Jumat, 15 Mei 2015

(Tokoh of the Day) Ajengan KH Muhammad Masthuro, Cisaat, Sukabumi - Jawa Barat



Penghormatan Ajengan Masthuro kepada Preman


Suatu hari seseorang mencari tahu seluk-beluk memancing ikan di wahangan (sungai). Padahal biasanya orang itu menggengam pena, menekuri kitab kuning, mengajar santri, dan kadang menulis kitab. Ia adalah Ajengan Muhammad Masthuro.

Tak tanggung-tanggung, sang ajengan bertanya kepada dedengkot tukang mancing. Ia bernama Mar’i. Selain tukang mancing, pria berperawakan kekar tersebut dikenal sebagai seorang preman yang berperangai buruk dan ditakuti warga.

Bagi Ajengan Masthuro, memancing adalah celah untuk mengenal Mar’i. Pucuk dicinta ulam pun tiba, ketika ditanya kegemarannya, Mar'i menanggapi dengan semangat. Ia menjelaskan dari A hingga Z. Tentu saja memancing tidak berhenti di teori. Keduanya memutuskan mempraktikannya di wahangan.

Ketika asyik memancing, Ajengan Masthuro tiba-tiba berhenti. Ia melaksanakan Shalat Dhuhur di atas batu. Sementara Mar’i menyaksikan sambil memancing. Selepas shalat, Ajengan Masthuro kembali memancing. Ketika Ashar tiba, kembali ia menunaikannya.

Menjelang maghrib, kaduanya pulang. Ajengan Masthuro mengajak Mar’i mampir ke rumahnya. Mar’i setuju. Istiri sang ajengan pun sudah menyiapkan makan malam untuk keduanya. Sebelum makan, Ajengan Masthuro izin shalat Maghrib. Seperti sebelumnya, Mar’i mengiyakan tanpa turut serta.

Karena ada tamu, Ajengan Masthuro meninggalkan dua kebiasaan yang tak pernah ditinggalkannya, yaitu wiridan dan shalat sunat. Kemudian keduanya makan bersama. Setelah makan dan ngobrol, Mar’i undur diri. Tak dinyana, Ajengan Masthuro membekalinya dengan ikan-ikan besar untuk keluarga yang ditinggal seharian karena mancing tadi siang tak membuahkan hasil.

Penghormatan Ajengan Masthuro tersebut, menghunjamkan kesan mendalam di hati Mar'i. Ia simpatik kepadanya.

Di lain waktu, Ajengan Masthuro pernah menyambangi komunitas penggemar tembang Sunda; sekitar 4 km dari kediamannya. Sayangnya kegemaran tersebut melupakan tuntunan Islam, seperti shalat. Untuk mendekati mereka, ia mengajak temannya yang pandai melantunkan tembang Sunda.

Keduanya mendatangi mereka dan turut memperbincangkan tembang. Hal itu menimbulkan simpati, apalagi ketika temannya Ajengan Masthuro menyumbangkan tembang. Karena sudah simpati, mereka mudah diajak membaca Qul-hu (surat al-Ikhlas) dan mempelajari bacaan-bacaan shalat dan Al-Quran.


***
Ajengan KH Muhammad Masthuro adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Masthuriyyah, Tipar, Cisaat, Sukabumi. Ia lahir di Kampung Cikaroya pada tahun 1901.

Masa kanak-kanak Masthuro dihabiskan untuk belajar kepada ayahnya bernama Kamsol, seorang amil atau lebe yang bertugas mengurusi masalah keagamaan di desa. Kemudian ia berguru kepada kiai-kiai di Sukabumi diantaranya: H. Asy’ari (dari tahun1909 sampai 1911) KH Katobi (dari1911 sampai 1914) KH Hasan Basri (tahun 1914 sampai 1915) KH Muhammad Kurdi (tahun 1914 sampai 1915), KH Ghazali (dari 1915-1916) KH Muhammad Sidiq (tahun1916-1916) KH Ahmad Sanusi (tahun 1918 sampai 1920).

Ia juga mereguk ilmu kepada Al-Habibib Syekh Ibnu Salim Al Attas, guru para ajengan Sukabumi. KH Masthuro merupakan santrinya paling disayang. Sehingga, menjelang wafat, Habib Syekh berpesan  supaya dikebumikan di samping KH Masthuro.

Sebelum wafat, KH Masthuro mewasiatkan 6 hal kepada anak-anak dan mantu-mantunya, yaitu: 1. Kudu ngahiji dina ngamajukeun Pesantren, Madrasah. Ulah Pagirang-girang tampian. (harus bersatu untuk kemajuan pesantren) 2) Ulah hasud (jangan hasud) .3) Kudu nutupan kaaeban batur, (harus menutupi aib orang lain) 4.) Kudu silih pikanyaah, (saling mengasihi) 5.) Kudu boga karep sarerea hayang mere,(suka memberi) 6.) Kudu mapay thorekat anu geus dijalankeun ku Abah (harus mengikuti tarekat KH Masthuro).

Wasiat tersebut, hingga kini menjadi pegangan keturunan dan penerus KH Masthuro di pesantren Al-Masthuriyah.

Kepemimpinan pesantren yang sudah lengkap dari PAUD hingga perguruan tinggi ini, kini dilanjutkan putra-putrinya. Salah seorang putranya, KH E. Fachrudin Masthuro, pernah menjabat Wakil Rais ‘Aam PBNU. (Hingga wafatnya ia menjadi salah seorang Musytasyar PBNU).

KH Masthuro mengarang kitab berjudul Kaifiyatus Solat, tebal 89 halaman, yang ditulis dengan bahasa Arab. Kitab ini merupakan tukilan dari berbagai kitab yang membahas bab solat, mulai dari Safinatun Naja, Sulam Munajat, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, tapi lebih banyak dari kitab Bajuri. Kitab ini ditulis dengan bahasa Arab yang mudah dipahami. []

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar