Selasa, 26 Mei 2015

Mahfud MD: Torpedo atas Supremasi Hukum



Torpedo atas Supremasi Hukum
Oleh: Moh Mahfud MD

Melihat situasi Indonesia sekarang ini: Sebenarnya lebih kuat mana antara politik dan hukum? Supremasi hukum ataukah supremasi politik yang berlaku di Indonesia ini?

Itulah pertanyaan yang sering diajukan kepada saya baik saat memberi kuliah di kampus-kampus maupun melalui forum-forum lain, termasuk media sosial. Jawaban teoretisnya, sih, mudah. Menjawab yang mana pun pasti ada teorinya. Menurut konstitusi Indonesia adalah negara hukum. Tetapi dalam praktiknya hukum selalu ditorpedo oleh kekuasaan politik.

Banyak ketentuan hukum yang ditabrak oleh kekuasaan politik dan hukum menjadi tak berdaya. Secara teoretis, memang tidak sulit memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Masalahnya apakah akan dilihat secara das Sollen (keharusan ideal) ataukah secara das Sein (kenyataan yang ada di depan mata). Kalau secara das Sollen, karena Indonesia adalah negara hukum maka tak bisa ditawar, hukumlah yang harus supreme.

Supremasi hukum menggariskan hidup bernegara yang semuanya harus berdasar hukum, tunduk pada hukum, dan kalau ada konflik harus dikembalikan pada hukum. Tetapi secara das Sein, prinsip supremasi hukum tidak selalu bisa muncul. Hukum kerap dikalahkan oleh politik sehingga yang muncul dalam kenyataan adalah supremasi politik.

Munculnya supremasi politik di atas supremasi hukum sebagai das Sein itu pun ada penjelasan teoretisnya, yakni kenyataan bahwa hukum adalah produk politik. Hukum dalam artinya sebagai peraturan resmi, terutama sebagai peraturan perundang-undangan, merupakan produk politik sebab hukum hanya bisa dibuat melalui keputusan politik.

Tidak ada satu pun hukum dalam arti sebagai peraturan resmi yang bisa berlaku sendiri tanpa diberlakukan oleh keputusan politik. Semua aturan hukum berlaku karena keputusan pemegang kekuasaan politik yang memberlakukannya Pemberlakuan hukum oleh otoritas politik itu terjadi dengan resultante atau ke-sepakatan baik karena musyawarah yang fair, tukar-menukar kepentingan antaraktor politik maupun karena dominasi satu kelompok politik pemenang.

Secara teoretis pula, karena hubungan antara politik dan hukum yang seperti itu, maka dalam penyelenggaraan negara akan selalu terjadi tolak tarik antara politik dan hukum dan dalam tolak-tarik itu politik cenderung selalu menang. Mengapa? Karena energi politik selalu lebih besar daripada energi hukum.

Bagaimanapun, pembuatan dan pemberlakuan hukum sangat bergantungpada kekuasaanpolitik. Itulah das Sein-nya, demikianlah faktanya. Kalau politik sudah sampai pada tahap kalap maka hukum bisa ditabrak. Caranya bisa bermacam- macam. Ada yang bermain kasar dengan menggunakan kekuasaan secara sepihak, membuat tafsir hukum sendiri yang kemudian dipaksakan atas nama kekuasaan.

Bisa juga pemaksaan politik itu dilakukan secara lebih halus yakni mengubah aturan hukum agar sesuai dengan kehendak kekuasaan politik. Jika suatu aturan hukum yang berlaku menghambat kepentingan politik yang berkuasa, aturan hukum itu diubah dengan kekuasaan politik agar bisa memuaskan syahwat politik para pemegang kekuasaan itu.

Pada masa lalu, bahkan banyak hukum atau peraturan perundang-undangan yang sengaja dibuat untuk membenarkan satu keinginan penguasa yang sebenarnya tidak layak agar menjadi layak dan tidak salah menurut ”formalitas” hukum. Jadi kalau secara teoretis saja tidaklah sulit untuk menemukan teori dan menjelaskan fenomena tolak-tarik antara hukum dan politik itu.

Kalau ditanya, lebih supreme atau lebih kuat yang mana antara kedua subsistem kemasyarakatan, politik dan hukum, tersebut maka jawabannya bisa bergantung pada teori mana yang akan dipakai, das Sollen ataukah das Sein. Namun, masalah lemahnya hukum di hadapan politik tidak bisa hanya dijelaskan teori-teori yang relatif itu.

Negara kita ini menganut prinsip supremasi hukum bukan hanya teori, melainkan juga sebagai kesadaran etik dan moral. Itulah sebabnya ada pedoman etik dan moral dalam kehidupan bernegara kita, yakni meskipun dalam faktanya hukum merupakan produk reslutante atau kesepakatan politik, tetapi jika hukum sudah ditetapkan, maka semua harus tunduk pada hukum.

Yang membuat hukum pun harus tunduk pada hukum yang dibuatnya. Di sinilah kita harus meletakkan pemahaman supremasi hukum dalam hidup bernegara yang berdasar konstitusi. Pada titik ini, saat hukum sudah diberlakukan secara sah maka kedigdayaan politik harus tunduk pada supremasi hukum.

Pertanyaan berikutnya: bagaimana jika terjadi konflik kepentingan yang kemudian menimbulkan perbedaan penafsiran atas aturan hukum? Kalau itu yang terjadi maka serahkanlah ke pengadilan agar diputus oleh hakim yang diberi otoritas memutus oleh negara. Di dalam prinsip supremasi hukum siapa pun, termasuk pemerintah dan partai politik, harus tunduk pada putusan pengadilan.

Di mana pun di dunia ini berlaku kaidah hukmul haakim yarfahukmul haakim yarfaul khilaaaf: putusan hakim mengakhiri konflik dan harus diikuti. Kalau kaidah ini tidak diikuti, negara bisa kacau balau. Bagaimana jika dilakukan upaya hukum banding atas putusan pengadilan? Tentu saja boleh.

Supremasi hukum menyediakan jalan mulai dari banding, kasasi, sampai peninjauan kembali (PK). Tetapi ada dasar etik, moral, dan rasionalitas publik (public common sense)dalam upaya hukum itu. Ia tak boleh dilakukan atas dasar mau menang sendiri, akal-akalan, mengulur-ulur waktu, dan sebagainya.

Apalagi kalau disertai upaya mempengaruhi hakim, baik dengan kekuatan politik maupun kekuatan uang. Kalau itu yang dilakukan maka tak ada arti lain kecuali torpedo atas supremasi hukum. []

Koran SINDO, 23 Mei 2015
Moh Mahfud MD, Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar