Senin, 11 Mei 2015

Azyumardi: Pedagogik untuk Inddonesia (1)



Pedagogik untuk Inddonesia (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Setiap tahun bangsa ini merayakan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei. Setiap kali pula yang terdengar dari para pemikiran dan praktisi pendidikan khususnya lebih banyak keluhan dan bahkan kejengkelan terhadap para pengambil kebijakan pendidikan yang bukan membuat pendidikan Indonesia kian maju, tetapi justru makin terbelenggu karena proses birokratisasi yang terus ditetapkan  Kemendikbud (kini pendidikan dasar dan menengah) dan sekarang juga Kemendikti-Riset.

Lihatlah indikator berikut. Meski pendidikan lebih universal sudah dikembangkankan sejak masa pemerintahan Orde Baru melalui sekolah Inpres dan pendirian perguruan tinggi negeri di luar pulau Jawa, sampai sekarang angka partisipasi kasar (APK) murid dan mahasiswa masih saja rendah. Dalam beberapa tahun terakhir, APK PAUD 55 persen, APK SD/MI (sekitar 115 persen),  APK tingkat SMP hanya sekitar 80 persen, APK tingkat SMA/MA sekitar 70 persen, dan APK pendidikan tinggi sekitar 27 persen. APK siswa-mahasiswa berumur 7-23 tahun hanya 81 persen (2011/12).

Meski anggaran pendidikan Indonesia sudah 20 persen dari APBN+APBD, tetapi hanya sekitar 3,40 persen dari PDB; bandingkan dengan Thailand (5 persen), Malaysia (7,9 persen). Lagi pula, kelihatan dana lebih kecil versus PDB tersebut tidak dibelanjakan secara bijak dan bertanggungjawab, sehingga belum berhasil meningkatkan pendidikan Indonesia baik dari segi fasilitas fisik maupun mutu. Masih terlalu banyak bangunan sekolah yang rusak dan tak layak pakai—jauh daripada kondusif untuk proses pembelajaran, apalagi pendidikan.

Sebagian orang—khususnya pengambil kebijakan pendidikan—boleh jadi berapologi dengan menyatakan, pendidikan Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia. Dengan jumlah peserta didik lebih dari 50 juta peserta didik dan  hampir 3 juta guru dan dosen dengan hampir 300 ribu sekolah dan perguruan tinggi, Indonesia berada di tempat keempat terbesar setelah Tiongkok,India, dan Amerika Serikat. Melihat kenyataan ini, orang bisa berapologi, bahwa tidak mudah mengurus pendidikan Indonesia.

Apologi semacam itu hanya kontra-produktif. Lebih baik berpikir  melakukan langkah terobosan untuk mengatasi berbagai hambatan yang membuat pendidikan Indonesia tidak juga maju secara signifikan. Dengan begitu, warga Indonesia dapat lebih memiliki harapan pada pendidikan Indonesia.

Jelas, pencapaian pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan. Sampai sekarang, pendidikan Indonesia masih berada di rangking terbawah dalam bidang matematika, sains, dan membaca. Menurut Laporan Learning Curve, Indeks Kemampuan Kognitif dan Pencapaian Pendidikan (Pearson, 2014), pendidikan Indonesia berada pada tingkat 40, di bawah Turki (34), Thailand (35), Kolombia (36), Argentina (37), Brazil (38), dan Meksiko (39). Bandingkan dengan Korea Selatan (1), Jepang (2), Singapura (3), Hongkong (4), Inggris (6), AS (14).

Melihat kenyataan yang tidak menyenangkan ini, berbagai upaya mesti dilakukan. Karena itu pemikiran dan pembicaraan tentang masalah pendidikan Indonesia tetap penting dan perlu dilakukan setiap dan seluruh pemangku kepentingan (stake holders).

Salah satu rangkaian pemikiran penting yang kontributif bagi usaha memajukan pendidikan Indonesia dituangkan H.A.R. Tilaar dalam buku terakhirnya, Pedagogik Teoritis untuk Indonesia (Jakarta: Kompas, 2015). Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional dan Dies Natalis ke 51 Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bekerjasama dengan Komisi Kebudayaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), karya ini diluncurkan lewat diskusi publik dengan pembicara Sri-Edi Swasono, gurubesar ekonomi UI; Dja’ali, Rektor UNJ; dan penulis Resonansi ini.

Pedagogik Teoritis untuk Indonesia membahas sejumlah masalah mendasar dalam pendidikan Indonesia khususnya, yaitu: pertama, apakah pedagogik teoritis atau ilmu pendidikan teoritis itu; kedua, ilmu adalah universal, namun apakah ada ilmu pendidikan yang khas Indonesia.

Dengan ‘panduan’ pertanyaan itu, bagi Tilaar, masalah mendasar mengenai pendidikan mencakup: Hakikat Pedagogik (Ilmu Pendidikan) sebagai Ilmu Praksis; Pedagogik Teoritis dan Filsafat Indonesia; Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia; Proses Pendidikan yang Menghamba kepada Kepentingan Perkembangan Peserta Didik yang Merdeka; Tujuan Pendidikan Nasional; Guru Indonesia sebagai Pamong; Proses Belajar yang Mengembangkan Kemerdekaan Peserta Didik; Mengembangkan Kreativitas Manusia Indonesia; dan Arah Pendidikan Nasional Menyongsong Indonesia Emas 2045.

Kenapa pedagogik? Menurut Tilaar, gurubesar emeritus UNJ, pengalaman dia setelah mendapatkan pendidikan profesional sebagai guru lebih dari 20 tahun dengan pengalaman kerja lebih dari 60 tahun menimbulkan keresahan. Kenapa? Karena ‘ilmu pendidikan Indonesia sebenarnya belum lahir. Kebanyakan referensi ilmu pendidikan Indonesia [masih] berasal dari asing khususnya dari Barat”.

Lebih jauh, Tilaar memandang pedagogik teoretis sebagai bentuk filsafat terapan memiliki sifat spesifik sebagai ilmu praksis. Dengan praksis pendidikan sesorang dapat dibangkitkan kesadarannya tentang kemerdekaan yang dia miliki, yang kemudian wajib dia kembangkan untuk meningkatkan taraf hidupnya. []

REPUBLIKA, 07 Mei 2015
Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan AIPI dan Council on Faith, World Economic Forum, Davos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar