Rabu, 13 Mei 2015

Kang Sobary: Rakyat Belajar Berdaulat



Rakyat Belajar Berdaulat
Oleh: Mohamad Sobary

Kami tidak butuh mantra/ Jampi-jampi/ Atau janji/ Atau sekarung beras/ Dari gudang makanan kaum majikan/ Tak bisa menghapus kemelaratan.

Itu penggalan puisi Wiji Thukul. Judulnya Aku Menuntut Perubahan, ditulis pada 9 April tahun 1992. Itu zaman yang secara politik begitu mengerikan. Tapi Thukul berani bersuara seperti tak tahu menahu akan risiko bersuara. Apakah dia tidak tahu bahwa risiko itu ada?

Dia tahu persis. Zaman itu sebentar-sebentar rakyat diculik. Sebentar-sebentar mereka yang gigih berbicara dibawa orang berseragam, berwajah seram, menerobos kegelapan entah ke mana. Kemudian ketika pulang, mereka sudah kusut. Entah diapakan. Orang bilang, beruntunglah yang masih diberi kesempatan pulang. Yang lain-lain hilang entah di mana tak pernah lagi pulang. Tapi Thukul tetap menulis sajak.

Dengan segenap keberanian yang terasa, kadang-kadang seperti begitu polos, apa adanya, dan tak dibuat-buat. Tapi apa yang polos dan punya keberanian menyatakan sikap politik dan pendirian yang tegas itu tak disukai. Thukul pun menyadari bahwa dirinya tak disukai.

Dia menulis puisi yang lain, dengan judul Bunga dan Tembok: Seumpama bunga/kami adalah bunga yang tak/kau kehendaki tumbuh/ seumpama bunga/ kami adalah bunga yang/ dirontokkan di bumi kami sendiri/jika kami bunga/engkau tembok. Kita tahu, bunga itu mungkin keharuman, mungkin kesegaran, mungkin harapan, dan siapa bilang tak mungkin bila bunga di dalam puisi ini maksudnya bunga bangsa yang kelak akan menjadi buah dan bukan buah sekadar buah?

Dia bilang lagi dalam bait berikutnya: tapi di tubuh tembok itu/telah kami sebar biji-biji/ suatu saat kami akan tumbuh bersama-sama. Thukul, penyair ini, bukan hanya orang berani, tetapi orang yang mengerti bahwa dia wajib bersuara dan menyatakan pendapat mengenai apa saja yang wajib diberi komentar atau kritik. Ketika orang harus berbicara, baginya, maka dia harus berbicara.

Dia mengejek orang pintar yang hanya membaca buku. Dalam puisinya yang berjudul Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu, dia menyindir keras dan blak-blakan: apa gunanya baca buku/kalau mulut kau bungkam melulu. Orang yang membaca buku demi membaca buku itu sendiri dan mulutnya dibungkam dengan tertib oleh kemauan sendiri, oleh ketakutan sendiri, tak peduli bahwa ketakutan itu diselimuti dengan baik sehingga menjadi kebijaksanaan, itu hanya kepalsuan.

Bijaksana tapi palsu, bukan lagi bijaksana. Orang seperti itu apa namanya bila bukan orang atau warga negara atau rakyat yang tak berdaulat. Dia orang, warga negara atau rakyat, yang hidupnya terinjak- injak. Mungkin oleh ketakutan sendiri. Mungkin pula oleh sepatu sepasukan orang tertatih. Mereka terlatih menginjak orang lain, membungkam orang lain, dan menghilangkan kedaulatan orang lain.

Tapi mereka pun orang yang jelas terlatih menjalankan perintah tanpa harus bertanya. Dengan kata lain, mereka terlatih ditindas. Jadi jelaslah, mereka juga tak punya kedaulatan yang agak utuh. Kedaulatan mereka sudah mereka titipkan pada atasan yang merasa anak buahnya tak memerlukan kedaulatan apa pun. Thukul lain. Dua potret orang, warga negara, rakyat, yang berdaulat dan memahami untuk apa kedaulatannya.

Thukul menyadarkan kita akan perlunya kita paham bahwa kita berdaulat dan cara menggunakan kedaulatan itu. Jika kedaulatan kita terinjak, kita memperjuangkannya dengan sepenuh jiwa raga kita, karena kedaulatan memang jiwa dan raga kita. Warga negara atau rakyat yang tak punya kedaulatan, warga negara apa dia dan rakyat macam apa dia? Thukul sendiri sudah hilang dari keluarganya, dari masyarakatnya, dari kerumunan komunitasnya.

Dia hilang karena memperjuangkan kedaulatan yang direnggut dari tangannya. Dia tak pernah mau menyerah. Kedaulatan itu miliknya. Tak boleh direnggut siapa pun. Kedaulatan itu hadiah langit, satu paket dengan hidupnya sendiri. Hidupmu dan kedaulatanmu itu satu pasang. Lepas satu, yang lain tak berarti. Hilang satu, yang lain apalah gunanya.

Thukul hilang tapi terbilang. Banyak orang yang ada, tapi adanya sama dengan tidak adanya. Banyak orang yang tidak hilang, tapi dia hakikatnya sudah hilang dari diri sendiri karena takut menyatakan apa yang wajib dinyatakan. Banyak orang yang tidak hilang karena tidak berharga untuk dibikin hilang. Pemerintah yang menakutkan sedang membikin hilang orang yang layak dibikin hilang.

Tapi mereka malas dan merasa tak berarti untuk menghilangkan manusia-manusia yang tak berharga untuk dihilangkan. Thukul itu orang yang berdaulat dan paham akan arti kedaulatannya. Dia hilang tapi tidak hilang karena tiap saat dia terbilang. Dia menjadi pahlawan bagi jiwa-jiwa yang merdeka dan menyadari kedaulatan di tangannya.

Di zaman keterbukaan seperti ini, rakyat gigih untuk belajar berdaulat. Pemerintah tunduk dan patuh pada kepentingan asing. PP No 109 Tahun 2012, yang mencekik petani tembakau itu, lahir di dalam situasi psikologi politik yang memalukan seperti itu.

Pemerintah yang berdaulat telah berhasil dengan gilang gemilang menggadaikan kedaulatannya kepada bangsa asing. Tapi rakyat tidak begitu. Rakyat tetap belajar berdaulat. Sampai kapan pun. []

Koran SINDO, Senin, 11 Mei 2015
Mohamad Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar