Rabu, 27 Mei 2015

Buya Syafii: Moral Bangsa dalam Situasi SOS



Moral Bangsa dalam Situasi SOS
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

SOS singkatan dari save our souls, save our ship, send out succour (selamatkan jiwa kami, selamatkan kapal kami, kirimlah bala bantuan) pertama kali dipakai oleh pemerintah Jerman dalam regulasi radio yang mulai efektif 1 April 1905. Pada 3 Nop. 1906 ditandatangani sebagai standar yang diikuti oleh banyak negara di bawah Konvensi Radiotelegrafik Internasional yang efektif pada 1 Juli 1908. SOS masih tetap menjadi tanda bahaya radio maritim sampai tahun 1999, saat digantikan oleh Tanda Bahaya Maritim Global dan Sistem Penyelamatan (the Global Maritime Distress and Safely System). Tetapi SOS masih tetap saja diakui sebagai sinyal tanda bahaya kasat mata sampai hari ini. Nah, bagaimana dengan moral bangsa yang berada dalam situasi SOS yang terlihat di berbagai ranah kehidupan?

Definisi mana pun yang anda gunakan, SOS adalah tanda bahaya yang dapat dilihat oleh kasat mata dalam kehidupan bangsa ini. Yang paling gaduh sekarang ini adalah ancaman beras plastik yang merebak di berbagai daerah. Tega-teganya pedagang menjual beras yang mengandung bahaya itu kepada pembeli. Karena redupnya pertimbangan moral demi meraut keuntungan sesaat, maka nyawa manusia sudah dianggap ringan. Itu baru beras sintetik yang ketahuan dalam beberapa hari ini. Jika bahaya narkoba dan HIV/AIDS yang sudah merenggut nyawa ribuan anak bangsa saban hari plus korupsi yang belum tampak titik ujung pemberantasannya, maka tingkat SOS bagi bangsa ini sudah hampir berada pada stadium keempat jika ditengok dari sisi moral dan kesehatan.

Di tengah suasana moral yang sedang oleng itu, kebanyakan politisi kita tidak mau hirau dengan bahaya itu semua. Saya ragu apakah mereka itu sempat memikirkan nasib bangsa ini secara sungguh-sungguh dengan pandangan yang jauh ke depan. Perhatian mereka tampaknya tetap saja terpaku dan terpukau oleh rencana Pemilukada akhir tahun ini. Ancang-ancang langkah politik terpusat kepada pemilu yang dibiayai oleh APBN/APBD dengan pengeluaran negara ratusan bahkan bisa mencapai ribuan miliar. Alangkah mahalnya ongkos pelaksanaan demokrasi di negeri ini dengan hasil yang nyaris tidak ada kaitannya dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Orang boleh berdalih, demokrasi jilid II kita baru dimulai sejak era reformasi, masih memerlukan waktu agar lebih matang dan berdaya guna untuk mendekati tujuan kemerdekaan. Tidak salah cara berfikir yang semacam itu, tetapi proses kematangannya bisa dipercepat sekiranya para politisi mau naik kelas menjadi negarawan. Kesediaan untuk naik kelas itulah yang belum tampak tanda-tandanya sampai hari ini.

Benar bahwa gerakan reformasilah yang membuka kembali kran demokrasi setelah menghilang sejak 1959, tetapi jika kita buka dokumen sejarah pergerakan kebangsaan kita, nasionalisme tidak dapat dipisahkan dari cita-cita demokrasi. Sebentar lagi usia negara ini akan mencapai 70 tahun, mengapa demokrasi Indonesia masih berjalan tertatih-tatih? Saya tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa untuk menciptakan sebuah demokrasi yang sehat dan kuat memerlukan waktu berabad-abad. Jika kita ikuti pendapat Bung Hatta, syarat bagi demokrasi yang sehat itu sebenarnya tidak rumit amat, yaitu adanya rasa tanggung jawab dan berlapang dada menghadapi perbedaan.

Yang saya cemaskan adalah di tengah-tengah suasana moral yang sudah berada pada tingkat SOS itu, demokrasi kita semakin tidak jelas arahnya. Begitu gampangnya elite parpol berpecah-belah tanpa alasan yang mendasar. Jika dulu pertentangan antara Tan Malaka dengan lawan-lawan politiknya dalam PKI dapat difahami. Tan Malaka menentang pemberontakan komunis 1926/27 itu, karena syarat-syaratnya untuk berhasil adalah nol. Bagi Tan Malaka pemberontakan itu sama saja dengan bunuh diri. Dan perkiraan Tan Malaka sepenuhnya didukung kenyataan sejarah: PKI berantakan. Cobalah bandingkan dengan perpecahan partai yang berlaku sekarang ini, pasti tidak lepas dari hitung-hitungan politik jangka pendek. Tidak ada ideologi yang mendasarinya. Yang ada pastilah pragmatisme politik tunamoral.

Akhirnya, ada pertanyaan kunci yang tidak dapat saya jawab: mengapa agama dan Pancasila gagal memperbaiki moral bangsa ini? Antahlah yuang! []

REPUBLIKA, 26 Mei 2015
Ahmad Syafii Maarif  ;  Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar