Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Oleh: Yudi Latif
Hari Pendidikan Nasional kita peringati dengan belasungkawa yang
mendalam atas kejatuhan secara kolosal mutu keterdidikan bangsa. Ukuran yang
paling memilukan dari keterpurukan ini bukanlah rendahnya peringkat Indonesia
dalam kemampuan baca, matematika, dan sains menurut standar Programme for
International Student Assessment, melainkan pada kemerosotan mutu kecerdasan
para politisi dan penyelenggara negara sebagai produk pendidikan.
Demokrasi tanpa kecerdasan adalah kegaduhan dalam kebutaan.
Situasi ini melen- ceng jauh dari imperatif konstitusi kita. Dalam Pembukaan
UUD 1945 terkandung "empat pokok pikiran" haluan negara sebagai
transformasi nilai-nilai Pancasila.
Pertama, negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, negara hendak mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, negara yang
berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
Keempat, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab, yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara
negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur.
Untuk mewujudkan empat pokok pikiran tersebut, Pembukaan UUD 1945
juga menggariskan empat fungsi negara (sistem peme- rintahan negara), seperti
tertuang dalam alinea keempat. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan umum; ketiga,
mencerdaskan kehidupan bangsa; keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Jika kita perhatikan secara saksama, para pendiri bangsa secara
konsisten mengupayakan korespondensi antara empat pokok pikiran itu dan empat
fungsi negara. Urutan pokok pikiran berpasangan dengan urutan fungsi negara.
Maka, tampaklah bahwa pokok pikiran ketiga, "negara yang berkedaulatan
rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan"
berpasangan dengan fungsi negara ketiga, "mencerdaskan kehidupan
bangsa". Dengan kata lain, demokrasi berdasarkan cita kerakyatan dan
permusyawaratan memerlukan kepemimpinan hikmat-kebijaksanaan yang meniscayakan
kecerdasan bangsa.
Pengertian kecerdasan di sini lebih dari sekadar kecerdasan
kognitif, melainkan kecerdasan multidimensional berbasis kesadaran
eksistensial: ke dalam dan ke luar. Ke dalam, manusia cerdas mengenali siapa
dirinya sebagai "perwujudan khusus" dari alam, yang harus
menemu-kenali kekhasan potensi dirinya sebagai dasar pembentuk karakter
personal.
Ke luar, manusia cerdas mampu mengenali dan mengembangkan
kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku
bersama, melalui olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga. Kebudayaan
sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini secara
keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi
karakter personal berkembang menjadi warga negara yang berkarakter baik atau
buruk.
Kebudayaan sebagai lingkungan sosial bisa juga disebut sebagai
wahana pembentukan karakter kolektif. Pengertian "bangsa" (nation)
yang terkenal dari Otto Bauer menyatakan, "Bangsa adalah satu persamaan,
satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh,
lahir, terjadi karena persatuan pengalaman."
Dengan kata lain, perilaku manusia adalah fungsi dari karakter
personal dan karakter kolektif. Ditinjau dari sudut ini, proses pendidikan
harus mampu melahirkan pribadi-pribadi berkarakter sekaligus menjadi warga
negara (pribadi yang membangsa) yang berkarakter. Keterpurukan dunia pendidikan
kita tampak dari defisit manusia berkarakter dan warga negara yang berkarakter.
Di atas kemarau karakter seperti itu tumbuh para politisi dan para
penyelenggara negara yang kerdil.
Demokrasi dirayakan dengan mediokrasi dan korupsi. Di republik
korup dan jahil, keadaban publik hancur. Setiap warga berlomba mengkhianati
negeri dan sesamanya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan
disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan.
Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Kehidupan mengalami
kematian: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.
Dalam puing-puing keruntuhan kecerdasan dan keadaban, yang diambil
dari warisan luhur para pendiri bangsa hanyalah abunya, bukan apinya.
Peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) masih digemakan, tetapi karakter
dasarnya luput dari penghayatan.
KAA, 60 tahun yang lalu, adalah cermin kebesaran karakter kita
sebagai bangsa, pembawa obor harapan bagi dunia. Menjelang konferensi, para
pemenang nobel, sarjana humanis, dan penulis kenamaan dunia mengirimkan surat
kepada PM Ali Sastroamidjojo. "Dunia telah jemu akan penindasan, dogma,
dan peperangan. Dunia telah jemu melihat nafsu penjajah pelbagai negara atau
nafsu mendirikan pakta-pakta pertahanan.... Cara Caesar, yang menggunakan
kekuasaan perjuangan hidup, telah kandas di Moskwa dan Washington juga di Roma.
Kami sangat mengharap agar Tuan dapat menjadi Asoka untuk menyatukan kembali
dunia kita dalam suatu masyarakat berdasarkan cinta sesama, suatu dunia di mana
masyarakat saling mengerti, masyarakat teknik dan masyarakat seni dapat
berkembang menuju kesempurnaan."
Perkembangan demokrasi Indonesia seperti mengenakan baju terbalik,
momentum datang memberi peluang meneruskan obor kebesaran bangsa, tetapi yang
memainkan peran hanyalah manusia-manusia kerdil. []
Kompas, 5 Mei 2015
Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar