, dan beberapa agama besar merupakan
kekuatan dan ideologi yang mengglobal, cara pandang terhadap dunia tetaplah
plural. Makanya tidak terlalu salah ketika Huntington menulis buku Clash of
Civilizations.
Ketika penduduk bumi semakin berlipat jumlahnya, keragaman budaya
dan agama kian mengemuka yang pada urutannya potensial memunculkan benturan.
Terlebih lagi ketika benturan itu dimotori agenda perebutan sumber daya alam.
Judul di atas sesungguhnya merupakan judul buku yang ditulis oleh Richard E
Nisbett, The Geography of Thought, How Asians and Westerners Think Differently
and Why (2003).
Sebagai ilmuwan dalam bidang psikologi sosial, Nisbett melihat
perbedaan yang amat mencolok dalam cara berpikir dan berperilaku antara
masyarakat Barat dan Timur. Dalam kajiannya, Barat ditekankan pada Eropa yang
berakar pada filsafat Yunani, terutama Aristoteles, sedangkan yang dimaksud
Timur adalah China, Jepang, dan Korea yang berakar kuat pada Taoisme,
Konfusianisme, dan Buddhisme.
Mengenai konsep waktu, Barat memandangnya sebagai garis lurus
mengarah ke depan, sedangkan bagi Timur, waktu merupakan garis lingkar
(circle). Barat lebih fokus untuk melihatdan mempelajari benda sebagai objek
yang atomik, berdiri sendiri, untuk dipelajari karakter dangunanya, lalu dibuat
kategorisasi dan abstraksi sehingga mempercepat inovasi dan berkembangnya sains
modern.
Iptek modern berkembang cepat berkat kemajuan riset secara
objektif terhadap objek alam. Sedemikian besar perhatiannya pada bendabenda,
rata-rata anak kecil di Barat lebih banyak mengenal kata benda. Ini kebalikan
dari tradisi Timur di mana orang tua lebih banyak menekankan kata kerja pada
anak-anaknya ketimbang mengenal benda. Dalam masyarakat Barat apa yang disebut
personal agency sangat menonjol sehingga mendorong paham individualisme.
Makanya ”aku” ditulis dengan huruf besar ”I”. The Greek sense of agency fueled
of tradition of debate, tulis Nisbett.
Debat, kompetisi, penghargaan pada kemerdekaan individu serta
pluralisme sangat menonjol di Barat. Kata school (sekolah) berasal dari bahasa
Yunani shole yang artinya leisure, yaitu kemerdekaan dan antusiasme untuk
menggali ilmu pengetahuan. Tradisi riset dan debat sangat mengakar di Yunani
Kuno yang diwariskan kepada masyarakat Barat dan terjaga sampai hari ini.
Bagaimana halnya dengan Timur? Kebalikan dari personal agency, di China yang
ditekankan adalah collective agency untuk menjaga harmoni.
Every Chinese was first and foremost a member of a collective, or
rather of several collectives – the clan, the village, and especially the
family, kata Nisbett. Pengetahuan dan sikap yang berkaitan dengan self-control
agar diterima lingkungannya sangat penting dalam budaya China. Kepuasan dan
kebahagiaan hidup bagi orang Timur bukannya meraih prestasi secara distingtif
dan individualistis, melainkan keberhasilan dalam membangun jejaring sosial
untuk maju bersama.
Komunalisme-sosialisme merupakan mantra bagi masyarakat China.
Makanya musik di China terkesan monofonik, berbeda dari Barat yang polifonik.
Di Barat relasi antara aku (I) dan objek (benda) lebih langsung. Sementara di
Timur konsep kami (we) lebih menonjol sehingga dalam formula bahasa, kata kerja
menjadi signifikan, yaitu bagaimana seseorang mesti bersikap dalam konteks
sosial. For Westerners, it is the self who does the acting; for Easterners,
action is something that it is undertaken in concert with others, tulis
Nisbett.
Ketika terjadi konflik, misalnya, di Barat bisa berlangsung
frontal dalam panggung pengadilan sehingga berakhir menang-kalah (a winner and
a loser). Tapi di Timur yang dicari adalah intermediasi dan kompromi untuk
mengurangi permusuhan. Samar-samar, kabur, tidak jelas, siapa yang menang dan
kalah. Siapa yang benar dan siapa yang salah.
Ketika membaca buku yang tengah ulas ini, pikiran saya bertanya,
bagaimana dengan budaya berpikir masyarakat Indonesia dengan emosi keagamaan
yang sedemikian tinggi? Bagi ilmuwan sosial, aspek ini sangat
menarikdijadikanobjekpenelitian. Terdapat sekelompok masyarakat yang mendekati
cara berpikir Barat dan ada pula yang memang keturunan China dengan budayanya
yang khas Timur.
Namun ada pula yang asing dengan tradisi personal agency dan
collective agency karena semua realitas dan peristiwa yang dihadapi langsung
dialamatkan ke Tuhan. Di sini Tuhan diposisikan sebagai aktor penentu terhadap
berbagai peristiwa semesta. Implikasinya, mungkin saja, kehidupan terasa lebih
pasif, nyaman, dan damai.
Hanya saja ilmu pengetahuan dan peradaban tidak berkembang dinamis
karena posisi seseorang tak ubahnya wayang yang digerakkan oleh Tuhan sebagai
Sang Dalang? Jangan-jangan secara politik dan sosial ekonomi posisi Nusantara
akan jadi ajang konflik dan perebutan hegemoni antara Barat dan Timur. []
KORAN SINDO, 08 Mei 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar